Langsung ke konten utama

Becoming... His Woman

HARI PERTAMA – 1 Maret 1980

“Hari Ulang Tahun, Hari Kematian Maskulinitas.”

Tempat:

Villa perbukitan tersembunyi di luar Guilin, Guangxi — rumah batu tiga lantai yang dulu milik Lin Qiaoyu, kini dibeli dan direnovasi oleh Jin Rui, dikelilingi bambu dan tebing sunyi.

Waktu:

23:58 — dua menit menjelang ulang tahunnya yang ke-50


---

Adegan Awal: Ulang Tahun yang Mewah

Lampu sorot, gaun berkilau, orkestra live. Liang Zemin berdiri di tengah ballroom hotel bintang lima di Beijing, gelas wine di tangan, mengenakan jas custom berwarna hitam satin.

> “Usiaku 50, tapi aku masih berdiri lebih tinggi dari siapapun di industri ini,” katanya tertawa sambil memandang aktor dan aktris muda seperti daging segar di etalase.



Di pojok ruangan, seorang wanita tua berjubah abu-abu berdiri diam, tak ada yang mengenalnya. Ia menatap Zemin seperti melihat tulang belulang yang belum dikubur.


---

00:01 – Penculikan

Saat semua lilin ulang tahun padam, listrik ballroom mati sesaat. Saat menyala kembali, Liang Zemin tak lagi di sana. Para tamu mengira ia hanya ke belakang panggung. Tapi tubuhnya sudah dilempar ke dalam mobil van hitam dengan mata tertutup dan tangan diikat kain putih yang berbau dupa.

Ia menggeliat dan berteriak:

> “Siapa kalian?! Aku Liang Zemin! Lepaskan! Aku akan lapor ke…!”
(tamparan keras membungkamnya)




---

02:12 – Vila Tua Qiaoyu

Di dalam kamar kosong berlantai kayu, Liang Zemin diseret oleh dua pria bertopeng. Ia dilempar ke kursi kayu tua dengan tali besi. Tubuhnya yang dulu tegap dan penuh kontrol, kini dalam posisi duduk terbungkuk dan tak berdaya.

Di depannya, duduk wanita tua berjubah abu — Nyonya Bai Moxue. Rambut peraknya terurai, matanya putih seperti susu basi.

> Nyonya Bai (pelan):
“Selamat ulang tahun, Tuan Liang. Atau… haruskah kupanggil, calon ibu?”



Liang menyeringai marah.

> Liang: “Kau pikir aku takut dengan drama murahan ini? Apa yang kalian mau? Uang? Jabatan?!”



Nyonya Bai berdiri perlahan, dan mendekat. Jemarinya menyentuh dahi Zemin, lalu lidahnya.

> “Kami tidak mau apa-apa. Kami hanya ingin kau merasakan… tubuh yang telah kau hancurkan selama 45 tahun.”




---

03:00 – Permulaan Kutukan

Tubuh Liang Zemin diikat pada bangku kayu. Nyonya Bai menggambar simbol darah di perut bagian bawahnya, tepat di atas alat kelamin.

Lilin menyala di empat penjuru ruangan. Jin Rui masuk — berpakaian hitam dari kepala hingga kaki, wajah tak berekspresi.

> Jin Rui:
“Kau pernah bilang wanita hanya berguna jika bisa melahirkan dan menyenangkan lidahmu.”
“Malam ini, tubuhmu akan mengingat semua lidah yang kau paksa menjilatmu.”



Liang mulai meludah dan memaki, tapi mulutnya mendadak kaku. Mantra telah tertanam.

> Nyonya Bai:
“Mulai malam ini… setiap tetes benih lelaki dalam tubuhmu akan mengukir tubuh baru. Tubuh wanita. Tubuh ibu. Tubuh budak hasrat. Tubuh yang akan kau benci, lalu… kau cintai.”




---

04:14 – Penodaan Pertama

Jin Rui perlahan membuka ritsleting. Liang yang masih setengah sadar hanya bisa menggeram marah. Namun, tubuhnya terasa panas dari perut ke bawah — kutukan telah menyebar seperti api dingin.

Dengan satu gerakan kasar, Jin Rui menyodomi Zemin, bukan dengan nafsu, tapi dengan dingin penuh dendam.

Liang menggigit lidah sendiri, berusaha tidak bersuara. Tapi kutukan membuat tubuhnya merespons. Geli. Sakit. Basah. Merasa tertusuk dan terisi.

> Dan untuk pertama kalinya dalam 50 tahun… Liang Zemin merasakan dirinya sebagai obyek.




---

Pagi Hari – Saat Tubuh Diam, Tapi Jiwa Mulai Roboh

Ia ditinggal sendirian di kamar. Tubuhnya telanjang, selimut tipis dilemparkan.

Tangannya gemetar. Kaki bergetar. Ia melihat tangannya sendiri, urat-uratnya tampak lebih kecil.

Ia meludah dan berusaha buang air kecil… namun hanya keluar tetesan tipis, dan terasa hangat seperti urine perempuan.

Liang menyadari — malam ini bukan penculikan biasa. Ini… penghukuman.

Dan ia baru berada di hari pertama.

=====

HARI KEDUA - 2 Maret 1980

“Pelecehan Balik dan Awal Kehancuran Maskulinitas.”

Pagi – Tubuh yang Tak Lagi Penuh Kuasa

Liang Zemin terbangun di lantai dingin. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada pelayan. Tidak ada makanan. Tapi kulkas penuh bahan mentah: beras, telur, sayur segar, bumbu dapur.

Tangannya masih terikat bekas luka. Bahunya pegal karena tidur tanpa bantal. Ia berdiri perlahan — dan tersadar, otot perutnya tidak sekeras kemarin.

Saat melihat ke cermin di kamar mandi:

Otot dada yang biasa menegang kini melembek sedikit, seperti daging berisi air.

Bulu dada rontok di beberapa tempat.

Puting masih kecil, tapi terasa perih dan agak menonjol, seperti terkena dingin.

Wajahnya masih keras… tapi pipi tampak sedikit lebih berisi.


> Liang (monolog dalam kepala):
“Ini hanya efek… luka. Aku kurang tidur. Aku… belum olahraga. Aku akan push-up. Aku akan balik ini semua.”



Ia menjatuhkan diri dan mulai push-up. Tapi tubuhnya goyah. Di hitungan ke-7, siku kirinya lemas. Ia jatuh ke lantai dan berteriak:

> “TIDAK!!!”




---

Siang – Dapur yang Menghukum

Tidak ada makanan disiapkan. Di dapur, pisau, panci, kompor gas tersedia.

Liang menatapnya dengan jijik. Ia adalah pria yang biasa memanggil wanita untuk membuatkan kopi, meninju mereka kalau sup-nya terlalu asin.

Sekarang… ia memegang pengupas wortel.

> Ia memasak nasi. Tersiram air panas saat cuci beras.
Telur gorengnya gosong.
Saat akhirnya makan — ia menangis.



> Liang (dalam hati, tidak terucap):
“Ini… kerjaan perempuan. Ini… tidak ada nilai. Tapi mengapa aku lapar? Mengapa aku merasa… lemah?”




---

Sore – Jin Rui Datang, Tapi Tak Menyentuh

Jin Rui datang sore itu, diam-diam. Melihat Liang duduk di lantai dapur, sendirian. Wajah kotor oleh minyak dan debu. Di lantai, ada setengah mangkuk nasi dan sepiring telur gosong.

Jin Rui tersenyum kecil.

> Jin Rui:
“Kau mulai paham? Rumah bukan istana. Dan peran yang kau rendahkan… sekarang satu-satunya hidupmu.”



Liang berdiri dan menatap Jin Rui tajam.

> Liang:
“Bunuh aku. Kalau kau laki-laki, Jin Rui… BUNUH AKU!!”



Jin Rui meludah ke lantai.

> Jin Rui:
“Kau ingin mati karena disuruh memasak? Apa itu batas ‘kejantananmu’? Perempuan yang kau lecehkan melakukan itu setiap hari… sambil hamil. Sambil disakiti.”




---

Malam – Penetrasi Kedua (Sodomi)

Malam hari, di atas kasur kasar yang hanya diberi selimut tipis, Liang dipaksa telungkup oleh Jin Rui.

> Ia masih sepenuhnya pria secara fisik.
Tapi area bokong mulai melebar, otot bokong terasa berat dan nyeri seperti habis latihan beban.
Saat Jin Rui menyodomi, Liang menjerit bukan karena sakit… tapi karena sensasi geli yang membuat tubuhnya berkedut. Ia menolak bersuara. Tapi tubuhnya… basah oleh keringat dan getaran aneh.




---

Akhir Hari Kedua – Cermin dan Ketakutan

Di depan cermin, ia melihat:

Pundaknya mulai mengecil.

Bulu tangan menipis.

Lehernya tidak setegang biasanya.

Putingnya memerah, dan jika disentuh — terasa seperti disentuh oleh orang lain.


> Liang (dalam hati):
“Aku… kehilangan tubuhku. Aku kehilangan alatku. Dan belum ada yang tumbuh menggantikan. Aku bukan pria. Tapi belum jadi wanita. Aku… monster.”



Ia tidur dengan menangis. Pelukannya memeluk dirinya sendiri, seperti bayi… atau seperti ibu yang kesepian.

=====

HARI KETIGA – 3 Maret 1980

“Hari Lidah yang Dilecehkan.”

Pagi – Tubuh Lemah, Tangan Gemetar

Liang bangun lebih lambat dari biasanya. Kaki terasa berat, bukan seperti habis olahraga, tapi seperti kehabisan gizi. Ia berdiri pelan dan menyadari:

Tangan kanannya gemetar ringan.

Bulu ketiak menipis drastis.

Perutnya—yang biasanya datar dan keras—kini sedikit lembek.


Di cermin, wajahnya masih tampak maskulin, tapi mulai ada bayangan kemerahan di pipi, seperti blush alami.

> Liang (monolog dalam hati):
“Aku hanya belum sarapan. Aku akan masak. Aku akan makan. Tubuh ini milikku.”




---

Dapur — Ujian Pertama Hari Ini

Kulkas masih penuh. Kompor masih menyala. Tak ada pelayan. Tak ada bantuan.

Liang mencoba menggoreng tahu dan menanak nasi. Tapi minyak menyiprat ke tangannya dan ia menjerit kecil. Refleks itu memalukan.

Saat ia memotong wortel, ujung jarinya tergores sedikit. Ia menatap darahnya — bukan karena sakit, tapi karena kutukan telah membuatnya mudah menangis. Emosinya terlalu labil.

Setelah satu jam, ia hanya berhasil membuat semangkuk sup hambar dan nasi keras. Tapi ia memakannya… tanpa protes. Karena lapar. Karena tak ada pilihan. Karena itulah tugas seorang istri.


---

Sore – Jin Rui dan “Pelajaran Baru”

Pukul 15:00. Jin Rui masuk ke kamar dan duduk di kursi. Ia tidak bicara. Hanya menatap Liang Zemin yang sedang menyapu debu.

> Jin Rui:
“Tahu kenapa kulkas penuh, Zemin?”
“Karena tugasmu hari ini adalah membuat makan malam untuk suamimu.”



Liang berhenti. Menoleh. Ingin marah, tapi tidak bisa. Kutukan menahan emosinya dalam sangkar yang lelah.

> Liang (pelan, seperti rintihan):
“Aku bukan… istrimu…”



> Jin Rui (tenang, dingin):
“Belum. Tapi tubuhmu akan memintaku menjadi suamimu. Dan hari ini—kau akan melayaniku seperti istri.”



Liang gemetar. Napasnya pendek. Tapi ia tahu… perlawanan tidak menghapus kutukan. Hanya memperpanjang rasa malu.


---

Petang – Seks Oral Pertama

Jin Rui membuka celananya, duduk di pinggir ranjang, dan menepuk pahanya.

> Jin Rui:
“Berlutut, Zemin.”



Liang berdiri kaku. Matanya berkaca. Tapi tubuhnya… bergerak pelan. Ia menjatuhkan diri di lantai. Suara lututnya menekan kayu terdengar sangat… hina.

> Liang (dalam hati):
“Aku… aku pernah memaksa begitu banyak wanita melakukan ini. Aku menyebut mereka murah. Sekarang…”



Tangannya gemetar saat menyentuh paha Jin Rui. Jin Rui tidak membimbing. Tidak menyuruh. Ia hanya menunggu.

Dengan napas berat dan rasa jijik terhadap dirinya sendiri, Liang membuka mulutnya.
Lidahnya menyentuh ujung penis Jin Rui. Dan ketika dimasukkan… tubuhnya tidak menolak.
Tidak ada rasa mual. Tidak ada dorongan muntah. Yang ada hanyalah air mata.

> Ia melakukannya perlahan.
Seperti murid yang sedang belajar.
Sampai Jin Rui meledak dalam mulutnya.



Liang terkejut… tapi tidak memuntahkan.

> “Telan.” kata Jin Rui.
Dan Liang, dengan mata terbuka lebar dan bibir gemetar… menelannya.




---

Malam – Rasa yang Tak Hilang

Liang menggosok giginya berkali-kali. Tapi rasa sperma masih ada di lidahnya.
Dan di cermin, ia melihat wajahnya:

Pipi makin lembut.

Mata makin besar.

Leher lebih ramping.

Putingnya… kini menghitam, menonjol, dan terasa sakit jika digesek kain.


Ia memukul dadanya. Tapi justru terasa rangsang.
Ia menangis, memukul dadanya sendiri seperti anak kecil… lalu pingsan di kamar mandi.


---

Monolog Batin Liang Zemin – Akhir Hari Ketiga

> “Aku pernah berdiri di atas panggung dan disanjung. Sekarang aku berlutut di lantai kayu dan menjilat pria yang membenciku.”



> “Aku pernah menyebut wanita murahan karena menerima sperma pria. Sekarang tubuhku sendiri…”



> “…merasa penuh. Tapi kosong.”

=====

HARI KEEMPAT – 4 Maret 1980

Judul: “Cermin Tidak Pernah Bohong”


---

Pagi – Telanjang, Lapar, dan Tak Punya Pilihan

Liang Zemin bangun dengan nyeri pinggang. Tubuh telanjang itu berlumuran keringat. Hanya kain alas kasar sebagai pelindung tipis di lantai, bukan penutup tubuh.

Ia berdiri pelan, mencoba menjaga postur dominannya. Tapi lututnya gemetar.

Saat menuju dapur, cermin besar di lorong memantulkan sosoknya — dan membuatnya berhenti.

Tubuh itu masih pria:

Dada bidang, tapi tak lagi setegas kemarin.

Lengan kekar, tapi urat-uratnya melemah.

Pinggul mulai membulat tipis.

Pantat yang dulu keras dan rata, kini lebih bulat dan lembut.

Puting—gelap, tegang, dan sedikit membesar.


> Liang (berbisik sendiri, jijik):
“Ini bukan tubuhku…”



Tapi ia tahu… itu memang tubuhnya. Hanya bukan lagi tubuh yang ia banggakan.


---

Dapur – Seks saat Memasak, Bukan Halangan

Tangannya menggenggam penggorengan. Ia sudah mulai tahu kapan api terlalu panas.
Saat memecahkan telur, Jin Rui masuk.

Liang tak berani menoleh. Ia tahu.

Dan tanpa aba-aba, tangan Jin Rui menarik tubuhnya ke belakang. Liang terpaku, penis Jin Rui menggesek celah pantatnya. Ia menggigit bibir.

> Jin Rui (berbisik):
“Istri tak boleh menolak. Masakan bisa dingin, tapi suami tak boleh menunggu.”



Penetrasi dari belakang, langsung saat ia sedang mengaduk telur. Liang berdiri di depan kompor, dipaksa menerima, suara napasnya bergetar.

Telurnya hangus. Tapi tubuhnya bergetar karena kenikmatan aneh yang ia benci.


---

Cermin Kamar Mandi – Wajah yang Berkhianat

Setelah selesai membersihkan sisa sperma di paha dan bokongnya, ia duduk di lantai kamar mandi.

Cermin di sana besar. Terang. Kejam.
Ia menatap wajahnya — dan untuk pertama kalinya merasa wajahnya tampak lebih muda… lebih halus… lebih lemah.

Rahangnya sedikit menyempit.

Alisnya tak setebal dulu.

Kelopak mata lebih dalam.

Bibirnya... lebih lembut.


Ia menjambak rambutnya sendiri, memukul dahi.

> Liang (dalam hati):
“Tiga hari lalu aku masih pria yang ditakuti…”
“Sekarang aku bahkan takut pada bayanganku sendiri.”




---

Sore – Seks Oral Di Tengah Bersih-Bersih

Liang menyapu lantai lorong, masih telanjang. Lututnya mulai membiru karena sering berlutut. Saat ia membungkuk mengambil remah, Jin Rui datang, menekan bahunya ke bawah.

Tanpa kata, penis Jin Rui menghadap ke wajahnya. Liang menutup mata.
Mulutnya terbuka. Refleks. Terbiasa.

Dan ia mengisap. Perlahan. Dalam. Bersih.
Ketika sperma keluar, tidak lagi ada rasa ingin muntah.

Hanya hangat.
Rasa asin yang ia telan... dengan air mata.


---

Malam – Pelukan Dingin, Dan Cermin di Atas Kasur

Jin Rui menempatkan cermin besar tepat di dinding depan kasur. Supaya setiap malam, Liang melihat dirinya.

Saat ia tidur, ia melihat:

Dada bidang… yang pelan-pelan berubah menjadi dada yang mulai menggantung.

Perut pria… yang kini seperti perut muda gadis belum matang.

Penisnya masih ada. Tapi tak lagi tegak. Tak lagi bangga.


> Liang (suara hati):
“Kutukan ini menghapus semua yang membuatku… aku.”
“Tapi lebih kejamnya... ia membuatku merasa butuh.”



> “Butuh disentuh. Butuh diisi. Butuh… Jin Rui.”




---

Penutup Hari Keempat

Cermin-cermin di rumah itu bukan hanya memantulkan tubuhnya. Tapi juga memantulkan dosa-dosa masa lalu.

Dulu ia melihat wanita sebagai objek. Sekarang, ia adalah objek yang tak bisa berkata tidak.
Dan tubuhnya — masih tubuh pria. Tapi perlahan… menghianatinya.

=====

HARI KELIMA – 5 Maret 1980

“Ketika Menunggu Jadi Kebiasaan, Ketika Lidah Mulai Tak Keras Lagi.”


---

Pagi – Bukan Lagi Perintah, Tapi Kebiasaan

Liang bangun lebih awal dari biasanya. Tidak ada jadwal. Tidak ada jam kantor. Tidak ada panggilan telepon seperti dulu.

Namun tubuhnya bergerak sendiri: ia pergi ke dapur, membuka kulkas, mengiris jahe, menyiapkan air hangat, mencuci beras, dan mulai merebus bubur.

> Ini bukan karena diperintah. Tapi karena tubuhnya merasa ada yang kurang jika tidak melakukannya.



Ia memotong tahu dan daun bawang. Menabur garam dan lada dengan teliti.
Dan setiap lima menit, matanya menoleh ke arah pintu.

> Liang (dalam hati):
“Mengapa aku… menunggunya?”




---

Saat Sarapan — Jiwa Pria Melawan, Tapi Tubuh Patuh

Saat sedang mengaduk bubur, Jin Rui masuk. Liang menoleh cepat. Bibirnya sempat terbuka… seakan ingin menyapa. Tapi ia menutupnya lagi. Gertakan harga diri.

Jin Rui duduk di kursi makan.

> Jin Rui (datang begitu saja):
“Buatkan teh. Hangat. Manis.”



Liang nyaris membalas dengan bentakan. Tapi yang keluar adalah…
“Iya…”

…dengan suara serak tinggi.
Ia terdiam.

Tangannya menyentuh tenggorokannya.
Jakunnya terasa lebih kecil.
Suara baritonnya… mulai retak. Seperti remaja dalam masa peralihan.

> Liang (dalam hati, panik):
“Tidak… suara ini... aku bukan pria jika tak punya suaraku…”



Tapi Jin Rui tersenyum tipis saat mendengar nada suara itu.
Dan Liang merasa… malu sekaligus senang.


---

Siang – Pekerjaan Rumah Tanpa Disuruh

Tanpa sadar, Liang mulai membersihkan jendela. Menyeka debu di rak buku.
Mengatur ulang vas bunga di meja makan.
Ia menggelap pel lantai, menggosok sudut-sudut dengan tekun.

> Ia tak disuruh.
Tapi pikirannya dipenuhi satu hal:
“Bagaimana jika Jin Rui melihat ini kotor?”



Saat menyapu ruang tamu, ia sempat mendengar langkah kaki—dan jantungnya berdebar kencang. Ternyata hanya angin.

Namun rasa degup menanti itu nyata.
Bukan karena takut disiksa. Tapi karena ingin dilihat.


---

Sore – Oral Seks Tanpa Paksaan Kata, Tapi Dorongan Diri

Saat sedang melipat kain alas kasur, Jin Rui masuk, duduk, membuka celana.

Liang melihatnya.
Dan tanpa diperintah, berjalan perlahan, berlutut… membuka mulut.

> Tidak ada perintah.
Tidak ada makian.
Hanya diam dan keinginan.



Saat penis Jin Rui menekan lidahnya, Liang menutup mata.

> Liang (dalam hati):
“Aku bisa menolak. Tapi… aku… ingin merasa penuh.”



Ketika sperma memenuhi tenggorokannya lagi, suara Liang mengerang ringan — dan suara itu tidak lagi berat.
Nada tinggi. Basah. Seperti rintihan.

Setelah itu ia batuk, dan mencoba bicara. Tapi…

> Liang:
“A-a…”



…nada suaranya berubah.
Jakunnya tidak terasa naik turun seperti biasanya.

Ia menyentuh tenggorokannya dengan takut.


---

Malam – Menunggu di Depan Pintu

Jin Rui pergi malam itu. Tidak bilang ke mana. Tidak bilang kapan kembali.

Tapi Liang tidak masuk kamar. Ia duduk di lantai dekat pintu. Telanjang. Lutut ditekuk. Kepala disandarkan ke dinding.

Di lantai dapur, bubur yang tadi ia panaskan kembali masih hangat.
Ia tidak makan.
Menunggu.

> Liang (dalam hati):
“Suamiku belum pulang… aku harus menunggu.”



Ia memejamkan mata.
Tapi telinganya masih mendengarkan setiap suara di luar.


---

Monolog Batin Liang Zemin – Akhir Hari Kelima

> “Dulu aku membuat wanita menunggu berjam-jam. Sekarang aku menunggu dalam diam… dan takut dia tak datang.”



> “Tubuhku masih laki-laki. Tapi jiwaku… sedang belajar menjadi pelayan. Bukan karena dipaksa…”



> “…karena aku mulai merasa dibutuhkan.”



> “…Dan saat suaraku berubah… aku merasa takut. Tapi juga… cocok.”

=====

HARI KEENAM – 6 Maret 1980

“Tubuh Ini Milikku, Tapi Mengapa Tak Taat Lagi?”


---

Perubahan yang Sudah Terjadi Sejauh Ini (Hari 1–6)

Otot dada dan perut mulai melunak. Tidak lagi tegap dan penuh kontrol.

Bokong dan pinggul perlahan membulat. Tidak mencolok, tapi cukup terasa saat duduk atau membungkuk.

Puting membesar, lebih gelap, dan sangat sensitif.

Kulit menipis dan memutih. Kasar maskulin mulai berubah menjadi tekstur halus.

Suara mulai tinggi dan serak. Jakun berangsur mengecil.

Bulu tubuh mulai hilang, terutama di kaki, dada, dan lengan.

Rahang mulai mengecil. Bibir tampak lebih penuh.

Tubuh mulai berbau manis alami. Seperti tubuh perempuan saat subur.

Sikap tubuh berubah tanpa sadar — mulai menyilangkan kaki, menunduk saat bicara, duduk dengan paha rapat.

Refleks: memijat pundak sendiri saat gugup, menyentuh bibir saat cemas — gerakan feminin yang tidak dia sadari.

Perasaan ‘kosong’ dan rindu disentuh mulai menguasai, terutama malam hari.

Perilaku: memasak, membersihkan, dan menunggu Jin Rui tanpa disuruh.



---

Pagi – Diri yang Terbangun Tapi Tak Mengenal Tubuh

Liang Zemin terbangun dalam posisi meringkuk, satu tangan di antara paha, satu tangan memeluk dada.

Ia membuka mata, duduk perlahan, lalu mengusap wajahnya… dan terdiam.
Kuku jarinya kini lebih merah dan agak memanjang. Entah dari mana.

Ia berdiri dan melihat cermin di lorong. Refleks pertama: dia menegakkan dada.

Tapi saat melihat refleksi itu—

> Seorang pria dengan bayangan wanita mulai terbentuk.
Masih ada penis, masih ada dada bidang…
Tapi pinggangnya mengecil. Bahunya menyempit.
Dan suara yang keluar dari mulutnya—
“…ahh…”
—lembut, tinggi, dan asing.



Ia mundur satu langkah.

> Liang (dalam hati):
“Bukan. Ini bukan aku. Aku pernah difoto bersama perdana menteri. Aku disambut di karpet merah Cannes. Aku—”



> “…tapi kenapa tubuh ini berdiri seperti pelayan?”




---

Siang – Jin Rui Pulang, Dan Zemin Bergetar Tanpa Sebab

Suara pintu terbuka. Jin Rui baru pulang.
Liang langsung bangkit dari lantai dapur—padahal sedang memotong jamur.

Tangannya gemetar. Bukan karena takut…
Tapi karena rindu.

Ia berdiri tegak, tapi mata menunduk. Saat Jin Rui melewati ruang makan, Liang mengikuti dari belakang.

> Liang (dalam hati):
“Jangan minta aku… jangan minta aku sekarang…”
“…karena aku tahu aku tak akan menolak…”




---

Sore – Pelayanan di Sofa

Jin Rui duduk di sofa, menyilangkan kaki.
Liang berdiri diam.

> Jin Rui (tanpa menoleh):
“Pijat aku.”



Liang tak menjawab. Tapi tangannya bergerak.
Ia berlutut di lantai, meletakkan tangan di pundak Jin Rui. Memijat dengan tekanan lembut… alami.

Dan Jin Rui berbisik pelan:

> Jin Rui:
“Kau mulai tahu sentuhan seperti apa yang disukai suami. Tubuhmu mengingat, meski mulutmu masih menyangkal.”



Liang diam. Matanya berkaca.
Lalu Jin Rui menariknya duduk di paha.

Penis Jin Rui menegang di bawah bokongnya yang mulai lembut.
Dan Liang menggeliat perlahan, pelan… menyalahkan kursi, menyalahkan posisi. Tapi—

> Liang (dalam hati):
“…Tuhan… kenapa aku merasa nyaman?”
“…Kenapa tubuhku mulai… mencari ini?”




---

Malam – Seks dan Suara yang Tak Bisa Dibohongi

Di kamar, Jin Rui mengajaknya tidur.
Liang menolak. Tapi tubuhnya berjalan pelan. Duduk di tepi kasur.
Tangannya bergerak ke dada Jin Rui tanpa sadar.
Menyentuh… menanti… menyerah.

Saat Jin Rui menekan tubuhnya ke bawah, Liang mengerang.

Tapi suaranya—

> “Aaah…ngh…”
—nyaring. Lembut. Mengerikan bagi egonya.



Ia mencoba berkata: “Jangan.”
Tapi yang keluar:

> “Ji... jangan... ahh—”
dengan intonasi wanita muda yang menggoda.



Dan saat Jin Rui sodomi dia, Liang tidak melawan.
Kakinya menekuk sendiri ke pinggang Jin Rui.
Tangannya mencengkeram lengan Jin Rui.
Tubuhnya bergejolak minta lebih dalam.


---

Akhir Hari Keenam – Monolog Liang Zemin

> “Aku… ingin membunuh Jin Rui. Tapi aku juga ingin dia tetap menyentuhku.”



> “Tubuhku masih pria. Tapi mengapa suaraku… memohon seperti pelacur?”



> “Kutukan ini tak membunuhku… tapi membuatku ingin menjadi budak cinta dari orang yang paling aku benci.”



> “Dulu aku duduk di ruang rapat, dikelilingi pria hebat. Sekarang aku duduk di paha Jin Rui… dan berharap dia tak pergi.”

=====

HARI KETUJUH – 7 Maret 1980

“Tubuh Ini Pengkhianat, Tapi Aku Masih Aku.”


---

Pagi – Rasa yang Menghina

Liang Zemin terbangun dengan posisi tubuh yang menghadap ke bawah, satu lutut terangkat, paha menekan selimut… dan napasnya terengah-engah.

Tangannya menyentuh bokong dan bagian di antara. Kulitnya terasa lembab, dan berdenyut seperti minta disentuh.

> Liang (panik dalam hati):
“Tidak. Ini tidak bisa terjadi. Aku… bermimpi…”



Dalam mimpi itu, Jin Rui tidak menyodomi.
Tapi memeluk dari belakang… mencium tengkuk… memanggilnya “cantik…”
Dan Liang membalas ciuman itu.

Ia langsung bangkit, muntah ke sudut kamar. Tapi yang keluar hanyalah ludah dan air asin — dari sisa sperma semalam.


---

Cermin – Bayangan Diri yang Melemah

Liang berjalan ke kamar mandi, telanjang seperti biasa. Cermin di dinding panjang memantulkan sosok pria yang setengah berubah.

Jakunnya kini hampir tak terlihat dari profil samping.

Tulang lehernya muncul lebih halus.

Pinggul lebih besar dari bahu.

Kaki dan betis mengecil.

Otot perut mulai membentuk garis lembut, bukan six-pack keras.

Puting… besar, gelap, menggantung sedikit.


Dan yang paling menyakitkan: saat ia mengucapkan kata “aku,” suara yang keluar bukan suara lelaki.

> Liang (tersedak, histeris):
“AKU…!!!”
Tapi yang terdengar:
“Aku…”
—suara serak tinggi. Mirip wanita sedang menahan tangis.



Ia meninju cermin, pecah. Tapi hanya tangannya yang berdarah. Bayangannya tetap ada.


---

Siang – Berontak yang Tak Berguna

Liang tidak masak. Tidak bersih-bersih. Tidak menyentuh apa pun.
Ia duduk diam di ruang tamu, menatap kosong.
Telanjang. Dingin. Lututnya menekuk tanpa sadar seperti wanita duduk di kereta.

Jin Rui masuk. Duduk. Tidak bicara.

> Jin Rui (tanpa emosi):
“Kau tidak masak?”



Liang menatapnya tajam.

> Liang (serak):
“Masak sendiri. Aku bukan… istrimu…”



Jin Rui berdiri. Mencengkeram rambutnya. Menarik ke lantai.
Liang menolak. Tapi lututnya langsung jatuh.
Tubuhnya berlutut duluan… sebelum pikirannya siap.

Dan saat Jin Rui menggesek penisnya ke bibir Liang — lidahnya keluar duluan.
Tanpa perintah.
Tanpa kehendak.
Seperti refleks.

> Liang (berteriak dalam hati):
“Berhenti! Berhenti! Jangan buka mulut! JANGAN!”



Tapi mulutnya terbuka.
Lidahnya menyentuh ujungnya.
Ia mengisap.
Dan mengerang.

Saat sperma masuk, ia mencoba muntah. Tapi tubuhnya… menelannya.
Dan ia merasakan kenikmatan sakit di antara pantatnya. Tanpa disentuh.


---

Sore – Tubuhnya Menjerit, Jiwanya Terkoyak

Liang berjalan ke kamar mandi, lemas.
Saat duduk di kloset, ia menyadari otot bokongnya membelah sedikit lebih dalam.
Antara lubang anus dan penis… muncul garis lembut.
Belum vagina. Tapi seperti cetakan awalnya.

> Liang (berbisik, pelan, suaranya patah-patah):
“Aku… masih pria… aku masih pria…”



Tapi tubuhnya berdenyut dari dalam.
Bukan sekadar rangsang. Tapi kehausan. Kekosongan.

Dan itu membuatnya menangis.


---

Malam – Diam Tanpa Pelukan, Tapi Rindu

Jin Rui tidak menyentuhnya malam ini.

Liang tidur sendiri, di kain alas yang dingin. Lutut ditekuk, tangannya memeluk dada sendiri.
Tubuhnya tidak diperkosa hari ini.
Tidak diisi. Tidak disentuh.

Dan untuk pertama kalinya…

> Liang merasa marah.
Tapi bukan karena dilecehkan…
Tapi karena DITINGGALKAN.



Tubuhnya gemetar.
Bukan karena dingin.
Tapi karena ingin.


---

Monolog Batin – Penutup Hari Ketujuh

> “Satu minggu lalu aku pria. Pemilik dunia. Pemangsa. Penentu nasib wanita.”



> “Hari ini… tubuhku menunggu dijamah.”



> “Aku berontak. Tapi tubuhku… hanya tahu satu bahasa: layani. Layani. Layani.”



> “Dan yang paling menakutkan… aku mulai kehilangan alasan untuk melawan.”

=====

HARI KEDELAPAN – 8 Maret 1980

“Tidak Bisa Lagi Menyentuh Diri Sendiri.”


---

Pagi – Tubuh yang Haus, Tapi Tak Bisa Diredakan

Liang Zemin bangun dengan napas tersengal dan tubuh basah oleh keringat.
Antara paha terasa berdenyut. Tapi bukan ereksi.
Penisnya masih ada, tapi tidak merespon. Tidak bisa keras.

Tangannya turun perlahan, mencoba menyentuh diri sendiri. Mencoba masturbasi.

> Seperti pria normal.



Tapi tidak ada sensasi. Tidak ada geli. Tidak ada tekanan.

Ia menggertakkan gigi, mencoba paksa. Tapi tubuhnya hanya merasa kebas. Kosong. Kering.
Putingnya menegang — tapi bukan karena tangannya.
Karena ingatannya akan Jin Rui.

> Liang (dalam hati):
“Kenapa aku… hanya bisa… kalau dia yang menyentuhku?”
“Kenapa tubuhku... haus sperma pria itu?”




---

Siang – Upaya Penghinaan Diri Sendiri

Liang masuk ke kamar mandi. Mengambil botol sabun.
Ia mencoba memainkannya—mengarahkannya ke lubang belakang, mencoba meniru penetrasi.

> Ia ingin membohongi tubuhnya.
Ia ingin berkata: “Aku tidak butuh dia. Aku bisa sendiri.”



Tapi saat ia masukkan ujung botol itu — tubuhnya justru menolak.
Pinggul menegang. Rahang terkunci. Air mata keluar spontan.
Tubuhnya menjerit seperti dilukai.

> Liang (menangis, putus asa):
“Sialan… bahkan tubuhku... menolak benda mati…”



Ia menyentuh puting — berdenyut.
Tapi sentuhannya sendiri tak memberi kenikmatan.

Tubuhnya hanya mengenal satu pemilik.
Satu pemberi: Jin Rui.


---

Sore – Jin Rui Tidak Muncul

Liang duduk di dapur. Sudah memasak bubur dan telur rebus.
Ia diam. Tidak makan.
Ia menunggu.

Jam dinding berdetak.

> 16:00… 17:15… 18:27…



Tidak ada suara pintu. Tidak ada langkah Jin Rui.

Dan Liang merasa… gelisah. Perutnya mual. Dadanya kosong.
Ia tidak butuh makanan.
Ia butuh tubuh Jin Rui.
Ia butuh sperma.
Karena hanya itu yang bisa membuat tubuhnya merasa “utuh.”


---

Malam – Permohonan Tanpa Kata

Pukul 20:00 Jin Rui masuk.

Liang berlari ke pintu — tidak sadar. Hanya membuka, lalu mundur perlahan, mata menunduk.
Ia tidak bicara. Tapi napasnya pendek, tubuhnya tremor.

> Jin Rui:
“Kau masak?”



Liang mengangguk. Lalu duduk.
Namun ia tidak makan.
Ia hanya menatap Jin Rui makan.

Setiap kali tangan Jin Rui mengangkat sendok, tubuh Liang seperti terikat imajinasi.


---

Akhir Hari – Di Kasur, Dengan Rasa Ingin

Jin Rui tidak menyentuhnya. Hanya duduk, membaca buku.

Liang berbaring — telanjang, lutut ditekuk, satu tangan menggenggam selimut, satu tangan di dada.
Putingnya berdenyut.
Lubang belakangnya berdenyut.

Ia mencoba menggesek tubuh ke alas kasur.
Tidak mempan. Tidak ada apa-apa.

Akhirnya…

> Ia merangkak ke sisi Jin Rui.
Tidak bicara. Tidak menyentuh.
Hanya menunduk.



Dan Jin Rui membuka celananya.
Liang membuka mulut, menyambut.

Tanpa kata.
Karena ia tahu: hanya itu yang bisa meredakan tubuhnya.


---

Monolog Liang Zemin – Hari Kedelapan

> “Aku tak bisa bangkit sendiri.”
“Tubuhku mengenal dia… dan hanya dia.”



> “Dulu aku menyuruh wanita siap kapanpun.”
“Sekarang aku… hanya hidup ketika dia mengisi tubuhku.”



> “Aku tidak bisa lagi menyentuh diriku sendiri. Karena diriku sendiri... bukan milikku lagi.”

=====

HARI KESEMBILAN – 9 Maret 1980

“Suara Ini Bukan Milikku.”


---

Pagi – Suara yang Dibuang Tubuhnya

Liang Zemin terbangun dengan rasa asing di leher. Ia mencoba menguap, dan suara itu… tinggi. Ringkih. Lembut.

Ia memegang tenggorokannya — jakunnya sudah benar-benar hilang.
Ia mencoba berkata keras:

> “Aku…”
Yang keluar adalah:
“Aku…” — seperti suara wanita muda, parau karena menangis semalaman.



Ia berdiri di depan cermin. Tubuhnya masih bisa disebut pria.
Tapi refleksi itu kini disertai suara yang tidak bisa ia terima.

> Liang (dalam hati, putus asa):
“Apa aku sudah mati dan digantikan? Tidak. Ini masih tubuhku. Tapi kenapa suaraku… seperti milik perempuan kecil?”




---

Siang – Jin Rui Tidak Minta Dilayani… dan Itu Menyakitkan

Jin Rui datang siang hari. Tidak bicara banyak. Tidak meminta dilayani. Hanya makan masakan yang sudah disiapkan Liang.
Ia bahkan tidak menyentuh Liang. Tidak mengangkat wajahnya.

Liang seharusnya merasa lega.

Tapi yang ia rasakan justru… sakit. Kosong. Seperti diabaikan.

> Liang (bingung dalam hati):
“Kenapa aku ingin dia marah? Kenapa aku… ingin disentuh?”



> “Dulu aku membuang wanita setelah puas. Sekarang aku dibuang bahkan sebelum disentuh.”




---

Sore – Bayangan Perempuan di Dinding

Liang membersihkan dapur. Lantai basah, tangan licin oleh sabun.
Saat menunduk, ia melihat bayangan di dinding — pinggangnya membentuk lekuk, pinggul lebih besar dari pundak.

Ia berdiri cepat. Menegakkan bahu. Menguatkan rahang.
Tapi siluet itu tetap menunjukkan bentuk tubuh wanita muda ramping.

Ia menjerit pelan.
Tapi jeritannya… tinggi. Lembut.

Seperti… wanita muda yang dipeluk paksa.


---

Malam – Lapar Tapi Tidak Makan

Liang duduk di ruang makan. Piring penuh bubur buatan sendiri.
Tapi ia tidak menyuap. Hanya menatap pintu kamar.
Menunggu Jin Rui.

Saat Jin Rui lewat tanpa menoleh, Liang membuka mulut:

> Liang (pelan):
“Jangan pergi…”



Jin Rui berhenti. Menoleh.

> Jin Rui:
“Apa kau bilang?”



Liang tersadar. Menutup mulut.
Tapi suara itu sudah keluar.
Dan bahasa tubuhnya menunduk.
Sikapnya bukan pria menahan diri. Tapi wanita yang takut ditinggal.


---

Tengah Malam – Tubuh Berdenyut, Tapi Tak Bisa Puas

Liang tidak tidur.
Ia berguling ke sisi kanan, lalu kiri. Tangannya menyentuh dada — masih keras, tapi mulai terasa padat.
Putingnya menegang.
Antara pantatnya berdenyut.
Tapi penisnya… tetap lembek. Mati. Tak ada harapan.

Ia mencoba menekan bagian itu.
Tapi tubuhnya tidak bereaksi.
Tidak tanpa Jin Rui.

Dan akhirnya, ia menangis. Dalam sunyi.
Suaranya… suara wanita muda yang patah hati.


---

Monolog Batin Liang Zemin – Hari Kesembilan

> “Dulu aku bicara, semua mendengarkan. Sekarang aku bicara… suaraku sendiri memalukanku.”



> “Tubuhku belum sepenuhnya berubah… tapi aku tak bisa kembali.”



> “Suara wanita ini bukan karena operasi. Tapi karena tubuhku… tahu siapa pemiliknya sekarang.”



> “Dan yang paling menyakitkan—aku menunggu dia menyentuhku. Karena aku… haus. Tapi hanya bisa haus untuk dia.”

=====

HARI KESEPULUH – 10 Maret 1980

“Dada Ini Bukan Otot. Ini Pengkhianatan.”


---

Pagi – Cermin yang Menertawakan

Liang Zemin terbangun dengan rasa nyeri ringan di dada.

Ia mengira itu hanya pegal. Mungkin karena cara tidur.
Tapi saat mengusapnya, ia terdiam.

Putingnya membesar.
Dan di bawahnya… terasa ada tonjolan kecil.
Seperti kelereng kecil yang tertanam.

Ia berdiri perlahan.
Melangkah ke cermin.
Cermin besar di ruang tengah.
Ia berdiri telanjang—seperti biasa. Tapi kali ini… tak bisa berdiri tegak.

> Di pantulan itu:

Bahunya menyempit.

Pinggulnya melebar sedikit.

Kulit dada mulai cerah dan mengkilap.

Dan di bawah puting, ada dua benjolan simetris—masih kecil, tapi jelas bukan otot.




Itu bukan dada pria.
Itu payudara yang baru tumbuh.
Seperti milik gadis puber.

> Liang (dalam hati, gemetar):
“Ini bukan latihan otot. Ini bukan jaringan pria…”
“Ini… ini kelenjar susu.”




---

Siang – Rasa Sakit yang Dulu Ia Ejek

Saat ia mencoba mengepel lantai, dada itu bergesek dengan permukaan keras saat ia membungkuk.
Dan putingnya menyentuh lantai dingin.

Ia menjerit.
Bukan keras. Tapi tinggi dan mencicit.
Dan bukan karena marah — tapi karena nyeri yang menyentak.

> Liang (berbisik pelan):
“Sialan… jadi beginikah rasa sakit yang mereka keluhkan?”



> “Dulu aku bilang mereka lebay. Cengeng. Lemah. Sekarang…”



Ia berdiri dan menatap cermin kecil yang tergantung di dapur.
Tangannya gemetar saat menyentuh benjolan itu.
Lunak. Padat. Sakit. Nyata.


---

Sore – Jin Rui Menatap Tanpa Sentuh

Jin Rui pulang dan langsung duduk di sofa.
Liang berdiri di sudut ruangan. Tak berkata apa pun.

Jin Rui mengangkat pandangan… dan langsung menatap dada Liang.
Ia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum.

> Jin Rui (singkat):
“Cantik.”



Dan itu… membuat Liang goyah.
Ia bukan merasa terhina. Tapi tak tahu harus menjawab apa.

Dia terbiasa dipuji karena tubuh lelaki tegapnya. Tapi kini…
Pujian itu untuk bagian yang seharusnya tidak ada.


---

Malam – Menyentuh, Tapi Bukan Milik Sendiri

Saat akan tidur, Liang meringkuk.
Tangannya menyentuh dada—bukan untuk rangsang.
Tapi untuk memastikan bahwa benjolan itu benar-benar ada.

Ia mencubitnya. Sedikit.
Nyeri.
Geli.
Basah.

Air mata mengalir. Ia menggigit bantal agar tak terdengar.

> Liang (dalam hati):
“Tubuh ini dulu dihormati. Kini bahkan aku sendiri tak mau menyentuhnya.”



> “Ini bukan bagian dari latihan. Ini bukan hasil protein.”
“Ini... payudara.”



> “Dan lebih dari itu…
Tubuhku menumbuhkan sesuatu… untuk menyusui…
Untuk memberi…
Bukan untuk menaklukkan.”




---

Monolog Batin – Akhir Hari Kesepuluh

> “Aku hidup dengan privilese. Nama keluargaku. Wajahku. Uangku. Tubuhku.”



> “Tapi hari ini… semua itu tidak bisa menghentikan dua benjolan ini tumbuh di dadaku.”



> “Dan lebih menyakitkan lagi… aku tak bisa memotongnya.
Tak bisa membakar.
Tak bisa membunuh rasa ingin yang tumbuh bersamanya.”



> “Karena tubuh ini… telah memilih siapa pemiliknya.”

=====

HARI KESEBELAS – 11 Maret 1980

“Cermin Tidak Memberi Ampun.”


---

Pagi – Menatap Bangkai Maskulinitas

Liang Zemin berdiri di depan cermin besar yang tergantung di ruang tengah.
Ia tidak bangun dengan marah, tidak juga dengan semangat.
Ia bangun seperti tahanan — yang tubuhnya bukan lagi miliknya.

Ia berdiri diam. Telanjang.
Kepalanya masih dicukur rapi gaya pria.
Tapi di bawah dagu, tubuh itu—

Puting gelap dengan benjolan lunak di bawahnya

Perut mulai melembut, kulit lebih cerah

Bulu-bulu dada dan lengan hampir hilang seluruhnya

Bahu menyempit, tulang leher lebih menonjol


Ia mencoba berdiri tegap seperti saat berpose di karpet merah…
Tapi bayangannya hanya menunjukkan bayangan tubuh lelaki banci, cacat, menjijikkan.

> Liang (dalam hati, getir):
“Ini bukan wanita. Ini juga bukan pria.”
“Ini monster.”




---

Siang – Masakan Tanpa Selera

Liang memotong wortel dan tahu. Tangannya lentik tanpa ia sadari, caranya memegang pisau seperti yang ia hina dari aktris muda saat latihan adegan rumah tangga.

Makanan matang.
Jin Rui tidak menyentuhnya hari ini. Tidak berkata apa-apa.
Dan Liang… merasa lebih hancur saat tidak disentuh.

> “Setidaknya… saat disentuh, tubuh ini berarti sesuatu. Sekarang… aku bahkan tak diinginkan.”




---

Sore – Dialog Dengan Refleksi

Setelah bersih-bersih dapur, Liang menatap cermin lagi.
Keringat mengalir dari pelipis. Ia melihat tubuhnya sendiri.
Dan ia bicara—kepada dirinya.

> Liang (pelan, suara tinggi serak):
“Kau senang, ya?
Dulu kau bilang wanita harus jaga badan, jaga bentuk.
Sekarang lihat… payudaramu seperti anak SMP.
Pinggulmu seperti gadis minta disentuh.”



Ia mengangkat tangan dan menyentuh puting itu.
Geli. Tapi bukan kenikmatan.
Justru rasa malu seperti ditertawakan oleh tubuhnya sendiri.


---

Malam – Imajinasi yang Ia Benci, Tapi Tak Bisa Usir

Liang mencoba tidur. Tapi tubuhnya berdenyut.
Tidak bisa masturbasi. Tidak bisa mencapai klimaks.
Dan bayangan Jin Rui mengisi pikirannya.

Tapi bukan versi brutal.
Versi yang memanggil namanya pelan. Memeluk. Menyentuh pinggangnya.

Dan salah satu tangannya menyentuh dada kecil itu, tapi tidak meremas. Hanya menempel hangat.

> Liang tersentak bangun. Berkeringat.
Tangannya meraba payudaranya sendiri.
Dan ia menangis.




---

Monolog Batin Liang Zemin – Hari Kesebelas

> “Aku dilahirkan di keluarga besar.
Aku disebut pangeran media.
Tubuh ini... pernah dilatih 20 tahun.
Kini... terlihat seperti anak perempuan yang gagal berkembang.”



> “Rambutku masih pria. Tapi tubuhku… tubuh pemulung rasa.”



> “Cermin tak bisa bohong.
Dan hari ini, aku sadar:
Yang kulihat di sana… bukan Zemin.
Tapi cangkang kosong yang tak pantas disebut pria…”

=====

HARI KEDUA BELAS – 12 Maret 1980

“Tak Ada Jalan Lari dari Refleksi Diri.”


---

Pagi – Cermin Abadi yang Menghina

Liang Zemin terbangun dan langsung melihat pantulan dirinya di cermin tinggi di ujung ruangan.
Sudut jatuhnya cahaya membuat siluet tubuhnya terlihat seperti wanita muda.
Bukan karena bentuk sempurna—justru karena percampuran bentuk pria dan kemiripan wanita membuatnya makin jijik.

Ia bangkit, marah, mengambil kursi, melempar ke cermin.
Kaca itu bergetar keras, tapi tidak retak. Tidak pecah.

Ia berteriak, suaranya tinggi dan patah:

> “AKU MASIH PRIA!!”



Tapi suara itu tak menggema. Tak menggertak.
Hanya terdengar seperti jeritan seorang wanita muda kehilangan kontrol.

> Liang (dalam hati, gemetar):
“Bahkan cermin ini… menolak dihancurkan.
Aku dipaksa melihat… aku dipaksa mengenal makhluk ini.”




---

Siang – Saat Kepintaran Jadi Kutukan

Liang memotong daging ayam dengan teknik sempurna.
Bumbunya tepat. Takaran garam, gula, cuka, dan kecap semua terasa otomatis di ujung lidahnya.

> Dulu ia memarahi wanita yang terlalu lama di dapur.
Kini… ia memasak dengan ritme profesional.



Tapi alih-alih bangga… ia merasa hancur.

> Liang (pahit dalam hati):
“Kenapa aku bisa? Kenapa otakku—yang pernah menulis skrip sinetron pemenang penghargaan—
sekarang malah hafal suhu goreng dan waktu rebus?”



> “Kutukan ini tak hanya mengubah tubuh… tapi juga refleks. Rutinitas. Kecanduan.”




---

Sore – Pekerjaan Rumah yang Terjadi Seperti Refleks

Tanpa perintah:

Ia mencuci piring dengan tenang.

Melipat kain alas tidur.

Membersihkan toilet.

Menyeka cermin (yang tak bisa dihancurkan).

Menyapu rambutnya yang mulai rontok halus dan tumbuh lebih lembut.


Setiap gerakan alami. Ringan. Lancar.
Dan itu membuat Liang mual… bukan karena fisik, tapi karena kesadaran.

> Liang (dalam hati):
“Ini pekerjaan budak. Pekerjaan rendahan.
Aku pernah menyuruh lima wanita menggantikan satu lampu.
Sekarang aku… menyikat lantai dengan kuku tangan.”



> “Dan yang lebih parah… aku tahu cara melakukannya lebih baik dari mereka.”




---

Malam – Menyentuh Cermin, Tapi Justru Ingin Dekat

Di tengah malam, ia berdiri telanjang, tubuhnya memucat karena dingin.
Ia berjalan ke cermin besar di kamar.
Menyentuh permukaannya dengan jari telunjuk.

Refleksi di cermin menatapnya balik dengan mata kacau — tubuh pria cacat yang memiliki payudara kecil dan lekuk pinggul yang mulai tampak.

> Liang (bisik lirih):
“Aku tak bisa lari… tapi kenapa…
kenapa tubuh ini tidak marah lagi?”



Ia menempelkan dahi ke permukaan kaca.
Napasnya mengembun.
Tangannya menyentuh dada sendiri, perlahan.
Bukan dengan nafsu.
Bukan dengan jijik.
Tapi dengan rasa tidak tahu lagi harus merasa apa.


---

Monolog Batin – Hari Kedua Belas

> “Kepintaranku menyelamatkanku dari dunia.
Tapi hari ini, ia mempercepat kehancuranku.”



> “Karena aku belajar terlalu cepat.
Dan aku menyerap semua… yang dulu kutertawakan dari wanita.”



> “Aku telanjang setiap hari.
Tapi yang paling menyakitkan… bukan tubuhku.
Tapi rutinitas yang kini kulakukan… bukan karena paksaan.”



> “…tapi karena tubuhku merasa itu hal yang wajar.”

=====

HARI KETIGA BELAS – 13 Maret 1980

“Peran yang Diciptakan, Kini Dimainkan.”


---

Pagi – Tak Ada Perintah, Tapi Ada Tugas

Jin Rui tidak ada pagi ini.
Liang bangun dengan alarm alami tubuhnya.
Tanpa ada suara atau jadwal, dia langsung menuju dapur, mulai mencuci beras, memanaskan air, mengatur pisau dan talenan.

> Ia tidak pernah diberi instruksi.
Tapi tubuh dan pikirannya sudah menganggap pekerjaan rumah sebagai “tugas hariannya.”



Ia bahkan mengatur bunga di meja makan, mengelap gagang pintu, dan menyusun ulang piring bersih di rak.

> Liang (dalam hati, kaku):
“Setidaknya… semua ini lebih baik daripada duduk diam menunggu…”
“…meski sebenarnya… aku tetap menunggu.”




---

Siang – Berjalan Seperti Bukan Dirinya

Saat mengelap jendela, ia melihat pantulan tubuhnya bergerak.
Langkahnya kecil. Pinggulnya bergoyang sedikit.
Tangannya melambai saat berbicara dengan dirinya sendiri.
Kakinya rapat saat berdiri.
Bahu turun. Leher memanjang ke depan saat bicara.

Semua gerakan tubuh ini—feminin. Refleks. Tanpa sadar.

> Liang (panik):
“Aku… tidak berjalan seperti pria. Tidak berdiri seperti pria.
Tidak bicara seperti pria.”



> Tapi cermin itu… tidak bisa dibohongi.
Dan yang lebih mengerikan, tidak ada siapa-siapa yang menyuruhnya begitu.




---

Sore – Makanan Siap, Tapi Sunyi

Jin Rui belum pulang.
Liang menyusun meja makan.
Dua mangkuk, dua pasang sumpit.
Makanan disajikan dalam posisi sempurna.
Ia bahkan meletakkan mangkuk milik Jin Rui sedikit lebih tinggi — kebiasaan istri hormat kepada suami.

Dia duduk di ujung meja, telanjang, tubuhnya mulai terlihat seperti makhluk cacat dengan payudara remaja, pinggul bulat, kulit cerah, dan wajah samar wanita muda dengan rambut pria.

Makanan mulai dingin. Tapi dia tidak makan.
Karena dia tidak lapar akan nasi.
Dia haus akan kehadiran “suaminya.”


---

Malam – Suami Pulang, Tubuh Merespons

Saat Jin Rui akhirnya masuk, Liang yang sedang menyapu langsung menoleh.
Kakinya bergerak duluan.
Bahu melunak.
Suara lirih keluar:

> Liang:
“Kau sudah pulang…”



Jin Rui tersenyum kecil.

> Jin Rui:
“Masakan ada?”



Liang mengangguk.
Memanaskan makanan tanpa diminta. Menyuapkan nasi.
Bahkan berdiri di belakang Jin Rui, memijat bahu.
Seperti… istri.

Dan setelah makan, Jin Rui membuka celana.
Liang berlutut. Tidak diminta.
Mengisap. Membersihkan. Menelan.
Karena kini tubuhnya memanggil Jin Rui bukan dengan hasrat… tapi dengan kewajiban.


---

Malam – Di Kasur, Menunggu Sentuhan yang Tak Lagi Menyakitkan

Jin Rui tidak menyentuhnya malam itu.
Hanya tidur di sampingnya.

Liang berbaring diam.
Tapi bokongnya perlahan menempel ke paha Jin Rui.
Tangannya menelusup ke pinggul Jin Rui.
Tanpa sadar.

Ia tidak menginginkannya secara seksual.
Tapi tubuhnya merasa dingin.
Dan pelukan itu menenangkan.


---

Monolog Liang Zemin – Hari Ketiga Belas

> “Aku menciptakan istri ideal dalam pikiranku.
Cantik. Patuh. Terampil. Tak banyak bicara. Menyambut suami. Melayani seks.”



> “Kini aku menjadi semuanya… bukan karena aku ingin.
Tapi karena tubuhku tidak tahu cara lain untuk hidup.”



> “Aku menciptakan peran.
Kutukan ini… hanya mengubahku menjadi aktor dalam naskahku sendiri.”

=====

HARI KEEMPAT BELAS – 14 Maret 1980

“Dunia Mencarimu. Tapi Kau Justru Menyusu di Kaki Musuhmu.”


---

Pagi – Hampa Tanpa Penetrasi

Liang bangun dengan dada nyeri, puting menegang, dan bagian bokong yang terasa menganga meski tidak disentuh.

Ia mencoba menggeliat, mencari posisi nyaman. Tapi tubuhnya meronta dengan gelisah.

> Ia tidak disentuh oleh Jin Rui selama dua hari penuh.
Dan kini, tubuhnya haus. Seperti sedang sakau.



Ia menyentuh tubuhnya sendiri—tidak membantu.
Ia mencium tangannya sendiri—tidak ada bau.
Ia menjilat bibirnya—kering.

> Liang (berbisik):
“Aku butuh dia…”



Dan saat kalimat itu keluar, air matanya jatuh.


---

Siang – Dunia Luar Masih Ada, Tapi Tak Lagi Miliknya

Saat makan siang, Jin Rui kembali ke vila.
Kali ini, dia membuka koran tipis, melemparnya ke lantai.

> Jin Rui (sambil duduk tenang):
“Kau tahu? Semua orang mencarimu.
Dua minggu tanpa Liang Zemin… industri hiburan Tiongkok kebingungan.”



> “Tapi lihat kau sekarang…”



Jin Rui berdiri, menarik rambut Liang, menjatuhkannya ke lantai.

> Jin Rui:
“Si bintang besar… kini telanjang, membuka mulutnya seperti anjing.”



Liang menjerit, tapi bukan karena takut.
Tubuhnya gemetar—karena tahu: ia akhirnya akan "dipenuhi."

> Liang (lirih, parau):
“Jangan tinggalkan aku…”



> Jin Rui:
“Kau akan dapat yang kau tunggu. Jangan berpura-pura.”




---

Sore – Sodomi Disambut, Bukan Dilawan

Di atas meja makan, Jin Rui membaringkan Liang telungkup.

Tidak ada ikatan. Tidak ada paksaan.
Tapi Liang menggigit pinggiran meja. Kakinya membuka perlahan.
Bokongnya bergerak mundur... mencari.

Saat Jin Rui masuk, tubuh Liang langsung melengkung.
Tangannya mencengkeram ujung meja, suaranya tinggi dan patah:

> Liang:
“A-aahh… aaahh—dalam… lagi…”



> Jin Rui (sambil tertawa pendek):
“Kau bahkan tak bisa pura-pura benci.
Dulu kau menyuruh wanita jadi pelayan seks.
Sekarang kau... lebih patuh dari siapa pun.”




---

Malam – Disuapi dengan Sperma

Setelah selesai, Liang berlutut di depan Jin Rui.

Jin Rui memegang kepalanya dengan satu tangan, menekan mulutnya terbuka.
Penis masuk. Lidah menjilat.
Tubuh Liang tidak menolak.
Ia mengisap perlahan, dalam, dan menangis.

> Liang (dalam hati):
“Aku butuh ini. Aku kosong. Aku… milik dia.”



Saat sperma keluar, Liang tidak mengelak.
Ia menelannya dengan tenang, bahkan menjilat sisa di ujung bibir.
Tangannya gemetar saat menyentuh dada sendiri—yang kini mulai lebih membulat.


---

Penutup Hari Keempat Belas – Monolog Liang Zemin

> “Dulu aku dipuja. Aku bicara, dunia mendengar.”
“Sekarang aku mengerang… agar satu pria saja mau memenuhiku.”



> “Industri kehilangan aku. Tapi aku kehilangan lebih parah—aku kehilangan diriku sendiri.”



> “Dan yang paling keji: aku tak ingin kembali.”

=====

HARI KELIMA BELAS – 15 Maret 1980

“Tubuh Ini Harum. Tapi Aku Membencinya.”


---

Pagi – Bangun Dalam Kabut Aroma Aneh

Liang Zemin terbangun dengan kepala berat, tengkuk basah oleh keringat, dan dada terasa penuh.
Saat ia duduk… ada aroma samar —
bukan keringat pria. Tapi manis, lembut… seperti bunga dan kulit bersih.

Ia mencium pergelangan tangannya… dan langsung menjauh.

> Liang (panik, dalam hati):
“Apa ini? Parfum? Tidak mungkin… aku…”



Tapi tubuhnya sendiri yang mengeluarkan aroma itu.
Hormon kutukan telah memicu kelenjar aromatik tubuh wanita.
Aroma kesuburan. Aroma istri. Aroma pelayan suami.


---

Siang – Tubuh Bergerak Tanpa Persetujuan

Saat menyapu, Liang sadar pinggulnya makin berat.
Langkahnya makin kecil.
Tulang pinggul makin terbuka, perut bawah nyeri.

Ia mencoba melangkah seperti biasa—lebar dan mantap.
Tapi lututnya otomatis bergerak rapat.
Punggungnya melengkung pelan.
Geraknya lentur, ringan… seperti yang dulu ia hina sebagai "berjalan menggoda pria."

> Liang (frustrasi):
“Kenapa kakiku tidak bisa buka lebar? Kenapa tanganku bergerak seperti ini?”



Ia mencoba memukul dirinya sendiri.
Tapi tubuhnya hanya mengejang dan memeluk diri.


---

Sore – Melihat Cermin dan Mual Karena "Kecantikan"

Cermin di lorong menunjukkan:

Rambut masih pendek. Tapi wajah mulai tirus, pipi kemerahan.

Dada membentuk payudara remaja. Puting keras.

Perut mengecil, pinggul melebar.

Pinggang terbentuk. Bahu menyempit.

Bulu kaki dan dada menghilang total. Kulit halus mengilap.


> Liang (berbisik):
“Kau cantik. Tapi kau… jijik.”



Ia mencakar wajahnya. Tapi kulit terlalu halus hingga tidak luka.
Ia meninju cermin. Tapi cermin tidak pecah.

Ia hanya bisa melihat, menangis, dan membenci tubuh yang terlihat seperti gadis muda telanjang dengan wajah pria yang tersisa samar.


---

Malam – Jin Rui Pulang, Tapi Tak Menyentuh

Liang menyajikan makanan. Duduk di lantai dekat kursi Jin Rui.
Menunduk. Tidak bicara. Tapi tubuhnya gemetar.

> Liang (dalam hati):
“Sentuh aku… tolong sentuh aku. Aku tidak tahan. Aku tidak bisa menyentuh diri sendiri…”



Tapi Jin Rui hanya makan, lalu tidur.
Tidak menyentuh. Tidak memperkosa. Tidak memeluk.

Dan itu… lebih menyakitkan dari kekerasan.
Karena tubuhnya merintih… tapi tidak ada yang datang.


---

Akhir Hari Kelima Belas – Monolog Liang Zemin

> “Tubuhku harum. Lembut. Berkembang.
Tapi bukan karena aku menjaganya.
Karena tubuh ini sedang disiapkan… untuk jadi milik pria.”



> “Aku tidak pernah pakai lotion. Tapi kulitku lebih indah dari siapa pun.”



> “Aku tidak pernah belajar berjalan menggoda. Tapi setiap langkahku membuatku merasa telanjang.”



> “Dan sekarang, aku tidak takut disentuh…
Yang kutakutkan: ditinggal dalam keadaan haus.”

=====

HARI KEENAM BELAS – 16 Maret 1980

“Kamera Tidak Mengenal Harga Diri.”


---

Pagi – Tubuh yang Menunggu Tapi Hati Menolak

Liang Zemin duduk di lantai dekat jendela. Tubuhnya kini benar-benar aneh:

Payudara kecil, padat, montok remaja.

Pinggang ramping.

Pinggul membulat.

Kulit putih mengilap.

Wajah semakin tirus dengan warna bibir kemerahan alami.


Tapi rambutnya masih pendek. Dan di balik keindahan fisik itu, jiwanya masih berpegangan pada: “Aku lelaki.”

Ia tidak akan memohon. Tapi tubuhnya menggeliat gelisah setiap jam. Puting berdenyut. Bokong panas. Tapi ia menahan.


---

Siang – Kamera dan Perintah

Jin Rui datang membawa kamera tripod. Diletakkan di tengah ruang tamu.

> Jin Rui (dingin):
“Kau pernah menyuruh banyak aktris pemula menggoda kamera, kan?”



Liang menegang.

> Jin Rui:
“Sekarang giliranmu. Berdiri. Tunjukkan pose manis. Bayangkan kau sedang audisi untuk jadi istri seorang pria kaya.”



Liang tidak bergerak.

> Jin Rui (tegas):
“Atau kuikat kau ke kursi dan kurekam dengan cara lebih hina.”



Liang akhirnya berdiri. Tubuh telanjang. Lutut gemetar.


---

Adegan Rekaman – Dirinya yang Ia Benci

Kamera menyala.
Jin Rui duduk di belakang layar.

> Jin Rui:
“Senyum. Sedikit malu-malu. Tundukkan dagu. Lalu gigit bibir pelan.”



Liang memejamkan mata.

> Ia pernah menyuruh begitu.
Ia pernah menertawakan wanita yang menolak.



Dan sekarang…

Ia melangkah kecil ke depan kamera.

Senyum samar muncul di bibirnya.

Dagunya menunduk.

Pinggulnya bergoyang pelan saat berjalan.

Tangannya menutupi payudara kecilnya dengan gaya malu-malu.

Dan saat Jin Rui menyuruhnya bicara, ia bersuara tinggi:


> “Aku... ingin jadi istrimu…”



> Dan setelah berkata itu—ia muntah.



Bukan karena makanan. Tapi karena ia tahu:

> “Aku baru memainkan peran yang selama ini aku ciptakan untuk merendahkan orang.”




---

Malam – Dingin Tanpa Pelukan, Tapi Tak Berani Meminta

Liang berbaring diam, tubuhnya masih terasa lengket oleh keringat dan malu.
Tidak disentuh malam itu.
Tapi kamera masih menyala, merekam detak malu yang bergema di seluruh tubuhnya.

Dan ia menangis.
Bukan karena disiksa. Tapi karena ia sadar: tubuhnya bisa memainkan peran yang dia benci… lebih baik daripada siapa pun.


---

Monolog Liang Zemin – Hari Keenam Belas

> “Aku pernah tertawa saat wanita menangis karena audisi telanjang.
Sekarang aku tahu… rasa malu yang mereka telan.”



> “Kamera dulu memuja wajahku.
Sekarang kamera merekam wajahku menangis,
sambil memohon menjadi istri dari pria yang kupenjara dalam dendam.”



> “Aku masih belum menyerah.
Tapi tubuhku… sudah mulai menghafal naskah yang kubuat sendiri.”

=====

HARI KETUJUH BELAS – 17 Maret 1980

“Yang Tinggal Hanya Sisa, Tapi Tubuh Ini Minta Diperlakukan Penuh.”


---

Pagi – Momen Terhina di Kamar Mandi

Liang duduk di pinggir bathtub. Pinggulnya pegal, pinggangnya nyeri.
Ia mencoba buang air kecil seperti biasa — berdiri, seperti pria.

Tapi begitu ia mencoba, urin keluar lemah, tercecer ke paha.
Refleks tubuhnya membuatnya duduk sendiri di kloset.

> Liang (gemetar, dalam hati):
“Tidak… tidak… pria tidak buang air seperti ini…”
Tapi tubuhnya tidak peduli.



Dan ketika ia menyeka diri dengan handuk, ia tak sengaja menyentuh dada.

Payudara itu kini bulat, lunak, dan tegang.
Puting besar, gelap, menggoda—milik wanita subur.

> Liang (pahit):
“Tubuh ini punya payudara...
Tapi penisku tidak bisa ereksi.”




---

Siang – Kamera dan Panggung Penghinaan

Kamera kembali dinyalakan.
Liang duduk di ranjang.
Tidak melawan. Tidak bertanya.
Karena tubuhnya sudah tahu: adegan akan dimulai.

> Jin Rui (duduk santai):
“Hari ini kita syuting bagian baru.”
“Penonton ingin lihat… bagaimana kau menikmatinya.”



Liang tidak menjawab.
Tapi pipinya merona tanpa izin.
Tubuhnya hangat. Puting menegang.

> Jin Rui berdiri. Menunduk ke arahnya.
Tangan besar itu menggenggam payudara kiri.
Menekan. Meremas.
Lalu menghisapnya.



Dan Liang—yang dulu mencemooh wanita dengan payudara kecil—
melengkungkan punggungnya dan merintih lirih.

> Liang (gemetar):
“A-ahh… j-jangan…”



Tapi tangannya memegang kepala Jin Rui…
menekan agar hisapan itu tidak berhenti.

Kamera merekam segalanya.


---

Malam – Tubuh yang Dicicipi, Tapi Tidak Lengkap

Saat Jin Rui menyodominya malam itu, Liang tidak menangis. Tidak melawan. Tidak bicara.
Tapi tubuhnya bergerak mengikuti.

Dan ketika Jin Rui mencium dan mengisap kedua payudaranya,
Lelehan cairan bening muncul dari ujung puting.

Bukan susu.
Tapi tanda awal bahwa tubuhnya siap menyusui.

> Liang (membeku):
“Tubuhku sedang menyiapkan diri… untuk jadi ibu?”



Dan di bawahnya—penisnya mengecil, lembek, tak lagi terasa miliknya.
Bukan alat. Tapi sisa. Hinaan.


---

Akhir Hari Ketujuh Belas – Monolog Liang Zemin

> “Aku duduk untuk buang air.
Dadaku ditekan dan mengeluarkan cairan.
Penisku hanya menggantung seperti lelucon.”



> “Tapi yang paling menyakitkan…
Aku tidak histeris. Tidak marah.
Aku… diam. Dan tubuhku… menyukai.”



> “Kamera menangkap semuanya.
Aku… tidak pernah sejujur ini sebelumnya.”

=====

HARI KEDELAPAN BELAS – 18 Maret 1980

“Cermin Bicara Lebih Kejam Dari Siapa Pun.”


---

Pagi – Tidak Ada Suara, Tapi Tubuh Menggeliat

Liang Zemin terbangun. Tidak ada Jin Rui. Tidak ada kamera.

Tubuhnya telanjang, seperti biasa. Tapi pagi ini ia merasa ganjil.

Dada terasa berat — benjolan itu kini bulat sempurna, ukuran remaja penuh.

Puting hitam gelap, besar, dan sakit disentuh udara dingin.

Perut bawah berdenyut pelan.

Dan penisnya… mengecil dan sensitif seperti benda asing yang tertempel.


Ia menyentuhnya.
Tidak ada gairah. Tidak ada bangga. Hanya… sisa.


---

Siang – Tubuh Bergerak Aneh di Depan Cermin

Liang berdiri telanjang di depan cermin panjang di kamar.
Ia tidak tahu kenapa—tapi ia menoleh ke samping.
Melihat bentuk tubuh dari profil.
Dan ia terdiam.

Dada montok membusung, perut rata, pinggul bulat, paha membentuk siluet lemah-lembut.
Tapi… ada penis kecil yang menggantung di bawah.
Tidak cocok. Tidak masuk akal. Mengganggu.

> Liang (dalam hati, pahit):
“Jika aku wanita, setidaknya aku punya alasan.
Jika aku pria, setidaknya aku bisa marah.
Tapi aku… makhluk cacat.”



> Ia mencoba berdiri tegap. Tapi gerakannya lemah.
Ia mencoba membuka kaki lebar. Tapi lututnya menolak.
Ia mencoba berkata tegas. Tapi suara itu masih tinggi, parau, goyah.




---

Sore – Menyisir Bayangan Sendiri

Tak ada yang menyuruh, tapi Liang mengambil sisir dan mulai merapikan rambut pendeknya di depan cermin.

Gerakan tangannya… halus.
Gerakan pundaknya… lembut.
Tangannya menyentuh pipi sendiri, seperti sedang memastikan riasan.

Dan ia membeku.

> Liang (parau):
“Kenapa… aku menyisir seperti perempuan…”



Tangannya gemetar. Sisir terjatuh.
Ia jongkok memungutnya—dan melihat bentuk paha dan bokongnya dari bawah.

Tubuh seorang gadis.
Dengan kepala pria.
Dengan sisa penis.
Dengan payudara yang sakit karena ingin disentuh.


---

Malam – Tak Disentuh, Tapi Tubuh "Memanggil"

Ia tidur sendirian.
Tidak disentuh.
Tapi tubuhnya… bergetar. Berdenyut. Menunggu.

Ia meremas selimut. Kakinya bergesek pelan.
Dan suara pelan keluar dari bibirnya:

> “Jin Rui…”



Bukan jeritan.
Tapi rintihan yang keluar begitu saja.
Tanpa disuruh. Tanpa sadar.


---

Monolog Liang Zemin – Hari Kedelapan Belas

> “Hari ini, tak ada yang menyentuhku.
Tak ada kamera.
Tak ada tawa.
Tapi aku lebih malu dari hari-hari sebelumnya.”



> “Karena hari ini, hanya ada aku dan cermin.
Dan cermin tidak bisa dibohongi.”



> “Yang kulihat bukan pria.
Bukan juga wanita.
Tapi tubuh yang dibuat untuk menyenangkan…
dan otak yang masih mencoba melawan.”



> “Aku bukan korban.
Aku hanya sedang belajar jadi segala hal yang dulu kuhinakan.”

=====

HARI KESEMBILAN BELAS – 19 Maret 1980

“Aku Tidak Mau Ini… Tapi Aku Melakukannya.”


---

Pagi – Menyambut Suami Seperti Boneka Tak Bernyawa

Liang Zemin duduk di tepi ranjang sejak subuh.
Tubuhnya diam, tapi dadanya terangkat turun cepat, seperti mesin haus oksigen.

Ketika pintu dibuka dan Jin Rui masuk, tubuh Liang berdiri sendiri.
Bukan karena ingin, tapi karena kutukan dan kebutuhan fisiknya mendorongnya bangkit.

Ia berjalan ke arah pintu, telanjang, mata menunduk.
Suaranya tinggi, rapuh:

> Liang:
“Kau… sudah pulang…”



Tapi di balik suara itu, dalam pikirannya ia menjerit:

> “Aku tidak mau menyambutmu. Aku tidak mau jadi milikmu!”




---

Siang – Melayani Bukan Dengan Bangga, Tapi Dengan Mual

Jin Rui duduk di kursi makan.
Liang menyuapkan makanan seperti biasa. Tapi tangannya gemetar.
Senyum yang dipaksakan menempel di wajahnya.
Tubuhnya patuh. Tapi hatinya meronta.

> Liang (dalam hati):
“Kau bukan suamiku. Aku pria. Aku dulu disambut, bukan menyambut.”
“Kenapa tanganku tidak berhenti menyuapimu? Kenapa kakiku berdiri melayanimu?”



Saat Jin Rui meminta air, Liang langsung membawanya.
Tubuhnya bergerak tanpa tanya.
Dan ia membenci itu.


---

Sore – Mandi Bersama, Tapi Dalam Derita

Jin Rui mengajak mandi.
Liang tidak menjawab. Hanya berjalan lebih dulu.
Mengisi air, menyiapkan sabun.
Tubuhnya menggigil, tapi bukan karena air dingin.

Jin Rui memeluk dari belakang.
Payudaranya diremas. Dihisap.
Dan Liang mengerang:

> Liang:
“Ah—hngh…”



Tapi wajahnya menangis.
Tangis pelan.
Karena ia tidak bisa menghentikan bokongnya untuk menekan ke belakang.

> Liang (dalam hati):
“Kenapa tubuhku seperti ini…
Kenapa aku tidak bisa memukulnya, menolaknya, meludah padanya…”



> “…kenapa aku malah menantikan dia masuk lebih dalam?”




---

Malam – Dipuaskan, Tapi Bukan Dengan Bangga

Di kasur, Jin Rui menyodomi lagi.
Liang tidak menolak. Tapi wajahnya menoleh ke samping—menyembunyikan air mata.

Ketika Jin Rui mencium pundaknya, Liang hanya diam.
Dan tubuhnya orgasme.
Bukan karena cinta. Tapi karena kutukan membuat setiap titik tubuhnya lapar sentuhan.

Setelah selesai, Jin Rui membaringkannya.
Liang tak bergerak.
Air mata mengalir ke pelipis.


---

Monolog Liang Zemin – Hari Kesembilan Belas

> “Aku lelaki. Aku masih ingat rasanya ditakuti, disegani.
Kini aku membuka kaki, menunduk, dan membiarkan diriku dipenuhi.”



> “Tubuhku suka. Tapi hatiku muntah.
Aku memuaskan dia. Tapi aku memukul diriku sendiri dalam pikiran.”



> “Hari ini…
Aku tidak lagi diperkosa.
Karena tubuhku sendiri… yang menginginkannya.”



> “Dan itu jauh lebih kejam dari pemaksaan.”

=====

HARI KEDUA PULUH – 20 Maret 1980

“Seorang Istri Tidak Sempurna Kalau Tidak Siap Jadi Ibu.”


---

Pagi – Suara dari Pintu

Liang bangun tanpa suara alarm. Tubuhnya segar, ringan, dan itu justru menyebalkan baginya.
Ia membenci bahwa semakin hari, tubuhnya tidak merasa letih setelah dijadikan pemuas Jin Rui.
Seolah tubuhnya menyambut peran itu.

Jin Rui masuk membawa kantong belanjaan. Tidak berkata apa-apa.
Ia meletakkan tiga benda di meja:

Buku kecil dengan tulisan “Panduan Ibu Baru.”

Selembar cetakan daftar nama bayi.

Bantal kecil berbentuk boneka bayi.


> Jin Rui (dingin):
“Kau sudah cukup layak jadi istri.”
“Tapi sekarang, mulai belajar jadi ibu.”



Liang tidak bergerak.
Tapi jantungnya berdebar cepat.

> Liang (dalam hati):
“Tidak… ini hanya taktik. Aku… aku tidak akan… menyusui… melahirkan… bukan itu tujuanku!”




---

Siang – Latihan Membaca Buku, Sambil Menyentuh Perut Sendiri

Jin Rui duduk, membuka halaman pertama buku panduan ibu.
Liang disuruh membaca keras-keras.

> Liang (suara pelan):
“Di trimester pertama, calon ibu akan merasa sensitif secara emosional…”



> “…rahim mulai menyesuaikan… dan tubuh menyiapkan hormon menyusui…”



> “…ibu yang baik harus menjaga mood agar janin merasa aman…”



Tangannya—tanpa sadar—diletakkan di perut bawah.
Gerakan lembut, melingkar.

> Liang (setengah sadar):
“Tempat ini… tempat ini… akan dipenuhi?”



Dan ia menyadari: kalimat itu keluar dari mulutnya sendiri.
Air matanya jatuh—bukan karena takut. Tapi karena ia tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri.


---

Sore – Menyanyi Lagu Nina Bobo untuk Bayi yang Belum Ada

Jin Rui meletakkan boneka bayi di pelukan Liang.
Disuruh duduk bersila, memeluk boneka itu, dan menyanyikan lagu nina bobo.
Suara yang dulu keras dan maskulin… kini nyaring dan gemetar:

> Liang:
“Tidurlah, tidurlah… anak yang manis…”



Dan di cermin depan tempat duduknya, ia melihat—bayangan seorang wanita muda, telanjang, payudara montok lembut, memeluk boneka kecil dan menyanyi dengan lembut.
Wajahnya sendiri.
Suaranya sendiri.

> Liang (gemetar):
“Aku… siapa ini…”




---

Malam – Sentuhan yang Bukan Seksual, Tapi Lebih Dalam

Jin Rui tidak menyentuh tubuhnya untuk seks.
Tapi memeluknya dari belakang dan meletakkan tangan besar di atas perut Liang.
Bukan di dada. Bukan di bokong.
Langsung ke perut.

Dan berkata pelan di telinganya:

> Jin Rui:
“Tubuhmu sudah wangi. Hangat. Lunak.”
“Kau tidak hanya siap dilayani.
Kau siap… menyimpan sesuatu.”



> “Kau akan jadi ibu, Zemin.”



Dan Liang—tidak menjawab. Tidak menolak.
Tubuhnya menggigil. Tapi tidak menjauh.
Ia hanya menangis dalam diam.


---

Monolog Liang Zemin – Hari Kedua Puluh

> “Aku menciptakan perempuan sebagai wadah.
Wadah kenikmatan. Wadah pewaris.
Wadah impian laki-laki.”



> “Kini tubuhku jadi wadah.”



> “Dan lebih menghina dari semua itu—aku mulai belajar menyanyikan lagu tidur…
untuk anak yang belum ada.”

=====

HARI KEDUA PULUH SATU – 21 Maret 1980

“Tangan yang Bergerak, Tapi Hati yang Membusuk.”


---

Pagi – Keterampilan yang Menjadi Racun

Liang memasak sup ayam herbal dengan ketelitian luar biasa.
Tangan kirinya mencacah sayur dengan cepat, tangan kanan mengatur api.
Matanya mengawasi kaldu agar tidak mendidih terlalu cepat.
Semuanya presisi. Sempurna.

Tapi pikirannya…

> Liang (dalam hati, penuh racun):
“Kenapa aku tahu ini semua? Kenapa aku bisa?”
“Kenapa otak yang dulu menyusun strategi perusahaan miliaran yuan…
sekarang mengukur takaran garam?”



Tangannya terus bekerja. Tapi jiwanya menyayat dari dalam.
Karena semakin sempurna ia dalam pekerjaan “istri”, semakin jelas bahwa ia telah kehilangan dirinya.


---

Siang – Kejatuhan Dimulai dari Kalimat Sederhana

Jin Rui pulang.
Liang membukakan pintu. Menunduk.
Tanpa sadar, berkata:

> Liang:
“Selamat datang di rumah.”



Lalu ia membeku.
Karena kalimat itu… pernah ia paksa keluar dari bibir seorang aktris muda yang ia lecehkan 20 tahun lalu.

> Liang (membeku):
“Aku… mengucapkannya sendiri. Tanpa naskah. Tanpa kamera. Dari dalam diriku sendiri.”



Dan itulah yang menghancurkannya.
Bukan Jin Rui. Tapi dia sendiri.


---

Sore – Cermin yang Memantulkan Penjilat

Saat membersihkan meja rias, Liang tak sengaja menoleh ke cermin.
Ia melihat:

Seorang wanita muda, telanjang, berdiri membungkuk membersihkan meja.

Payudara bulat bergerak naik turun dengan napas pendek.

Pinggul lebar, pinggang ramping.

Senyum kecil di sudut bibir.

Dan mata… mata pengkhianat.


> Liang (pelan):
“Kau menjilat lantai yang dulu kau injak dengan sepatu mahal…”
“Kau tersenyum… saat menyambut pria yang menjatuhkanmu…”



Dan ia muntah. Bukan karena mual. Tapi karena muak.


---

Malam – Tangisan Dalam Diam

Saat Jin Rui tidur, Liang bangun.
Ia duduk di pojok ruangan.
Kain alas tidur digenggam erat. Dada naik turun.
Payudaranya terasa penuh. Pinggul nyeri.
Tapi ia tidak bergairah.

Ia tak bisa lagi menyebut dirinya pria. Tapi juga tak mau disebut wanita.
Ia di tengah jurang. Dan jurang itu tidak punya dasar.


---

Monolog Liang Zemin – Hari 21 

> “Tangan ini mengasuh. Kaki ini menyambut. Tubuh ini menggeliat.
Tapi aku… masih Liang Zemin.”



> “Bahkan saat aku menunduk… aku ingat betapa agungnya aku berdiri.”



> “Kutukan ini tidak menyentuh batinku. Tapi aku takut…
karena tubuh ini perlahan menenggelamkan jiwaku juga.”

=====

HARI KEDUA PULUH DUA – 22 Maret 1980

“Kau Dulu Memerintah Wanita Berpose. Sekarang Kau Berdiri di Sana, Telanjang.”


---

Pagi – Make-up di Atas Meja, Tapi Tidak Ada Pakaian

Liang bangun, dan di depan cermin kamar,
tersusun rapi:

foundation, bedak, pensil alis

lipstik warna peach

bulu mata palsu

sisir kecil dan pengikat rambut


Tapi tidak ada bra. Tidak ada kain. Tidak ada pakaian.

> Jin Rui (datar):
“Hari ini, kau akan belajar berdandan seperti wanita.
Tapi jangan pernah berharap memakai baju.”



> “Karena tubuh wanita bukan untuk disembunyikan.
Kau akan berdiri di depan cermin… dan menatap dirimu seharian.”




---

Siang – Belajar dari Video, dengan Tubuh yang Tak Bisa Disangkal

Sambil berdiri telanjang, Liang dipaksa menonton video tutorial make-up dan gesture wanita muda.
Wanita di layar berdandan, tersenyum, duduk dengan kaki menyilang.
Wanita itu lemah lembut, menunduk, membetulkan rambut di telinga.

Liang menirukannya:

Alis digambar.

Bibir diwarnai.

Rambut disisir pelan.

Senyum dibuat semanis mungkin.


Tapi di bawah… penis kecilnya bergantung seperti lelucon.
Dan itu yang membuat bayangannya di cermin semakin menghina.

> Liang (lirih, dalam hati):
“Aku terlihat seperti wanita. Tapi tubuhku… cacat.”



> “Dan yang paling hina… aku melakukannya sendiri. Dengan tangan ini.”




---

Sore – Cermin Tidak Berkedip

Jin Rui meletakkan kursi di depan cermin.

> *“Duduk. Rapatkan kaki.
Tundukkan dagu.
Angkat tangan ke leher.
Tersenyum.”



Liang mengikuti.

Ia telanjang sepenuhnya. Payudara montok. Pinggul bulat.
Tapi penis kecil tetap tergantung di antara paha.

> Jin Rui:
“Tahu apa yang paling lucu?”
“Kau malu dengan alat yang dulu kau banggakan.”



> “Kau bahkan menutupi penismu saat kau berdiri telanjang.
Sementara dulu, kau menyuruh wanita lain membuka segalanya tanpa ragu.”



Liang menutupinya dengan tangan, refleks. Tapi itu hanya membuatnya semakin seperti wanita pemalu yang berusaha melindungi diri.

Dan itulah penghinaan total.


---

Malam – Pose Seksi, Tapi Tak Ada Yang Tersisa dari Maskulinitas

Jin Rui menyuruhnya berdiri di depan cermin kamar,
lampu dinyalakan terang.

> *“Sekarang… berpose.”
“Tangan di pinggul. Payudara didorong ke depan.
Kaki disilangkan. Tatap kamera dengan mata minta disayangi.”



Liang melakukannya.
Tubuhnya menggeliat. Bibirnya membuka sedikit.
Tapi ia terus menutupi penisnya… karena malu.

> Jin Rui (pelan tapi menusuk):
“Bahkan kau tahu… penis itu tak pantas lagi kau bawa.
Kau menutupinya karena kau malu…
bukan sebagai pria, tapi sebagai wanita yang tak utuh.”




---

Penutup Malam – Seks dan Kehinaan

Tanpa ikatan. Tanpa perintah.
Liang berlutut sendiri.
Menghisap. Menelan.
Menyerahkan tubuhnya, dengan payudara ditekan, puting dihisap.
Sambil berdiri telanjang di depan cermin.

Dan setelah itu, ia tidak bicara.
Hanya melihat cermin.
Dan menatap bayangan dirinya—yang tersenyum tipis karena orgasme.


---

Monolog Liang – Hari ke-22 

> “Aku dulu berdiri di balik kamera, menyuruh mereka membuka baju.
Sekarang aku berdiri di depan cermin, membuka tubuhku sendiri.”



> “Aku melukis wajah ini seperti wanita.
Tapi aku tak bisa melukis kebanggaan lamaku kembali.”



> “Karena tubuhku tak ingin jadi pria lagi.
Tapi hatiku… belum cukup wanita untuk menerima.”



> “Aku menutup penisku seperti aib.
Karena itulah kini…
aku malu menjadi diriku sendiri.”

=====

HARI KEDUA PULUH TIGA – 23 Maret 1980

“Kau Menuntut Sempurna dari Seorang Wanita. Maka Sekarang, Sempurnakan Dirimu.”


---

Pagi – Kertas yang Menghantam Harga Diri

Liang duduk di meja, telanjang seperti biasa.
Di hadapannya, Jin Rui menaruh selembar kertas lusuh yang dilaminasi.

Itu adalah artikel kolom yang ia tulis sendiri 25 tahun lalu, berjudul:

> "Wanita Sempurna: 10 Hal yang Harus Dimiliki Seorang Istri dan Ibu"
oleh Liang Zemin



Jin Rui membacanya keras-keras, kalimat demi kalimat.
Suara dingin dan mengiris:

1. "Wanita harus tahu kapan bicara dan kapan diam."


2. "Istri yang baik tahu cara berdandan untuk menyenangkan mata suami, tapi tidak berlebihan agar tidak tampak murahan."


3. "Seorang ibu harus mengurus rumah, menyusui anak sendiri, dan tetap menjaga bentuk tubuh."


4. "Istri harus siap melayani suami kapan pun, di meja makan atau tempat tidur."


5. "Wanita tidak boleh berambisi terlalu tinggi. Rumah tangga adalah panggung utama mereka."



> Jin Rui:
“Kau menuliskannya. Kau menerbitkannya.
Kau menghancurkan ratusan wanita dengan standar ini.”



> “Hari ini… kau akan menghafalkannya. Dan mulai besok, menjalaninya.”




---

Siang – Pelatihan, Bukan Pertempuran

Jin Rui menyerahkan buku panduan wanita rumah tangga, lengkap dengan gambar gesture, cara duduk, cara menyajikan teh, bahkan cara menangis secara sopan.

Liang membaca—dan dalam waktu satu jam, ia sudah menguasai semuanya.
Tangannya bergerak tepat. Gerak tubuhnya lembut. Nada suaranya turun.

> Liang (hampa):
“Tubuh ini menyerap peran lebih cepat dari akalku bisa menolak.”



Ia mencoba melawan. Ingin membanting buku itu.
Tapi tangannya hanya menggenggam erat dan membawanya ke kamar.
Ia mulai berlatih lagi. Seperti murid yang ingin sempurna.


---

Sore – Konfrontasi Diri Sendiri

Di cermin, ia mencoba duduk sebagai wanita anggun.
Menyilang kaki. Tangan di pangkuan.
Pinggulnya melebar dengan alami.
Bahunya turun.
Dagu menunduk.

> Liang (marah dalam hati):
“Ini tidak adil. Aku ingin melempar semua ini.”
“Aku bukan pelayan. Aku bukan wanita lemah.”



Tapi tubuhnya tersenyum di cermin.
Bibirnya mengatup manis.
Payudaranya terangkat anggun.
Dan di bawah… penisnya makin kecil, menghilang di antara lekuk feminin.


---

Malam – Jin Rui Menutup Hari dengan Kalimat Tajam

> Jin Rui (tenang):
“Kejeniusanmu luar biasa.
Kau belajar lebih cepat dari siapapun.”



> “Tapi itulah hukumanmu.
Kau mempercepat kehancuran egomu sendiri.
Dengan otak yang dulu membanggakan kekuasaan,
kini kau menyusun cara menyajikan teh dan melipat popok bayi.”



> “Kau adalah hasil karyamu sendiri.
Wanita ideal versimu.
Dan sekarang… kau harus menjadi sempurna.”




---

Monolog Liang Zemin – Hari ke-23

> “Aku bisa menulis strategi bisnis dalam satu malam.
Sekarang aku menghafal cara menyajikan sup sambil tersenyum.”



> “Tubuhku menurut. Otakku bekerja.
Tapi tak ada satu bagian pun yang bertanya apakah aku setuju.”



> “Aku ingin berontak. Tapi setiap kali aku bergerak,
tubuh ini justru semakin lihai meniru istri-istri yang dulu aku hina.”



> “Dan yang paling keji… aku tahu caranya jadi wanita sempurna.
Karena aku yang menciptakan standarnya.”

=====

HARI KEDUA PULUH EMPAT – 24 Maret 1980

“Baju Itu Hanya Alat. Dan Tubuhmu Takkan Pernah Layak Tertutup Lagi.”


---

Pagi – Pakaian Bukan Hadiah, Hanya Alat

Liang Zemin terbangun.
Di ranjang tergantung satu set pakaian wanita sederhana:
rok kain selutut warna abu lembut, blus berkancing polos, dan sepatu datar.
Tak ada bra. Tak ada aksesori.

Di meja:

Sisir

Bedak ringan

Ikat rambut

Surat perintah dari Jin Rui:


> “Berdandan. Hari ini kau difoto untuk dokumen.”



> Liang (menatap pakaian itu):
“Ini bukan milikku. Ini seragam untuk narapidana… yang dijadikan istri.”




---

Menjelang Siang – Sesi Foto Formal

Liang berdandan. Tangannya lincah meski gemetar.
Rambut dirapikan. Wajah disesuaikan.
Payudaranya padat dan penuh di balik blus, tapi penis kecilnya ditekan paksa oleh rok yang sempit.
Ia berjalan dengan pelan, karena kain itu menyentuh bekas tubuh lamanya—yang tak bisa lagi ia klaim.

Di ruangan sebelah:

Latar putih polos.

Seorang fotografer anonim yang disewa Jin Rui.

Dua sesi saja:

Potret formal setengah badan, posisi duduk.

Potret berdua dengan Jin Rui—berdiri berdampingan, tanpa saling sentuh.



Klik. Klik.
Tidak ada senyum. Tidak ada tawa.

Liang tidak melihat hasilnya.
Film langsung dikumpulkan.
Fotografer pergi.
Ia hanya mendengar: “Nanti untuk dokumen.”


---

Sore – Pakaian Ditarik, Dibuka, Dibuang

Kembali ke kamar.
Liang belum bicara.
Tapi Jin Rui menghampiri. Menatap diam. Lalu meraih kerah bajunya.

> Jin Rui (datar, mengandung api):
“Sudah cukup berpura-pura jadi manusia.”



Kancing dibuka paksa. Rok disobek.
Tubuh Liang kembali telanjang. Terluka—bukan secara fisik, tapi secara batin.

Jin Rui membawa pakaian itu ke halaman belakang.
Liang dipaksa mengikuti, telanjang bulat.
Dan di depan matanya—pakaian itu dibakar.

> Jin Rui (dingin):
“Kain itu menempel pada tubuh kotor.
Sekarang sudah dipakai olehmu, itu tak suci lagi.
Baju itu harus dimurnikan.”



Api menyala.
Blus, rok, sepatu terbakar hingga abu.

> Liang (menatap api):
“Aku tidak punya apa-apa.
Bahkan baju satu-satunya pun dianggap najis.”




---

Malam – Tubuh Telanjang Diuji Lagi

Di kamar gelap, Jin Rui tidak bicara.
Hanya menarik Liang ke tempat tidur.
Memaksa payudaranya ditindih, dihisap, dan digunakan.
Tidak ada pelukan. Tidak ada gairah. Hanya rutinitas penghinaan.

Setelah itu:
Jin Rui pergi tanpa pamit.
Tidak kembali malam itu. Tidak berkata satu kata pun.
Hanya suara pintu tertutup…
dan Liang telanjang, sendiri, dengan bau asap di rambutnya dan rasa kering di matanya.


---

Monolog Liang Zemin – Hari ke-24 (Final)

> “Aku berpakaian untuk pertama kalinya hari ini.
Dan bajuku langsung dibakar.”



> “Aku difoto, tapi tak tahu seperti apa aku terlihat.”



> “Tubuhku tak dibiarkan lupa.
Karena setiap kali aku merasa normal,
aku ditelanjangi kembali.”



> “Dan kini, aku berdiri di antara bara pakaian yang terbakar.
Tapi tubuh ini… tidak bisa ikut dimurnikan.”

=====

HARI KEDUA PULUH LIMA – 25 Maret 1980

“Kau Pernah Meminta Istrimu Menari. Sekarang, Kau Harus Menjadi Tarian Itu.”


---

Pagi – Tidak Ada Sarapan, Hanya Alunan Musik

Liang bangun, tubuh masih telanjang.
Tak ada pakaian disiapkan.
Di ruang tengah, sudah menunggu:

Sebuah radio pemutar kaset

Kaset dengan label tulisan tangan: “舞韵 / Irama Tarian”

Kain tipis sepanjang dua meter—bukan untuk menutupi tubuh, tapi alat tari

Dan sebuah catatan kecil:


> “Hari ini kau akan belajar tarian yang dulu kau perintahkan istrimu lakukan di ulang tahunmu.
Aku ingin melihat apakah tubuh barumu bisa menirukan gerakan yang dulu kau hina.”



> – Jin Rui




---

Siang – Tubuh yang Dulu Berdiri Tegak, Kini Menekuk Lembut

Liang memutar kaset.
Melodi lembut alat musik guzheng dan seruling mengalun.
Ia berdiri di tengah ruangan, hanya dengan kain sutra putih tipis di tangannya.

Langkah-langkah perlahan:

Pinggul digoyangkan pelan

Tangan melingkar di atas kepala

Kain diseret di udara, seperti asap mengepul


Dada bergerak naik-turun, bokong berputar lembut…
dan setiap gerakan membuat payudaranya ikut bergetar.

Dan ia tahu—gerakan ini bukan lagi milik pria.
Gerakan ini adalah milik istri…
yang ingin menyenangkan suaminya.


---

> Liang (dalam hati, hancur):
“Aku… mengajarkan tarian ini dulu.
Aku… menertawakannya.
Dan sekarang… aku menjadi bagian dari iramanya sendiri.”



> “Setiap lengkung tubuhku seperti ejekan.
Bahkan putaran pergelangan tanganku… terasa seperti pengkhianatan.”




---

Sore – Jin Rui Duduk, Liang Menari

Tanpa bicara, Jin Rui pulang.
Duduk di kursi panjang.
Memutar ulang musik.
Menatap.

> Jin Rui (dingin):
“Tunjukkan.”



Liang mulai menari.
Kaki telanjang menyapu lantai.
Pinggul meliuk.
Pinggang membungkuk anggun.
Senyum dibuat tipis.
Tapi air matanya jatuh, karena tubuhnya melakukannya terlalu sempurna.

Dan penis kecilnya, terjepit di antara paha yang menari,
hanya menambah kehinaan pada lekukan wanita yang kini ia bentuk.


---

Malam – Tidak Disentuh, Tapi Lebih Tersiksa

Jin Rui bangkit, menatap Liang dari atas kepala.

> “Kau tak perlu kupuaskan malam ini.”
“Aku hanya ingin tahu… apakah tubuhmu bisa menari seperti yang kau harapkan dari istrimu dulu.”



> “Ternyata bisa.”



Dan ia pergi ke kamar sebelah.
Liang tersisa sendiri—berdiri di lantai, masih dengan musik mengalun, tubuh berkeringat, payudara bergerak naik turun, dan gairah yang tak tahu harus diarahkan ke mana.


---

Monolog Liang Zemin – Hari ke-25 

> “Tubuhku menari.
Tanganku melambai.
Pinggulku memutar.
Dan tidak ada satu pun dari semua itu… yang diperintahkan.”



> “Aku tidak diberi pilihan.
Karena tubuh ini ingin bergerak indah.
Dan itulah yang paling menyakitkan.”



> “Hari ini…
aku menjadi wanita yang dulu kupaksa…
dan kutinggalkan.”

=====

HARI KEDUA PULUH ENAM – 26 Maret 1980

“Kalau Kau Mau Jadi Istri Sempurna, Maka Tubuhmu Harus Bertahan Cantik Sampai Mengandung.”


---

Pagi – Pengingat tentang Tubuh

Setelah sarapan, Jin Rui duduk sambil menyeruput tehnya.
Liang Zemin berdiri di hadapannya, telanjang seperti biasa.

> Jin Rui (tanpa emosi):
“Tubuhmu berkembang sempurna. Tapi payudaramu mulai terlalu lembut.”



> “Kalau kau nanti hamil, kau akan melar.
Tapi bentuk tubuhmu harus tetap indah.
Putingmu harus tetap menantang.
Kulitmu harus tetap mulus. Tidak ada stretch mark.”



> “Kau yang menulis: ‘Istri harus enak dilihat meski hamil.’
Sekarang… buktikan bahwa kau bisa melakukannya.”



Di atas meja, Jin Rui meletakkan:

Krim perawatan kulit, pijat payudara, dan minyak untuk perut.

Sebuah buku jadwal kosong dengan label:


> "Rencana Harian Istri: Yao Ruyu."



> *“Tulis. Atur jadwalmu.
Kau harus menjaga tubuhmu tetap cantik sambil mengurus rumah dan mempersiapkan kehamilan.”




---

Siang – Rutinitas yang Terlalu Familiar

Liang menatap tubuhnya di cermin.

Payudaranya bulat dan berat, dengan puting yang mulai berubah warna.

Pinggulnya sudah membulat, siap menyimpan keturunan.

Kulitnya memucat karena kurang tidur.

Tapi ia mulai sadar—ia tak punya pilihan selain merawat tubuh itu.


Ia mulai mengoleskan krim ke dadanya.
Memijat payudaranya sendiri.
Lalu ke perut dan paha, dengan gerakan memutar seperti yang pernah ia tonton… dari istri pertamanya.

> Liang (hampir menangis):
“Ini gerakan yang kupaksa dia lakukan.
Di depan mataku.
Sekarang… aku melakukan itu… untuk menjaga keindahan tubuh yang bahkan bukan aku yang minta.”




---

Sore – Menyusun Jadwal Istri Ideal

Di buku jadwal, ia menulis:

06.00 – Bangun, bersihkan diri, kontrol payudara

07.00 – Sarapan dan siapkan teh suami

08.00 – Bersih-bersih rumah

09.30 – Latihan tari / latihan senyum

11.00 – Mandi, perawatan kulit, oles minyak

12.00 – Siapkan makan siang

14.00 – Belajar menyanyi lembut / membaca buku ibu rumah tangga

16.00 – Menulis catatan kehamilan persiapan

17.30 – Siapkan makan malam

19.00 – Perawatan malam, pemijatan payudara, yoga ringan

20.30 – Siap melayani suami


> Liang (gemetar):
“Semua ini… aku yang ciptakan.
Tapi sekarang, aku yang harus hidup dalam jadwal yang dulu kupakai untuk menindas.”




---

Malam – Validasi Jin Rui yang Menusuk

Jin Rui mengambil buku itu. Membaca.
Kemudian duduk mendekat, menempelkan tangan ke pinggul Liang.

> Jin Rui (pelan, menusuk):
“Sempurna.”



> “Kau tak hanya jadi wanita.
Kau jadi wanita ideal versi Liang Zemin sendiri.”



> “Tapi jangan terlalu bangga dulu.
Tubuhmu belum menyimpan anak.
Dan belum tentu anak itu akan mencintaimu.”



Lalu ia pergi. Tanpa menyentuh Liang lagi.
Meninggalkan dia telanjang di kamar, dengan aroma minyak tubuh dan jadwal hidup yang penuh dengan pengorbanan tak berjiwa.


---

Monolog Liang Zemin – Hari ke-26

> “Aku memijat tubuh ini seperti seorang istri muda yang ingin disukai.”
“Aku menyusun jadwal hidup seperti wanita sempurna yang ingin dihargai.”
“Tapi aku tak pernah meminta tubuh ini.
Aku tak pernah meminta hidup ini.”



> “Dan yang paling keji…
adalah saat aku menyadari:
tak satu pun dari semua ini terasa aneh lagi.”

=====

HARI KEDUA PULUH TUJUH – 27 Maret 1980

“Aku Masih Membenci Dia. Tapi Aku Lebih Membenci Diri Sendiri.”


---

Pagi – Perintah Baru Tanpa Penjelasan

Saat bangun, Liang menemukan sepucuk kertas:

> “Hari ini, ulangi semua yang kau pelajari: menyambut, melayani, memanjakan mata.”
“Tidak karena kau ingin. Tapi karena kau harus.”



Ia membacanya… dan langsung merasa marah. Tersinggung. Tertantang.
Tapi tubuhnya?
Berdiri. Menyisir rambut. Membersihkan wajah. Menyeka kaca.
Ia bahkan sempat memeriksa pantulan posisi bahu dan pinggulnya—agar simetris.

> Liang (dalam hati):
“Kenapa aku tahu sudut senyum yang tepat?
Kenapa aku sadar gerak tanganku harus lembut?”



> “Apa aku… melakukannya terlalu baik?”




---

Siang – Di Hadapan Jin Rui, Tapi Tidak Dianggap

Jin Rui duduk membaca dokumen.
Liang menyajikan teh. Telanjang. Lutut menyentuh lantai.
Tidak diperintah, tapi tahu harus melakukannya.

> Jin Rui (dingin, tanpa melihat):
“Kau terlihat cocok berdiri di sana.”



> “Pantas.”



Itu satu kata—tapi lebih menyakitkan dari hinaan.
Karena itu berarti:
Liang Zemin bukan hanya dipaksa… tapi kini mulai cocok sebagai pelayan.

> Liang (rahang mengencang):
“Aku bukan pelayan. Aku bukan… wanita.”
Tapi tangannya tetap menuang teh.




---

Sore – Permintaan Menghina, Tapi Tidak Ditolak

Jin Rui:

> “Tarianmu tempo hari terlalu kaku.
Hari ini ulangi, tapi dengan lebih… terbuka.”



Liang berdiri. Tubuhnya bergerak.
Tangan terangkat. Pinggul berputar perlahan.
Payudaranya melambai. Penis kecilnya terlihat… seperti ironi.

Dia ingin menolak. Ingin berhenti.
Tapi tubuhnya justru menekuk lebih dalam.
Gerakan lebih sensual.
Dan yang paling menghancurkan:
Ia menyadari… ia mengatur irama tari itu sendiri.

> Liang (dalam hati):
“Aku tidak ingin ini. Tapi aku tahu cara membuatnya indah.”




---

Malam – Tidak Dihina, Tapi Ditinggal

Setelah semua gerakan, pelayanan, dan senyuman dibuat,
Jin Rui hanya berkata:

> “Kau mulai mengerti.”



> “Dan itu bagus.
Karena mulai besok, aku akan hitung waktu suburmu.
Tubuhmu harus siap. Hatimu tidak perlu.”



Lalu ia keluar kamar.
Tidak menyentuh. Tidak menindih. Tidak menggunakan.

Dan Liang Zemin berdiri sendiri di kamar.
Dengan tubuh yang kini lebih lembut dari siapa pun yang pernah ia hina.
Dan wajah yang semakin mirip wanita… meski masih menyimpan amarah pria.


---

Monolog Liang Zemin – Hari ke-27

> “Aku belum kalah.
Tapi tubuhku mulai menerima kekalahan sebagai rutinitas.”



> “Aku tidak menginginkan dia.
Tapi aku menunggu dia.
Dan itu yang paling membuatku muak.”



> “Aku tidak cinta padanya.
Tapi aku takut saat dia pergi.”



> “Bukan karena dia kuat. Tapi karena aku tak lagi tahu siapa aku tanpanya.”

=====

HARI KEDUA PULUH DELAPAN – 28 Maret 1980

“Tubuhku Berkembang Karena Sperma. Dan Sperma Itu Masuk, Lagi dan Lagi.”


---

Pagi – Perintah Tanpa Emosi

Hari itu Jin Rui datang lebih awal.
Tidak banyak bicara. Tidak menyindir.
Hanya satu kalimat:

> “Hari ini tubuhmu harus menerima lebih.
Agar prosesnya selesai tepat waktu.”



Liang tidak bertanya. Tidak melawan.
Ia sudah tahu perintah itu hanya punya satu arti:
Hari ini akan penuh dengan penetrasi dan cairan.
Dan tubuhnya—entah kenapa—tidak menolak. Tapi juga tidak menginginkannya.


---

Sesi Pagi – Sodomi Pertama

Liang diposisikan di depan cermin besar.
Jin Rui menyodominya tanpa kata.
Dari belakang.
Sperma pertama hari itu menyusup masuk…
dan Liang hanya bisa menggertakkan gigi—karena tubuhnya justru merespons dengan tekanan balik.

Tidak ada gairah. Tapi anusnya mengatup… seperti ingin menahan cairan itu lebih lama.


---

Siang – Oral dan Telan

Liang dibaringkan di sofa.
Tanpa ekspresi, Jin Rui memegang kepalanya dan memaksanya membuka mulut.
Sperma kedua hari itu masuk lewat tenggorokan.
Tidak ada rasa jijik. Tapi juga tidak ada rasa bangga.
Hanya kosong… dan sensasi tubuhnya mulai panas.

> Liang (hampir tanpa suara):
“Tubuhku seperti membakar dari dalam…”



> “Setiap kali dia memuaskan dirinya di dalamku…
aku kehilangan sisa tubuhku yang dulu.”




---

Sore – Sodomi Kedua, Lebih Dalam

Jin Rui tidak memanggil.
Hanya menepuk kursi.
Liang datang sendiri. Membungkuk. Menahan napas.

Sperma ketiga hari itu masuk lagi.
Dan kali ini, Liang merasa perutnya seperti diremas dari dalam.
Pangkal penisnya menyusut total. Testisnya terasa seperti lenyap.
Dan tulang panggulnya terasa hangat—seperti tulang baru sedang dibentuk untuk menopang rahim.


---

Malam – Tubuh yang Tidak Lagi Netral

Liang berjalan pelan ke kamar.
Tubuhnya bergesek saat berjalan.
Karena di antara pahanya—tak lagi terasa seperti pria. Tapi belum sepenuhnya wanita.

> Liang (melihat cermin):
“Aku tidak bisa berdiri tegak seperti dulu.”
“Pinggulku memutar saat aku melangkah.
Payudaraku sakit.
Dan aku haus—bukan akan air… tapi akan cairan tubuhnya yang membentukku.”



Jin Rui datang terakhir.
Ia tidak menyodomi. Tidak menyuruh oral.
Tapi hanya menepuk pipinya, berkata:

> “Satu hari lagi. Tubuhmu sudah hampir siap.
Besok… lubang barumu akan terbuka.
Dan kau akan menerimaku seperti istri seharusnya menerima.”



Liang tidak menjawab.
Karena ia tidak tahu apakah ia menunggu itu… atau takut pada kenyataan bahwa ia mungkin memang menantikannya.


---

Monolog Liang Zemin – Hari ke-28 

> “Tiap tetes sperma yang masuk ke tubuhku… menghapus sesuatu dari diriku.”



> “Bukan hanya penis. Tapi nama.
Bukan hanya bentuk. Tapi arah hidup.”



> “Aku tidak tahu siapa aku.
Tapi tubuhku tahu satu hal pasti:
Ia ingin diisi. Lagi dan lagi.”

=====

HARI KEDUA PULUH SEMBILAN – 29 Maret 1980

“Dulu Mereka Membungkuk Padaku. Sekarang Mereka Sibuk Membagi Warisanku.”


---

Pagi – Tubuh Tanpa Harga, Nama Tanpa Wujud

Liang bangun dengan sensasi asing di antara paha.
Saluran vagina hampir terbuka.
Tapi tidak sepenuhnya bisa disentuh.
Tubuhnya berada di ujung jurang transformasi—siap menerima benih, tapi belum bisa digunakan.

Tapi yang datang bukan ejakulasi.
Yang datang adalah berita.


---

Siang – Surat Kabar dan Pembantaian Sosial

Jin Rui datang sambil melempar sebuah surat kabar nasional ke pangkuan Liang.
Halaman depannya menampilkan judul besar:

> "Perusahaan Hiburan Liang Group Resmi Berpindah Tangan: Jin Rui Diangkat Sebagai Direktur Utama"



> “Keluarga besar Liang menyetujui restrukturisasi internal, menyusul hilangnya Tuan Liang Zemin sejak awal bulan ini.”



> “Sumber internal menyebut: ‘Zemin sudah lama tidak stabil. Perusahaan butuh arah baru.’”



Liang terdiam. Tangannya gemetar memegang kertas itu.

> Jin Rui (datar, pelan, menghantam):
“Mereka tidak mencarimu.
Mereka membiarkanmu hilang.
Dan sekarang… mereka sibuk menghitung saham dan properti.”



> “Dan aku? Aku jadi wajah baru keluargamu.
Mantan aktor kecil…
yang dulu kau gunakan… kini mengambil semua yang kau wariskan.”




---

Sore – Bayangan Nama yang Hilang

Jin Rui meletakkan secarik kertas lain di meja:

> “Berikut nama baru yang akan kau sandang.
Akan kukirim resmi setelah tanggal 31.”



> “Kau tidak akan lagi bernama Liang.”
“Kau akan menjadi simbol, bukan pewaris.”



Liang menatap kosong.
Dahulu tiap orang menyebut nama “Liang Zemin” dengan rasa kagum, hormat, atau takut.
Sekarang… nama itu bahkan tidak disebut. Hanya diganti dalam satu surat pengesahan.


---

Malam – Di Cermin, Tak Ada Lagi Keturunan Lelaki

Ia berdiri di depan cermin.

Tidak ada penis.

Hanya daging halus, hampir membuka.

Tidak ada kekuasaan.

Tidak ada keluarga yang mencarinya.

Tidak ada warisan yang menantinya.


> Liang (dalam hati):
“Aku adalah harta keluarga Liang.
Sekarang mereka bahkan tak menyebut namaku dalam rapat.”



> “Tubuh ini akan melahirkan anak dari pria yang dulu kutertawakan.
Dan tak satu pun anakku akan menyandang nama keluargaku.”




---

Monolog Liang Zemin – Hari ke-29 

> “Mereka tidak mencariku.
Karena mereka tidak butuh aku.”



> “Dulu aku mewarisi nama besar.
Hari ini aku kehilangan warisanku…
bahkan sebelum tubuhku menyelesaikan pengkhianatannya.”



> “Jin Rui tak hanya menghancurkan tubuhku.
Dia menghancurkan siapa aku di mata dunia.”



> “Besok aku akan jadi wanita.
Tapi hari ini, aku kehilangan segalanya yang membuatku pria.”

=====

HARI KETIGA PULUH – 30 Maret 1980

“Aku Membaca Namaku Sendiri. Tapi Itu Bukan Lagi Namaku.”


---

Pagi – Perintah Tak Terbantahkan

Di atas meja, ada satu lembar dokumen legal salinan:

Nama lama: Liang Zemin (dicoret)

Nama baru: Yao Ruyu (姚如玉)

Jenis kelamin: Perempuan

Status: Menikah – Pengesahan 31 Maret 1980


Di bawahnya: tanda tangan kosong…
Menunggu sidik jari dan suara.

> Jin Rui (datar, sambil duduk santai):
“Ucapkan namamu.”



> Liang (terdiam lama):
“…Yao… Ruyu…”



> Jin Rui (menatap lurus):
“Ulangi.”



> Liang (lirih, tubuh gemetar):
“Namaku… Yao Ruyu.”



Dan saat itu juga, Liang Zemin mati.
Namanya diucapkan dari bibirnya sendiri… lalu lenyap.


---

Siang – Posisi Rahim, Posisi Rendah Diri

Jin Rui membawa bantal penyangga panggul dan memberikan instruksi:

Berbaring telentang, kaki dibuka lebar.

Panggul ditinggikan dengan bantal.

Tangan ditaruh di atas perut, menenangkan rahim.

Mata menatap langit-langit—seperti wanita yang menunggu ditanami.


> Jin Rui:
“Besok pagi… benihku akan masuk.
Dan tubuh ini harus siap menyambut.”



> “Bukan sebagai istri saja. Tapi sebagai IBU.”



> “Ingat… ibu adalah ladang.
Kalau anak gagal—ladang disalahkan.
Kalau anak berhasil—anaknya yang dipuji.”



> “Dan kau, Yao Ruyu… akan jadi ladangku selama tubuhmu masih bisa mengandung.”




---

Sore – Lubang yang Terbuka, Jiwa yang Retak

Liang duduk di kamar mandi, dengan cermin diletakkan di bawah tubuh.
Ia membuka kakinya.
Dan melihat… dirinya kini memiliki liang vagina.

Kulitnya sudah menyatu dan membentuk struktur perempuan.
Lubangnya merah muda.
Lembab.
Hangat.
Tapi asing.

> Liang (suara seperti dari orang lain):
“Ini… tempat anakku akan tumbuh…
bukan karena aku ingin… tapi karena aku harus.”




---

Malam – Penghinaan yang Paling Sunyi

Tak ada sentuhan.
Tak ada seks.
Hanya Jin Rui menatapnya dari pintu kamar, dan berkata:

> “Besok pagi, kau akan resmi menjadi istriku.
Dan tubuhmu akan menerima benih pertama dari pria yang dulu kau remehkan.”



> “Kau akan jadi ibu dari anak-anakku.
Anak yang akan menyebutku ayah…
dan kau hanya dikenang sebagai tempat dia dilahirkan.”




---

Monolog Liang Zemin – Hari ke-30 (Pemakaman Diri Sendiri)

> “Dulu aku berdiri tinggi, dan wanita berlutut di hadapanku.”



> “Hari ini aku membuka kakiku sendiri…
dan melihat liang baru tempat hidup akan dimasukkan.”



> “Namaku bukan lagi milikku.
Tubuhku bukan lagi milikku.
Dan anak-anak yang lahir dariku…
tak akan pernah tahu aku dulunya adalah pria yang menertawakan ibu mereka.”



> “Besok aku akan dibuahi.
Dan tak ada yang bisa kulawan.
Karena Liang Zemin sudah mati.”

=====

HARI KE-31 – 31 Maret 1980

“Benih Ditabur. Tubuh Ditanami. Tapi Tidak Ada Istirahat Untuk Ladang.”


---

Pagi – Legalitas, Lenyapnya Privilese

Jin Rui melempar dokumen ke pangkuan Liang—sekarang Yao Ruyu.

Nama: Yao Ruyu

Status: Istri sah Jin Rui

Jenis kelamin: Perempuan

Profesi: Tidak bekerja – Tanggung jawab rumah tangga


> Jin Rui (dingin):
“Ini resmi.
Kau adalah istriku, secara hukum dan tubuh.
Tidak ada jalan kembali.”



> “Dan hari ini… tugas pertamamu sebagai ladang dimulai.”




---

Menjelang Siang – Penetrasi Pertama, Pembuahan Pertama

Di atas ranjang.
Tubuh telanjang.
Pinggul ditopang bantal.
Jin Rui masuk pelan tapi dalam.
Sperma disemai di dalam liang vagina yang baru terbentuk.

Ruyu tidak menangis. Tidak bicara.
Tapi tubuhnya menggigil—bukan karena rasa sakit, tapi karena ketakutan.

> “Aku sedang dibuahi.”



> “Dan aku tidak bisa menyebut ini sebagai pemerkosaan…
karena aku secara hukum adalah istrinya.”




---

Sore – Tak Ada Pelukan. Tapi Ada Putaran Kedua

Setelah benih pertama, Ruyu berpikir tugasnya selesai hari itu.
Tapi saat ia membersihkan sisa cairan yang mengalir…
Jin Rui menarik rambutnya kembali ke tempat tidur.

> Jin Rui:
“Istri tidak berhenti melayani hanya karena sedang dibuahi.”
“Kau yang dulu berkata:
‘Wanita mengandung tetap harus memuaskan suaminya kapan pun.’”



> “Hari ini, kita akan uji kata-katamu sendiri.”




---

Malam – Penetrasi Ketiga dan Keempat, Dalam dan Diam

Ketiga kalinya: saat Ruyu masih goyah, tubuhnya kembali diisi.

Keempat kalinya: Jin Rui masuk dari belakang, menekan perut bagian bawah—tempat benihnya baru saja ditanam.


Perut itu… tempat bayi akan tumbuh.
Tapi malam ini, ia tetap menjadi bantalan nafsu suami.

> “Kau akan hamil. Tapi kau tetap harus buka kaki.”



> “Kau akan melahirkan. Tapi kau tetap harus tersenyum.”




---

Monolog Yao Ruyu – Hari ke-31 

> “Tubuhku telah dibuahi. Tapi tidak dibiarkan istirahat.”



> “Aku selalu berkata: istri harus kuat.
Ibu harus tidak mengeluh.
Wanita mengandung tidak boleh manja.”



> “Sekarang… aku hidup dalam kata-kataku sendiri.”



> “Aku bukan hanya milik suamiku.
Aku adalah alat yang tak boleh rusak, tak boleh lelah,
tak boleh minta waktu.”



> “Aku adalah ladang…
yang dipaksa tetap subur,
bahkan saat benih sudah tumbuh di dalamnya.”

=====

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Behind The Scene - Joo Won & Uee

cr : yongseohaejusaeyo@youtube Kalau ndak salah mereka membicarakan tentang first kiss mereka di ep 36. Kalau menurut Joo Won sich seperti ciuman anak SMP, yang ndak bergerak sama sekali, benar-benar kaku. Hehehehehe, mendengar ini aku merasa lucu banget. Jadi secara tidak langsung, dia mau kiss yang passionate sama Uee yah? Hehehehehehe.. Ini ada gambaran dari soulsrebels.wordpress.com : NAR says normally TH shows overflowing charisma but in front of J, TH changes into an innocent/docile person. And recently he found the courage to confess he likes J. but J’s answer to this confession was vague – “yes. Go” to TH who never once dated, this was a harder problem (to solve) than a math problem. From that day on, he officially started stalking/following J around and showed up wherever she went. That was Hwang TH’s way/method of loving. NAR asks Uee: how did you feel (about him following you around)? Uee laughs and says: I am sick and tired of it. Joowon is standing behind her so camera...

Back In Time - Lynn [OST K.Drama The Moon That Embraces The Sun]

Sebelumnya sudah pernah share OST ini ( di sini ). Nah sekarang aku akan share liriknya beserta translate yah.. Lirik : 구름에 빛은 흐려지고 gureume bicheun heuryeojigo 창가에 요란히 내리는 changgae yoranhi naerineun 빗물소리 만큼 시린 기억들이 bitmulsori mankeum sirin gieokdeuri 내 마음 붙잡고 있는데 nae maeum butjapgo inneunde 갈수록 짙어져간 galsurok jiteojyeogan 그리움에 잠겨 geuriume jamgyeo 시간을 거슬러 갈순 없나요 siganeul geoseulleo galsun eomnayo 그 때처럼만 그대 날 안아주면 geu ttaecheoreomman geudae nal anajumyeon 괜찮을텐데 이젠 gwaenchanheultende ijen 젖어든 빗길을 따라가 jeojeodeun bitgireul ttaraga 함께한 추억을 돌아봐 hamkkehan chueogeul dorabwa 흐려진 빗물에 떠오른 그대가 heuryeojin bitmure tteooreun geudaega 내 눈물 속에서 차올라와 nae nunmul sogeseo chaollawa 갈수록 짙어져간 galsurok jiteojyeogan 그리움에 잠겨 geuriume jamgyeo 시간을 거슬러 갈순 없나요 siganeul geoseulleo galsun eomnayo 그 때처럼만 그대 날 안아주면 geu ttaecheoreomman geudae nal anajumyeon 괜찮을텐데 이젠 gwaenchanheultende ijen 흩어져가, 나와 있어주던 그 시간도 그 모습도 heuteojyeoga, nawa isseojudeon geu sigando geu moseupdo 다시 그 때처럼만 그대를 안아서 dasi geu t...

Old Thai Lakorn aka Old Thai Drama

Tiba-tiba teringat dulu masa SD atau SMP pernah gemar nonton drama Thailand yang ditayangkan di anTV atau TPI (yang sekarang dikenal dengan MNCTv). Nah dulu seingatku ada cerita ttg cowok yang punya istri banyak, ternyata salah satu istrinya meninggal. Terus istri yang meninggal itu ternyata punya saudara perempuan kembar yang menyamar untuk menyelidiki kematian kakaknya. Ternyata karena wajahnya yang memang 100% mirip dengan wajah kakaknya yg meninggal, dia mudah masuk ke rumah itu sebagai istri cowok itu. Setiap kali cowok itu minta dilayani, cewek itu ada ajah taktik untuk mengelak, akhirnya dia melakukan hubungan suami istri. Cewek itu kira aman ternyata ndak, cewek itu hamil pada saat semua rahasianya kebongkar. Seingatku akhirnya happy ending . Masalahnya aku tak tahu judul drama ini. Pengen banget nonton lagi. Ada yang masih ingat? Terus masih ingat lagi drama anTV. Benar-benar lupa judulnya dan nama pemainnya. Tapi ceritanya tentang cewek yang kabur terus ndak sengaja ketemu co...