Langsung ke konten utama

Becoming... Mother of His Children

1 Januari 1981 – Malam Hari Pertama Nifas

“Aku Melahirkan Kehidupan yang Dulu Aku Rendahkan.”


---

Semua Sudah Reda. Tapi Luka Baru Dimulai.

Ruang bersalin sudah dibersihkan.

Darah yang tergenang sudah dipel.

Perban diganti.

Dokter dan tim medis telah pergi.


Jin Rui sendiri mengganti pakaian Ruyu dengan gaun tidur longgar dari katun putih lembut.

Di lengannya, bayi perempuan mungil itu tertidur.


> Cahaya malam redup.
Ruyu duduk di ranjang, punggungnya diganjal bantal besar.
Payudaranya penuh dan basah, dan mulut kecil itu mencari dengan insting.
Untuk pertama kalinya, anak perempuan itu menyusu dari tubuh ayah yang menjadi ibu.




---

Ingatan Itu Datang—Tajam Seperti Jahitan yang Baru Ditutup

> “Istriku dulu… dia menangis setelah melahirkan anak perempuan.”
“Aku mencibir. Aku pergi dari rumah selama dua hari.
Kataku: ‘Apa gunanya putri? Tak bisa meneruskan namaku.’”



> “Tapi malam ini… putri itu ada di dadaku.
Menyusu. Menyerap.
Dan aku merasa tubuhku… untuk pertama kalinya, bukan milikku lagi.”



> “Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan.
Karena air susu itu keluar, bersamaan dengan rasa bersalah yang menyesakkan.”




---

Jin Rui Mendekat – Wajahnya Tidak Lagi Penuh Dendam

Jin Rui duduk di tepi ranjang.

Ia memandangi putri mereka, lalu memandangi Ruyu—yang masih pucat dan kelelahan.


> Jin Rui (pelan):
“Dia cantik. Seperti kamu waktu masih muda.”



> “Jangan salahkan dia karena lahir sebagai perempuan…
Karena takdirnya adalah untuk mengingatkan kita pada semua yang telah kau lupakan dulu.”




---

MOMEN PEMBERIAN NAMA

Jin Rui berdiri, lalu mengambil gulungan kecil dari kantong bajunya.

Ia membuka lembaran tipis berisi tulisan tangan:


> 锦清歌 – Jin Qingge
“Lagu yang jernih dari permata.”



> Makna:

"Qing" untuk kejernihan batin yang tidak dimiliki ayahnya dahulu.

"Ge" untuk suara yang lembut tapi menyentuh—suara yang tak pernah didengar Liang Zemin dari putrinya dulu, karena ia tidak pernah cukup hadir.




> Jin Rui:
“Namanya Jin Qingge.
Karena dia akan tumbuh dengan lagu yang jujur… bukan dengan kekuasaan.”



> “Dan karena aku ingin dia tahu, bahwa meski ibunya dulu menolak keberadaan perempuan…
aku—ayahnya—tidak akan pernah mengulang kesalahan itu.”




---

Malam itu, Liang Zemin Menangis. Tapi Bukan Karena Luka Jahitan.

> Ia memeluk Qingge.
Putri yang keluar dari tubuhnya yang dulu penuh arogansi.
Dan saat anak itu menyusu lagi…
air mata yang turun dari pipi Ruyu bukan hanya tangis keibuan.
Tapi tangis permintaan maaf—yang terlalu terlambat untuk semua wanita yang pernah ia rendahkan.




---

Namun Malam Itu Belum Berakhir…

Jin Rui kembali ke kamar setelah menyimpan naskah nama di rak.

Ia menatap Ruyu, yang masih pucat namun sudah duduk.

Suara Jin Rui lembut, tapi tegas:


> “Kau istriku.
Dan ibu dari anakku.
Tapi malam ini tetap malam pertamamu di rumah sebagai pelayan suami dan pengurus rumah.
Kau tidak bisa berhenti sekarang.”



Kamera menyala.

Jin Rui membuka jubah luar Ruyu perlahan.

Payudaranya masih bocor.

Tubuhnya masih sakit.

Tapi ia hanya bisa membuka kakinya… dan menerima.


> Seperti yang dulu ia tuntut dari istrinya, bahkan di hari ke-2 setelah melahirkan.




---

MONOLOG RUYU – MALAM PERTAMA NIFAS

> “Aku pernah bilang, wanita tak perlu istirahat.
Hari ini, aku berkata itu… kepada diriku sendiri.
Sambil menahan rasa panas di bawah bekas sobekan yang belum kering.”



> “Tapi putriku menyusu dengan tenang…
Dan aku… tidak tahu apakah aku layak menerima cinta kecil ini dari mulut mungilnya.”

=====

MINGGU 1 – (4–10 Januari 1981)

“Saat malam hening, tubuhku gemetar bukan karena demam—tetapi karena rindu pada ibu yang dulu tidak pernah kupandang.”

Kondisi Fisik:

Jahitan perineum masih basah dan nyeri luar biasa.

Rasa nyeri meningkat tiap menyusui karena kontraksi rahim.

Puting lecet, ASI masih sulit keluar di hari-hari awal.

Badan menggigil karena kurang tidur dan tidak boleh mandi penuh (mengikuti tradisi masa itu).


Kondisi Emosional:

Baby blues mulai nyata: menangis tanpa sebab, sulit tidur meski lelah, mudah tersinggung.

Tapi yang paling menghantam adalah saat Ruyu menyusui Qingge di malam hari, dalam diam… dan tiba-tiba mengingat ibunya.


> “Aku ingat, saat istri pertamaku melahirkan, ibuku datang dan merebuskan sup jahe hangat.
Aku menganggap itu manja.
Hari ini aku ingin sekali mencium tangan ibu—yang dulu kucemooh karena tidak bersekolah tinggi.”



> “Istriku dulu mengeluh nyeri, dan ibuku menepuk punggungnya sambil berkata sabar.
Hari ini, tak ada tangan yang menepukku.”



Keseharian yang Menghantam Jiwa:

Bangun tiap 2 jam untuk menyusui, meski tubuhnya panas dingin.

Harus memasak sup sendiri, menyeka lantai sendiri, menggendong bayi sambil berdiri karena Qingge tak mau tidur.

Tak ada pelukan. Tak ada kata “terima kasih.”



---

MINGGU 2 – (11–17 Januari 1981)

“Istriku dulu duduk di atas bantal tebal saat menyusui. Ibuku menyuruhku jangan ganggu dia. Hari ini aku menyusui sambil berdiri, karena aku tak punya siapa-siapa.”

Kondisi Fisik:

Luka mulai kering tapi masih mudah berdarah.

Puting membengkak, baju sering basah oleh ASI.

Perut masih terlihat seperti hamil 5 bulan—hal yang dulu ia ejek dari istri-istrinya.

Tubuhnya berbau keringat, ASI, dan darah, tapi ia harus tetap tersenyum saat menyambut Jin Rui pulang.


Muncul Penyesalan Sebagai Suami dan Anak:

Setiap kali Qingge menangis tak berhenti, Ruyu seperti melihat wajah istri pertamanya.

“Dulu aku tinggal di hotel saat bayiku menangis.”


Ia mulai rindu sekali pada ibunya.

Bukan karena ibunya sempurna, tapi karena hanya ibunya yang pernah menganggapnya manusia, bukan prestasi.

Ia dulu menyebut ibunya “biasa-biasa saja.”

Tapi kini, ia merindukan kaldu hambar buatan ibunya… dan suara lembut itu yang hanya berkata: 'tidur sebentar, Ibu jaga bayinya.'



> “Aku menyuruh istri tetap rapi dan lemah lembut meski demam dan menyusui.
Hari ini, aku menyuapi Qingge sambil berdiri dan air mataku menetes ke wajahnya.”




---

MINGGU 3 – (18–24 Januari 1981)

“Aku dulu anak dari seorang wanita biasa yang mengajarkanku mencintai. Tapi aku memilih membanggakan gelar, uang, dan kekuasaan.”

Kondisi Fisik:

ASI mulai lancar, tapi tubuhnya semakin lelah.

Pendarahan menurun, tapi nyeri pinggul dan punggung meningkat karena posisi menyusui yang buruk.

Sudah bisa berjalan tegak, tapi hanya bertahan 15 menit.

Harus mulai memijat kaki suami sebelum tidur, meski malam itu ia tak menyusui.


Mental & Kerinduan:

Dalam sunyi, ia mulai berdoa seperti ibunya dulu.

Meskipun selama hidup ia menganggap ibunya kuno, kolot, terlalu patuh.

Tapi sekarang, di ujung malam, hanya doa-doa ibunya yang terngiang.



> “Dulu aku bilang: 'Ibu hanya mengajarkan kelemahan.'
Tapi malam ini, kelemahan adalah satu-satunya alasan aku masih hidup.”



Dialog dengan Bayi – Saat Menyusui:

> Ruyu (pelan, sambil mengusap kepala Qingge):
“Ibu… tidak sekuat yang Ayahmu bayangkan.
Tapi ibu tidak lari…
Karena ibuku dulu juga tidak pernah lari.”




---

MONOLOG RUYU – MINGGU 1–3 NIFAS

> *“Dulu aku menghitung kekuatan dengan gelar dan kepemimpinan.”
“Hari ini aku tahu: kekuatan adalah tetap menyusui meski berdarah,
tetap memasak meski pusing,
tetap memeluk anak saat seluruh tubuhmu berteriak minta tidur.”



> “Ibuku adalah wanita yang tak pernah kubanggakan.
Hari ini… aku ingin sekali memanggil namanya.
Tapi terlalu malu untuk bicara…
dan terlalu hancur untuk kembali.”

=====

MINGGU 4 (25–31 Januari 1981)

“Jarum itu menusuk lengan mungil Qingge, tapi seperti menembus jantungku sendiri.”

Peristiwa Penting: Vaksinasi BCG & Hepatitis B

Dokter wanita dari klinik pribadi datang ke rumah secara diam-diam.

Jin Rui mengatur waktu, menyuruh Ruyu mengenakan daster panjang bersih, riasan tipis.


Qingge yang baru berusia 28 hari, menangis keras saat jarum menyentuh lengan mungilnya.

Ruyu menangis diam-diam di pojok ruangan.

Wajahnya pucat, air susu menetes ke dasternya.



> “Dulu aku mencibir istriku karena menangis saat bayi divaksin.
Aku bilang: ‘Itu cuma tangis bayi, bukan luka perang.’
Hari ini aku menggenggam pinggir ranjang dan berkata: ‘Jangan menangis… tolong diam sebentar.’
Tapi itu justru untuk menenangkan diriku sendiri.”




---

MINGGU 5 (1–7 Februari 1981)

“Aku membaca puluhan artikel tentang demam pasca vaksin… karena aku terlalu takut kehilangan makhluk yang lahir dari tubuh yang tak pernah kupahami.”

Efek Samping Vaksin & Kepanikan Ruyu:

Qingge demam ringan, rewel, dan menyusu lebih sering.

Tangisannya tajam dan sulit ditenangkan.

Ruyu panik—berjalan mondar-mandir di kamar sambil memeluk Qingge.


> Ia pernah meninggalkan anak perempuan pertamanya menangis sendiri di kamar.
Tapi sekarang, ia menggenggam Qingge seperti anak itu adalah seluruh harga dirinya yang tersisa.



Ruyu memohon Jin Rui:


> “Tolong panggil dokter lagi… aku takut ini bukan reaksi normal…”



Dokter anak datang malam hari, memastikan semuanya aman.

Ruyu menangis saat mendengar kata: “tidak bahaya.”

Bukan karena lega. Tapi karena ia sadar—ia mulai berubah menjadi wanita yang dulu ia anggap lemah.




---

Perubahan Lain di Minggu ke-5:

Jin Rui mulai menuntut agar tubuh Ruyu kembali ramping.

Ia diberi jadwal senam ringan dan menu makan rendah lemak.

Harus menjaga ASI tetap banyak tapi tanpa makan “berlebihan.”



> “Dulu aku bilang: istri harus tetap cantik meski menyusui.”
Hari ini, aku mengganti bra penampung susu sambil menimbang berat badanku di kamar mandi…”




---

MINGGU 6 (8–14 Februari 1981)

“Aku tak lagi hanya takut pada luka tubuh… tapi pada rasa cinta yang perlahan menumbuhkan kelembutan dalam hatiku yang dulu penuh batu.”

Vaksin Polio & Persiapan Mental:

Dokter anak datang lagi, kali ini untuk vaksin polio oral pertama.

Ruyu sudah membaca banyak artikel dan brosur—ia mulai mencatat jadwal vaksin, tanda demam, dan perkembangan Qingge.


Saat vaksin diberikan, Qingge menangis hanya sebentar.

Tapi Ruyu tetap memeluknya selama satu jam penuh, menenangkannya dengan lagu nina bobo.



Transformasi Psikologis:

Malam itu, Ruyu menulis di jurnal perkembangan anak:


> “Qingge sudah minum polio pertama.
Dia makin kuat.
Aku belum. Tapi aku belajar.”



Di malam berikutnya, Jin Rui meminta pelayanan ranjang.

Ruyu menurut. Tapi kali ini, sambil menatap kamar bayi yang remang.



> “Aku tidak tahu apakah aku wanita sepenuhnya.
Tapi malam ini… aku tahu bahwa menjadi ibu bukan hal yang bisa disangkal.”




---

MONOLOG RUYU – MINGGU 4–6

> “Anakku menangis saat disuntik.
Dan aku menangis karena aku tahu betapa tidak pantasnya aku dulu jadi ayah.”



> “Aku pernah bilang: istri yang baik tidak perlu membaca buku parenting.
Hari ini aku mencatat suhu tubuh Qingge, dan mengecek isi popoknya tiga kali sehari.”



> “Mungkin tubuh ini belum indah lagi…
Tapi aku tak lagi ingin meninggalkan kamar bayi,
karena aku tak sanggup hidup tanpa makhluk kecil yang telah mencabik egoku dan menggantikannya dengan cinta yang menakutkan.”

=====

14 Februari 1981 – Hari Valentine

“Cinta tidak pernah kutawarkan. Tapi tubuhku adalah hadiah yang harus kubungkus—meski tak ada kain.”


---

Sore Hari: Tubuh Sebagai Hadiah

Di atas meja makan, Ruyu menata hidangan yang ia siapkan sendiri:

sup ayam jahe, pangsit isi udang, dan dua cangkir teh manis dengan kurma.


Ia berkeringat, karena dapur sempit, dan tubuhnya masih terasa nyeri.

Tapi ia tetap mengikatkan pita merah satin yang diberikan Jin Rui sore itu.

Satu pita besar melingkari pinggang dan perut,

pita tipis di bawah payudara penuh ASI,

lehernya dihiasi lonceng kecil seperti kalung binatang peliharaan.



> “Kado Valentine?
Dulu aku minta istri memakai lingerie merah.
Hari ini… aku berdiri telanjang dengan pita, dan memasak dengan hati yang belum siap.”




---

Makan Malam: Senyum di Meja, Luka di Dalam

Jin Rui pulang pukul 19.00.

Ia mendapati Ruyu berdiri bersimpuh di samping meja makan, tangan dilipat di pangkuan.


> Jin Rui (pelan):
“Kau menyajikan dirimu… lebih baik dari siapa pun sebelumnya.”



Mereka makan dalam diam.

Setiap kali Ruyu mengangkat sumpit, pita di payudaranya bergeser sedikit.

Jin Rui hanya memandang.

Tapi Ruyu tetap tersenyum lembut, seperti wanita yang tulus…
meskipun rahimnya masih berdenyut setiap kali duduk.




---

Setelah Makan: Menari Tanpa Musik

Jin Rui duduk di sofa, lalu berkata:


> “Tunjukkan padaku…
apa yang dulu kau minta dari wanita.”



Ruyu berdiri perlahan, berjalan ke tengah ruangan.

Ia mulai menari perlahan, tubuh yang pernah tegap kini penuh lekuk.

Payudara yang berat memantul lembut, pinggulnya mengalun.



> “Dulu aku bilang: istri harus menari meski lelah.
Hari ini… aku menari dengan tubuh yang tak kutahu caranya berdamai.”




---

Mandi Bersama: Tubuh yang Tak Punya Pilihan

Di kamar mandi, Jin Rui menggosok punggung Ruyu dengan tangan sabun.

Ruyu duduk di bak, payudara bocor sedikit, bocoran ASI bercampur busa.

Jin Rui menarik wajahnya, mencium bibirnya, dan berbisik:


> “Kau menghidangkan cinta tanpa berkata cinta.
Itu cukup.”




---

Malam Hari: Pelayanan Terakhir Sebelum Menjadi Ibu Lagi

Di atas ranjang, pita di tubuh Ruyu satu per satu dilepas.

Tak ada baju. Tak ada kain.

Hanya kulit, keringat, dan ASI yang belum berhenti menetes.


Jin Rui menundukkan tubuhnya, dan Ruyu menerima.

Dengan rasa sakit yang ditelan.

Dengan napas yang ditahan agar tak terdengar berat.



> “Aku dulu bilang: suami yang baik harus dipuaskan dulu,
baru anak boleh ditangani.”




---

Tengah Malam: Suami Tertidur, Bayi Menangis

Jin Rui tertidur dalam posisi menghadap dinding.

Ruyu perlahan bangkit, memegangi perut, dan berjalan ke ranjang bayi.

Qingge menangis.

Ruyu mengangkatnya, memeluk sambil air susu mulai mengalir otomatis.


> “Valentine bukan tentang cinta,
tapi tentang siapa yang tetap terjaga ketika semua orang tertidur.”



> “Hari ini aku menyusui sambil berdarah.
Bukan dari luka,
tapi dari hati yang dulu menyuruh wanita lain untuk kuat…
padahal bahkan aku tak bisa berdiri tanpa berpegangan.”




---

MONOLOG RUYU - 14 FEBRUARI

> “Tubuhku tak pernah jadi hadiah.
Tapi hari ini, aku melilitinya dengan pita—
karena dulu aku berkata,
hadiah terbaik untuk suami adalah tubuh istrinya sendiri.”



> “Dan malam ini,
aku menyerahkan diriku dengan senyum…
karena aku tak tahu lagi cara menolak.”

=====

**MINGGU 7–8 NIFAS

(15–28 Februari 1981)**
“Jika aku menangis, tidak ada yang akan mengurus rumah ini. Maka aku memilih diam, dan menjahit sambil berdarah.”


---

1. Kewajiban Harian yang Makin Padat

Pagi hingga sore hari:

Memasak sendiri tiga kali sehari untuk Jin Rui dan dirinya.

Menu rendah lemak, tinggi protein agar tubuh tetap kuat dan ASI tetap deras.


Mencuci dan menyetrika pakaian Jin Rui.

Menyapu, mengepel, menjemur, membersihkan kamar mandi.

Menjahit dan menyulam perlengkapan Qingge untuk pesta 100 hari nanti:

Gaun bayi merah dari kain sutra.

Kaos kaki bordir nama Qingge.

Topi merah dengan hiasan bunga tangan.

Semua harus dijahit rapi dan diberi aroma bunga kering.



> “Aku dulu bilang, seorang istri yang baik tak perlu dibantu.
Hari ini aku menumpahkan darahku di lantai saat menjahit, lalu membersihkannya tanpa suara.”




---

2. Tuntutan Perawatan dan Bentuk Tubuh

Jin Rui mulai mengatur jadwal perawatan rumah:

Masker alami dari putih telur dan madu.

Minyak pijat untuk perut dan pinggul.

Pelembab di seluruh tubuh agar tidak ada stretch mark.


Ruyu tetap harus telanjang di rumah.

Tidak ada gaun. Tidak ada penutup.

Setiap kali berjalan melewati cermin, ia melihat tubuh wanita—tapi dengan luka laki-laki yang belum berdamai.



> “Dulu aku tertawa saat istri menyuruhku memijat betisnya karena pegal.
Hari ini aku berdiri di depan cermin dan berkata pada diri sendiri:
‘Kau tidak boleh pegal. Kau harus tetap ramping dan cantik. Karena malam ini suamimu akan menyentuhmu lagi.’”




---

3. Puncak Ketegangan: Hari Vaksin Qingge (28 Februari)

Di akhir minggu ke-8,
dokter anak kembali untuk memberikan:

DPT 1

Hepatitis B dosis ke-2


Akibat:

Qingge demam tinggi dan menangis sepanjang malam.

Ia menyusu dengan lemah, tidak mau tidur sendiri.

Kulitnya memerah, tubuhnya panas.


Respons Ruyu:

Ia berusaha tenang, meletakkan kompres di dahi bayi, menyanyikan lagu nina bobo.

Tapi tangannya gemetar.

Ia memanggil Jin Rui—bukan untuk minta bantuan, tapi untuk lapor bahwa anak mereka demam.


> Jin Rui (datar):
“Tangani dengan tenang. Rumah ini tak boleh berantakan hanya karena bayi sedikit demam.”



> “Dan malam ini, aku ingin kau tampil lembut,
tidak dengan wajah lelah seperti beberapa hari terakhir.”




---

4. Malam yang Tidak Memberi Ruang Istirahat

Qingge menangis tiap satu jam.

Tapi Ruyu tetap harus mandi, menyisir rambut, dan menyambut Jin Rui di tempat tidur.

Ia membuka kakinya dengan tangan yang tadi memegang kompres demam bayi.


> “Aku menyusui dengan payudara yang sakit,
melayani dengan tubuh yang menggigil,
dan besok pagi aku harus menggoreng ikan tanpa aroma amis.”




---

MONOLOG RUYU – MINGGU 7–8

> “Aku pernah bilang, seorang istri harus kuat di saat suami lelah dan anak rewel.
Hari ini aku hidup dalam kata-kataku sendiri…
dan kutahu itu adalah kutukan.”



> “Aku dulu marah saat istri lupa menyetrika bajuku.
Hari ini, aku menjahit baju anakku dengan darah yang masih menetes diam-diam di selangkangan.”



> “Tak ada waktu untuk luka. Tak ada ruang untuk menangis.
Karena tubuh ini harus ramping,
dan wajah ini harus manis,
saat pintu kamar dibuka malam nanti.”

=====

1 Maret 1981 – Ulang Tahun ke-21 Yao Ruyu (dan ulang tahun ke-51 Liang Zemin yang dikubur)

"Hari ini aku bertambah usia, tapi rasanya seperti dikurangi setengah diriku."


---

Pagi Hari: Pengingat yang Menohok

Saat Ruyu menyusui Qingge dengan mata yang masih berat karena kurang tidur,
Jin Rui duduk di meja makan sambil memeriksa jam tangannya dan berkata pelan:

> Jin Rui:
"Hari ini 1 Maret. Selamat ulang tahun, istriku."
"Kau 21 tahun hari ini. Sungguh istri muda yang lembut dan subur."



> “Tepat setahun lalu… aku pertama kali menyetubuhimu, masih sebagai pria yang penuh arogansi.
Dan hari ini, kau akan menyuapi aku sambil mengenakan pakaian yang akan membuatmu malu bahkan pada bayanganmu sendiri.”




---

Siang Hari: Mempersiapkan Jamuan untuk Dirinya Sendiri

Ruyu diminta menyiapkan makanan ulang tahun, lengkap:

Mie panjang umur (长寿面).

Telur rebus merah.

Sup tulang babi jahe.

Kue beras kukus.


Di tengah memasak, ia menyeka ASI yang terus menetes karena Qingge menangis di kamar sebelah.


> “Aku tidak pernah menyiapkan ulang tahun istri-istriku.
Hari ini, aku berdiri di dapur untuk ulang tahunku sendiri…
karena suamiku akan pulang membawa kado yang akan memaksaku tertawa dalam diam.”




---

Sore Hari: Kedatangan Kado Penghinaan

Jin Rui pulang membawa dua barang:

Sebuah kotak kue tart berhiaskan buah merah muda.

Sebuah kotak pakaian cosplay yang membuat wajah Ruyu memucat.


> Isinya: lingerie transparan, pita-pita merah muda, dan telinga kelinci.



> Jin Rui:
"Hadiah ini hanya bisa dipakai oleh istri yang tahu bahwa tubuhnya bukan miliknya.
Tapi milik suaminya, terutama di malam ulang tahunnya sendiri."




---

Malam Hari: Panggung Terakhir Kejatuhan Ego

Ruyu mengganti bajunya dengan lingerie itu tanpa protes.

Ia melayani makan malam dengan tangan gemetar, mengenakan telinga kelinci dan make-up yang dirias sendiri.


Setelah Qingge tertidur, Jin Rui menarik Ruyu ke kamar tidur.

> Jin Rui (sambil menyalakan kamera):
“Setahun lalu, kau berdiri tegap, menertawakanku.
Hari ini kau membuka kakimu dan tersenyum.”



Hubungan seks itu direkam.

Setiap bisikan, erangan, dan mata Ruyu yang kosong terekam.

Rambutnya ditarik, dadanya dihisap—semua dalam kosmetik ulang tahun.




---

Setelahnya: Sunyi di Depan Cermin

Jin Rui tertidur puas.

Ruyu bangkit perlahan, berdiri telanjang di depan cermin.

Bekas bedak masih di wajahnya.

Bekas merah di paha dan dada menandai tubuhnya seperti hadiah yang sudah dibuka paksa.


> “Aku 51 tahun hari ini. Tapi aku harus merayakan ulang tahun ke-21 dalam tubuh wanita yang bukan aku.”
“Aku pernah membenci wanita yang menurut.
Hari ini, aku mengucapkan terima kasih setelah diperlakukan seperti boneka.”



> “Bentengku selama 50 tahun… akhirnya runtuh bukan karena peperangan.
Tapi karena aku menjadi sosok yang dulu kupaksa orang lain untuk jalani.”




---

MONOLOG RUYU – 1 Maret 1981

> “Selamat ulang tahun, Liang Zemin.
Kau telah mati, dan semua orang berpura-pura tak pernah mengenalmu.”



> “Hari ini, tubuh ini bukan milikmu,
namamu bukan milikmu,
dan bahkan perayaan ulang tahunmu adalah upacara penghapusan sisa egomu.”



> “Selamat ulang tahun, Yao Ruyu.
Semoga kau bisa bertahan menjadi istri dan ibu seperti yang diciptakan oleh pria yang dulu kau kira hebat.”

=====

MINGGU KE-9 (2–8 Maret 1981)

“Tubuhku dulu simbol kekuasaan. Sekarang ia penuh susu, dan masih harus cantik.”

Ulang tahun yang menyakitkan masih membekas. Setiap kali melihat cermin di pagi hari, Ruyu terdiam.

> “Tahun lalu, aku berdiri telanjang di bawah sorot kamera, dipaksa menerima tubuh wanita ini.
Hari ini, aku berdiri telanjang sebagai istri dan ibu, dan tak ada yang memaksaku. Tapi aku tak juga bisa lari.”



Dadanya bukan lagi bidang kekar, tapi payudara yang penuh ASI.

Payudara itu harus tetap montok, bersih, lembut, dan tidak kendur, karena Jin Rui menyukainya.

Ia mengompres, memijat, dan memakai ramuan herbal yang ia pelajari sendiri.


Ia mulai menyadari: "Aku mengurus payudaraku seperti dulu aku memerintah istri agar menjaga tubuhnya… dengan tekanan yang kini kutanggung sendiri."



---

MINGGU KE-10 (9–15 Maret 1981)

“Tak ada lagi otot. Yang tersisa hanya pinggang yang harus ramping, dan kulit yang tak boleh kasar.”

Perut Ruyu masih sedikit menggelambir, tapi ia menolak untuk mengeluh.

Ia melakukan senam ringan setiap pagi sambil membawa Qingge di gendongan.

Setiap sore, ia memakai balsem perut anti-stretchmark buatan sendiri.


Kulitnya dipijat dan diberi minyak herbal.

Ia memeriksa setiap titik gelap, setiap flek.

Karena seorang istri harus tetap indah meski menyusui dan mencuci piring.



> “Aku dulu bilang: istri harus tetap memikat.
Hari ini aku menatap diriku sendiri dan takut—karena mungkin aku tidak memikat cukup baik… untuk bertahan.”




---

MINGGU KE-11 (16–22 Maret 1981)

“Rambutku dulu pendek dan rapi. Sekarang panjang dan harus selalu wangi, karena suamiku suka mencium kepala istrinya.”

Rambut Ruyu kini panjang sebahu dan lurus.

Ia harus mencuci rambut 3 hari sekali, menyisirnya dengan minyak bunga jeruk.

Jin Rui sering menarik rambutnya pelan saat bercinta, sambil berbisik:

> “Rambut panjangmu… cocok untuk wanita sepertimu.”




Ruyu tahu itu bukan pujian, tapi pengikat.

Rambut panjang, payudara penuh susu, pinggang langsing—semuanya adalah bagian dari cetakan istri ideal yang dulu ia paksa istri-istrinya untuk isi.




---

MINGGU KE-12 (23–29 Maret 1981)

“Tidak ada otot, tidak ada kebanggaan. Hanya pekerjaan rumah dan benang jahit untuk pesta anakku.”

Ruyu menggosok lantai rumah, menjahit pita-pita hiasan untuk gaun Qingge, dan mulai menyulam nama Qingge di kain putih yang akan digantung di ruang tamu saat pesta.

Setiap siang, ia belajar mengatur pencahayaan ruangan untuk tamu nanti.

Jin Rui ingin pesta 100 hari sederhana tapi elegan. Dan Ruyu tahu:


> “Bukan pesta untuk Qingge.
Ini pesta untuk Jin Rui memamerkan bahwa istri dan anaknya adalah mahakarya diamnya.”




---

MINGGU KE-13 (30 Maret – 5 April 1981)

“Kau adalah ibu dari bayi yang lahir dari tubuh pria. Maka jadilah sempurna, atau tak usah jadi apa-apa.”

Qingge menerima vaksinasi lanjutan: DPT 2 dan Polio 2.

Ia demam sepanjang malam, dan Ruyu tidak tidur tiga hari berturut-turut.


Namun rumah tetap bersih, bunga tetap diganti setiap pagi, dan gaun pesta untuk Qingge sudah selesai disulam.

Ruyu tetap melayani Jin Rui di tempat tidur, bahkan saat tubuhnya menggigil karena kelelahan.


> “Dulu aku bilang, seorang istri harus tetap menjaga rumah meski anak sakit.
Hari ini aku menempelkan kompres di kepala anakku sambil menunggu suamiku meminta pijatan di punggungnya.”




---

MONOLOG RUYU – AKHIR MINGGU KE-13

> “Aku dulu pria. Pria sejati yang tak menyentuh popok anak,
tak tahu harga susu bayi,
dan tak peduli apakah perut istrinya sobek saat melahirkan.”



> “Hari ini aku tahu semua itu.
Tapi bukan karena cinta.
Melainkan karena aku hidup dalam skenario yang kutulis sendiri—
dan tak pernah kupikir akan kuperankan sendiri.”

=====

10 April 1981 – Perayaan 100 Hari Jin Qingge

“Hari ini, aku bukan lagi seseorang. Aku adalah hasil kerja seseorang.”


---

Pagi Hari – Pengaturan Terakhir

Ruyu bangun pukul 04.30.
Qingge masih tertidur. Jin Rui sudah di ruang kerja, membaca berkas tamu yang akan hadir.

> Ada 10 nama.
CEO televisi regional, manajer distribusi film, pasangan keluarga pengusaha, dan dua selebritas muda wanita.



Tugas Ruyu hari ini jelas:

Rumah harus harum dan bersih.

Makanan disajikan tepat waktu.

Penampilan istri dan anak harus memukau.



---

Penampilan Ruyu

Rambut disanggul tinggi dengan jepit emas berbentuk burung phoenix kecil.

Wajahnya dirias natural: pipi cerah, bibir merah muda, alis tipis.

Gaun qipao merah muda lembut, pinggang ketat, leher tertutup.

Tapi kainnya cukup tipis untuk membiarkan siluet tubuhnya terbaca elegan.



> Jin Rui menyentuh dagunya sebelum para tamu tiba:
“Jangan bicara terlalu banyak. Tapi jangan diam seperti patung.
Tugasmu adalah membuatku tampak sempurna.”




---

Qingge

Dipakaikan baju bayi merah dengan sulaman 福 dan nama "Qingge" di dada.

Ruyu menggendongnya dengan selempang sutra putih.

Saat Qingge menangis, Ruyu menyusui diam-diam di ruang belakang, memastikan tidak satu tetes pun membasahi bajunya.



---

Acara Dimulai

Para tamu datang mulai pukul 10.00.

Ruyu menyambut satu per satu dengan senyum anggun, membungkuk kecil, dan menyajikan teh.
Ia memperkenalkan diri hanya sebagai:

> “Ruyu. Istri Jin Rui dan ibu dari Qingge.”




---

Komentar yang Didengar Ruyu dari Ruang Belakang

> “Luar biasa, rumahnya sangat bersih.”
“Istrinya… elegan sekali, dan begitu lemah lembut.”
“Tak heran Jin Rui makin bersinar. Wanita seperti itu adalah fondasi sukses seorang pria.”



> Lalu, dalam bisikan lebih pelan:
“Seperti pernah lihat wajahnya. Tapi siapa ya? Mirip… tapi pasti bukan.”




---

Tengah Hari – Saat Semua Orang Tersenyum, Tapi Ruyu Gemetar

Saat menyajikan mangkuk sup ayam ke tamu VIP wanita, Ruyu sedikit gemetar.
Bukan karena takut. Tapi karena lututnya lemah setelah semalaman tidak tidur.

Ia lalu ke kamar belakang untuk menyusui Qingge yang mulai rewel.
Tangannya meremas lengan sendiri agar tetap sadar.
Ia harus menyusui dengan satu tangan, dan memegangi brosur acara di tangan lainnya.

> “Karena istri tidak boleh lalai. Jika ada masalah hari ini, itu salahku.”




---

Malam Hari – Setelah Semua Pulang

Jin Rui duduk di ruang tamu, minum teh, lalu berkata:

> “Hari ini aku dipuji. Rumah dipuji. Anakku dipuji.”
“Dan itu karena kau tidak bicara apa-apa… hanya bekerja.”



Ruyu berdiri, tersenyum.
Ia akan mulai membersihkan.
Tapi Qingge menangis, dan susu mengalir dari dadanya—membasahi gaun pesta itu.

Ia tidak menangis. Tidak marah.
Hanya duduk di samping ranjang, sambil berkata lirih:

> “Aku pernah menjadi pria yang tak percaya istri memiliki nilai.
Hari ini… aku menjadi nilai itu.”




---

MONOLOG RUYU – Perayaan 100 Hari Qingge

> “Jika suamimu dipuji, kau berhasil.
Jika anakmu sehat, kau diberkati.
Jika rumahmu bersih, kau patuh.”



> “Tapi jika semua itu terjadi sekaligus…
maka kau telah menjadi istri yang sempurna.
Dan bukan lagi manusia.”

=====

**APRIL–JUNI 1981

(Tepatnya: Minggu ke-15 s.d. Minggu ke-22 pasca kelahiran Qingge)**
“Dulu aku yang ditunggu pulang oleh istri-istriku.
Sekarang… aku adalah istri yang menunggu di rumah, sambil menyusu dan menjahit.”


---

Setelah Pesta 100 Hari – Keheningan yang Baru

Setelah pintu tertutup, dan para tamu pergi, rumah besar itu hening.
Qingge tidur dalam pelukan ibunya.

Besoknya, Jin Rui pergi ke bandara, tanpa banyak kata.
Hanya menyentuh pipi Ruyu dan berkata:

> “Aku akan kembali sebelum ulang tahunku.
Kau akan menungguku, kan?”



Ruyu mengangguk.
Tak ada kunci rumah, tak ada uang, tak ada akses keluar.
Tapi tak ada rasa ingin lari.

> “Dulu aku akan menyuruh wanita seperti diriku untuk diam di rumah.
Hari ini… aku melakukannya tanpa diperintah.”




---

Mei 1981 – Surat dari Luar Negeri

Akhir Mei, surat datang dengan kop produksi:
“Aku akan pulang 13 Juni. Kita rayakan ulang tahunku bersama.
Kau siapkan makan malam. Aku rindu putriku.
Dan istriku.”

Ruyu menyentuh huruf istriku.
Tangannya gemetar.
Bukan karena takut—tapi karena rindu.
Tubuhnya terasa kosong tanpa sperma yang biasa membasahi malam-malamnya.


---

Hari-hari Bersama Qingge: Detik-detik yang Dulu Ia Lewatkan

> “Aku punya tiga anak perempuan sebelumnya.
Tapi aku tidak tahu kapan mereka bisa menegakkan kepala.
Tidak tahu suara pertama mereka.
Karena aku terlalu sibuk menjadi lelaki agung.”



Kini, bersama Qingge:

Minggu ke-15–16: Qingge mulai mengangkat kepala saat tengkurap.

Minggu ke-17: Dia bisa menggenggam jari ibunya lebih erat.

Minggu ke-18–19: Ia tertawa untuk pertama kalinya.

Minggu ke-20: Ia mulai mengenali wajah Ruyu dan merengek jika ditinggal.


Ruyu merekam semua dengan kamera super 8 yang ditinggalkan Jin Rui.
Bukan karena disuruh. Tapi karena ia tidak ingin Jin Rui menjadi ayah seperti dirinya dulu.

> “Jika aku harus menebus semua dosaku sebagai ayah…
Maka biarlah aku menjadi ibu yang merekam setiap senyum putriku.”




---

Malam-Malam Tanpa Jin Rui – Sepi yang Membasahi Dada

Ruyu tidur di samping boks bayi.

Tapi tiap pukul 2 dini hari, tubuhnya bergetar sendiri.

Bukan karena dingin, tapi karena rindu sentuhan.

Putingnya penuh ASI, tapi tidak pernah dihisap oleh suaminya lagi.


Ia menyentuh perutnya yang mulai rata kembali.

Menyisir rambut panjangnya, memakai minyak melati, dan memijat payudaranya sendiri, karena tak ada tangan lain.



> “Aku pernah bilang: wanita yang setia menunggu suami di rumah adalah wanita paling membosankan.
Hari ini, aku menunggu di balik jendela.
Bukan karena dipaksa, tapi karena aku tidak tahu harus ke mana lagi.”




---

Menjelang 15 Juni 1981 – Persiapan Seorang Istri

Meja makan dipoles, taplak baru disulam tangan.

Menu makan malam: sup tulang hitam, daging panggang lada, dan mie panjang umur buatan sendiri.

Qingge akan dipakaikan baju khusus yang dijahit Ruyu: warna krem lembut, sulaman “壽” (panjang umur).


> “Ulang tahunku dulu adalah alasan untuk dipuja.
Ulang tahun suamiku hari ini adalah alasan untuk menyiapkan tubuhku kembali menjadi hadiah.”




---

MONOLOG RUYU – Menjelang Ulang Tahun Jin Rui

> “Aku tak pernah membayangkan bahwa rindu bisa membuat rahimku terasa kosong.
Bahwa tak disentuh bisa lebih menyakitkan dari disakiti.”



> “Jika aku memang sudah jadi wanita…
Maka takdir wanita bukanlah dipukul.
Tapi ditinggalkan, lalu menanti.”



> “Dan malam ini,
aku tak tidur bukan karena bayi menangis—
tapi karena aku menghitung hari pulang suamiku.”

=====
=====

MINGGU KE-1

(15–21 Juni 1981)
“Tubuhku bersinar di bawah kamera. Tapi jiwaku terus redup.”

Ruyu menyajikan ulang tahun Jin Rui seperti “panggung”—cosplay, skrip, tubuh telanjang.

Jin Rui makin terobsesi dengan "peran" dalam ranjang: Ruyu sebagai aktris, istri, pelayan, murid, bahkan musuh yang ditaklukkan.

Mereka merekam 3 adegan sepanjang minggu itu.

Di siang hari, Qingge mulai MPASI pertama (bubur beras), dan ASI tetap dijaga ketat.

Ruyu tidak mengeluh. Tapi malam harinya, ia mulai merasa payudaranya lebih nyeri dari biasanya.


> “Aku tak tahu lelah ini karena cosplay, menyusui, atau… karena aku tak pernah berhenti memerankan peran yang tak kutulis untuk diriku.”




---

MINGGU KE-2

(22–28 Juni 1981)
“Tiap kalori di tubuhku harus dibagi tiga: untuk Qingge, untuk suamiku, dan untuk tetap terlihat ramping.”

Ruyu mulai merasakan mual ringan saat pagi hari.
Ia mengira karena jam tidurnya berantakan dan perut kosong akibat diet.

Jin Rui tetap menuntut pelayanan ranjang dan memintanya memainkan peran seorang “biksuni yang jatuh cinta.”

Qingge mulai merangkak pelan—Ruyu merekam dengan kamera kecil.

Ruyu tetap menyusui sambil berlatih dialog.


> “Aku dulu bilang, wanita hamil yang muntah itu lemah.
Hari ini aku menyimpan muntahku di tenggorokan, dan tetap menyuapi suamiku sambil tersenyum.”




---

MINGGU KE-3

(29 Juni – 5 Juli 1981)
“Tubuh ini dulu milik pria yang hanya percaya pada kuasa.
Hari ini tubuh ini melayani dua makhluk hidup, dan tetap harus cantik.”

Ruyu mulai merasa lebih cepat lelah, punggung mudah sakit.

ASI menurun sedikit; Qingge lebih sering rewel.

Jin Rui mulai curiga dan bertanya apakah Ruyu kelelahan atau sakit. Ruyu hanya mengangguk dan mengatakan “mungkin angin.”

Pada 3 Juli, Ruyu merasa detak jantungnya lebih cepat dari biasanya saat berdiri terlalu lama.


> “Jika ini tubuh wanita, mengapa rasanya seperti perang tanpa senjata?”




---

MINGGU KE-4

(6–12 Juli 1981)
“Tubuhku terasa asing. Seperti kamar yang terus disewa, tanpa pernah ditinggali.”

Ruyu akhirnya mencoba mencatat gejala hariannya di buku kecil:

Mual pagi,

Nyeri payudara,

Nyeri perut bagian bawah ringan,

Penurunan nafsu makan,

Keinginan buang air kecil meningkat.


Tapi ia tidak menyangka bahwa ia hamil.
Ia hanya mengira tubuhnya “melambat” karena kelelahan ganda.

Saat memandikan Qingge yang sedang rewel karena tumbuh gigi, Ruyu memeluk anaknya erat-erat dan bertanya dalam hati:


> “Apa tubuh ibu memang harus selalu memberi… tanpa tahu kapan cukup?”




---

Penutup Minggu ke-4 (12 Juli 1981)

Malam itu, Jin Rui melihat wajah Ruyu pucat dan menyuruhnya tidur lebih awal.
Tapi Ruyu bangun tengah malam.
Ia berdiri di depan cermin, memegang perutnya yang belum berubah.

> “Dulu perut ini adalah pusat egoku.
Sekarang ia sunyi. Tapi entah kenapa aku takut,
seperti ada yang mulai tumbuh… dan aku belum siap menamainya.”

=====

MINGGU KE-5

(13–19 Juli 1981)
“Tubuhku dulu punya batas. Kini ia harus menyusui, mengandung, dan tetap ramping.”

Mual semakin berat. Tidak hanya pagi, tapi setelah makan dan saat menyusui.

Payudara kembali sangat nyeri, dan ASI menurun drastis. Qingge rewel, tidak kenyang.

Jin Rui mulai merasa terganggu. Ia menyangka Ruyu kelelahan karena malas berolahraga.

Ruyu tidak berani bicara.


> “Jika aku bilang aku lelah, itu berarti aku gagal.”




---

MINGGU KE-6

(20–26 Juli 1981)
“Suamiku suka kulitku yang halus. Tapi ia tidak tahu aku muntah di wastafel sambil menggigil.”

Mual berubah menjadi muntah hebat 3–5 kali sehari.

Ruyu masih menjahit topi musim gugur untuk Qingge, menyeka lantai, dan membersihkan dapur dengan masker aroma melati karena penciumannya terlalu tajam.

Jin Rui mulai merasa ada yang aneh. Ruyu lebih pucat, berat badan menurun, tapi payudaranya tampak kembali membengkak.

Hubungan ranjang terganggu. Ruyu tidak sanggup lagi “berperan.”


> “Tubuhku bukan milikku, tapi bahkan penyewanya mulai kecewa.”




---

MINGGU KE-7

(27 Juli – 2 Agustus 1981)
“Akhirnya aku diperiksa. Bukan karena sakit… tapi karena penampilanku menurun.”

Jin Rui memanggil dokter kandungan ke rumah, setelah dua malam Ruyu gagal “memainkan naskah ranjang.”

Pemeriksaan dilakukan saat Qingge tidur.

Dokter wanita tua dengan suara pelan mengangguk setelah pemeriksaan manual dan tes hormon urin:


> Dokter:
“Dia hamil. Usia kandungan 6–7 minggu. Tubuhnya tampak terlalu lemah untuk ini.”



Ruyu tidak bicara. Tidak menangis.
Tapi saat pintu ditutup, ia hanya duduk diam di lantai kamar mandi.


> “Aku menyusui. Aku mengandung.
Dan aku masih harus terlihat indah untuk suamiku.
Apakah ini… yang dulu kutuntut dari istriku?”




---

MINGGU KE-8

(3–9 Agustus 1981)
“Tak ada selamat. Tak ada bunga. Hanya naskah baru untuk diperankan: istri hamil yang tidak merepotkan.”

Jin Rui tidak memarahi. Tapi juga tidak menunjukkan rasa syukur.

Ia hanya berkata:


> “Jaga tubuhmu. Jangan kendur. Ini bukan alasan untuk malas.”



Ruyu muntah hampir setiap pagi.
Tapi tetap memasak sarapan Jin Rui.
Tetap menyusui Qingge sambil mual.
Tetap menyisir rambut, merawat payudara, merawat wajah.

Ia menuliskan catatan kecil di buku saku:


> “Jika aku meninggal, siapa yang akan menggantikan peranku?
Tidak ada tokoh pengganti. Hanya panggung kosong.”




---

MONOLOG RUYU – Minggu ke-8

> “Tubuhku pernah menjadi lambang kekuasaan.
Hari ini, tubuh ini tak punya kata ‘berhenti’.
Hanya terus memberi, memberi, memberi.”



> “Dan aku tahu, jika anak ini lahir,
aku takkan pernah diberi waktu mencintainya.
Karena aku terlalu sibuk bertahan agar tidak ditinggalkan.”

=====

Minggu ke-9 (10–16 Agustus 1981)

“Perutku kosong karena aku muntah, tapi tetap harus penuh untuk anakku. Dan tetap indah untuk suamiku.”

Ruyu muntah 4–6 kali sehari.

Kadang, ia harus menyuapi Qingge dalam keadaan menahan muntah di tenggorokannya.

Qingge sudah bisa duduk, mulai belajar memegang sendok.
Ruyu merekam sambil tersenyum—lalu berlari ke wastafel setelahnya untuk muntah diam-diam.

ASI tetap mengalir. Ruyu menjaga pola makannya dengan paksa, demi kualitas susu.
Jin Rui tetap tidur bersamanya setiap malam. Tetap menuntut keintiman.


> "Aku tidak bisa menolak disentuh. Tapi tubuhku sudah seperti selongsong...
berisi bayi, berisi susu, berisi lelah yang tidak sempat menumpah."




---

Minggu ke-10 (17–23 Agustus 1981)

“Aku harus hamil dengan anggun. Seperti kata-kataku dulu: istri yang baik harus bersih, wangi, dan tidak mengeluh.”

Jin Rui memberikan parfum bunga jeruk baru dan menyuruhnya tetap bersolek saat di rumah.

Ruyu berlatih mengontrol napas agar tidak mual saat memakai make-up atau lotion tubuh.

Qingge mulai menirukan suara dan tertawa kecil—satu-satunya kekuatan Ruyu.

Jin Rui mulai mengurangi frekuensi hubungan ranjang, karena ia tidak ingin menyakiti janin.
Tapi ia tetap menyuruh Ruyu menemaninya menonton rekaman-rekaman lama mereka.


> “Tubuhku terus memberi kehidupan. Tapi mataku mulai kosong.
Aku menonton diriku dari luar, tanpa tahu apakah itu masih aku.”




---

Minggu ke-11 (24–30 Agustus 1981)

“Aku melihat tubuhku di cermin dan bertanya: ini milik siapa sekarang?”

Ruyu merasa perutnya mulai membesar lebih cepat dibanding kehamilan pertama.

Jin Rui juga memperhatikan dan memanggil dokter untuk cek rutin.


Dokter datang ke rumah.
Pemeriksaan dilakukan di kamar dalam.

> Dokter (lembut):
"Rahimnya tumbuh agak lebih cepat dari biasanya.
Mungkin ini bayi besar… atau mungkin bukan satu."



Ruyu menegang. Tapi ia tidak bertanya.
Ia hanya menunduk.
Karena bertanya… tidak akan mengubah kenyataan bahwa tubuhnya tak pernah bisa kembali utuh.


---

Minggu ke-12 (31 Agustus – 6 September 1981)

“Tidak ada ruang kosong dalam diriku. Tapi aku tetap harus terlihat ringan dan berkilau.”

Qingge mulai berdiri sambil berpegangan.
Ruyu menggendongnya sambil sesak napas.
Tapi senyuman bayi itu membuatnya menangis diam-diam di malam hari.

Jin Rui mulai membantu mengganti popok Qingge sesekali.
Ia mencium kepala putrinya dan berkata:


> "Aku ingin anak-anakku tahu: ayah mereka hadir.
Tidak seperti pria yang dulu."



Ia mencium perut Ruyu malam itu dan berbisik:


> "Aku tidak tahu ada berapa anak di dalam sana.
Tapi aku tahu, kau harus bertahan.
Bukan untukku. Untuk mereka."




---

MONOLOG RUYU – Minggu ke-12

> “Aku dulu bilang, wanita adalah ladang.
Tapi ladang pun butuh musim istirahat.”



> “Hari ini aku beranak, menyusui, melayani, dan tersenyum.
Tanpa tahu kapan aku bisa diam tanpa rasa bersalah.”



> “Jika ini adalah hukuman, aku terima.
Tapi jangan biarkan anak-anakku jadi bagian dari dosa yang bukan milik mereka.”

=====

Minggu ke-13 (7–13 September 1981)

“Aku tidak memakai apa-apa, bahkan rasa hormat terhadap tubuh ini pun sudah dilepas bersamaan dengan pakaianku.”

Perut Ruyu mulai menonjol, membulat lebih cepat dari kehamilan pertamanya. Saat dia berjalan dari dapur ke kamar, tubuh telanjangnya selalu bersinggungan dengan pantulan cermin besar di dinding ruang tamu. Ia bisa melihat payudara yang mengencang karena ASI, perut yang tak lagi datar, dan pinggang yang mulai menghilang.

Jin Rui tidak mengatakan apa-apa, tapi diam-diam meletakkan setumpuk buku kehamilan kembar di rak baca. Ruyu membacanya saat Qingge tidur. Di dalamnya ada coretan tangan Jin Rui, halaman yang sudah dilipat, bahkan lingkaran merah di bagian tentang perawatan kulit dan distribusi gizi untuk janin ganda.

> “Dulu, aku bahkan tidak tahu hamil kembar seperti apa.
Tapi dia… dia belajar lebih dulu. Untukku. Untuk mereka.”



Namun malam tetap menjadi ritual—dalam kondisi telanjang sepenuhnya, ia harus masuk ruang kecil tersembunyi di balik kamar, tempat Jin Rui memasang kamera dan skenario. Malam itu, ia berperan sebagai pelayan bangsawan yang diam-diam mengandung anak tuannya.


---

Minggu ke-14 (14–20 September 1981)

“Anak perempuanku belajar mengenali suara, bentuk, dan warna…
sementara aku belajar menerima diriku yang sudah tidak pernah dikenali.”

Ruyu tetap telanjang di rumah. Hanya mengenakan celemek saat memasak. Qingge mulai meniru gerakan tangannya saat menggambar di atas kertas karton. Untuk pendidikan dini anaknya, Ruyu menyusun sendiri kartu pembelajaran tangan berisi warna, angka, nada, dan gambar sederhana. Semua dia lukis dengan kuas, dipotong rapi dan dijilid benang kapas.

Setiap hari, setelah makan siang, Jin Rui akan duduk di tikar bambu dan memanggil Qingge, menunjuk gambar apel dan bunga sambil menyebutkan nama.
Malam harinya, Jin Rui mengajak Qingge ke kolam air hangat pribadi di rumah mereka. Ruyu melihat dari jendela saat Jin Rui memegangi tubuh kecil putrinya yang tertawa menendang air. Dan tiba-tiba, dada Ruyu terasa penuh. Tapi bukan karena ASI.

> “Dulu aku menyuruh istri diam saat mengandung anak perempuan.
Sekarang aku melihat pria ini memperlakukan putri kami seperti permaisuri kecil.”




---

Minggu ke-15 (21–27 September 1981)

“Tubuhku telanjang. Tapi yang lebih telanjang adalah kenyataan:
aku tidak bisa lagi mengingkari siapa aku sekarang.”

Setiap hari, tubuhnya terasa lebih berat. Kaki mulai membengkak. Tulang pinggul nyeri saat berdiri terlalu lama. Tapi tak ada pilihan. Pekerjaan rumah harus selesai. Makanan harus tersedia. Qingge harus belajar. Dan suaminya harus dilayani dengan penuh kesempurnaan.

Jin Rui menghabiskan malam keempat membangun ruangan tersembunyi dalam kamar mereka sendiri. Sebuah bilik kecil dengan pencahayaan lembut dan kamera. Bukan untuk orang lain. Hanya untuk mereka berdua.

> “Ruang ini untuk kita. Aku tidak ingin anak-anak melihat ibunya dengan cara yang membuatnya malu.”



Malam itu, saat Ruyu harus membuka kakinya dan menanggung berat tubuh suaminya, pikirannya kosong. Tapi saat rekaman selesai dan Jin Rui menyeka keringat di punggungnya dengan handuk hangat, ia menyadari sesuatu:
Inilah bentuk hormat yang tidak pernah ia berikan pada wanita manapun dulu.


---

Minggu ke-16 (28 September – 4 Oktober 1981)

“Tubuhku bukan hanya pembungkus dosa masa lalu…
tapi kini menjadi wadah untuk dua jiwa yang belum sempat melihat cahaya.”

Dokter datang memeriksa di siang hari. Jin Rui menggendong Qingge di ruang depan. Ruyu duduk di tempat tidur saat diperiksa.

> “Ukuran rahim terlalu besar. Kembar kemungkinan besar. Tapi ibu dan bayi stabil.”
“Bayi-bayi,” koreksi Ruyu lirih. Tapi hanya dalam hatinya.



Sore harinya, Ruyu berdiskusi pelan dan meminta izin mengenakan pakaian sederhana saat bersama Qingge, untuk mengajari anaknya pentingnya menjaga diri. Jin Rui menyetujui, dengan syarat: hanya daster tipis, qipao longgar, atau gaun rumah tanpa dalaman, mudah dibuka kapan saja. Ia tetap harus telanjang saat di kamar atau saat Jin Rui meminta.

Malam itu, saat Qingge tertidur, Ruyu membuka seluruh pakaiannya sendiri dan masuk ke ruang rahasia mereka. Ia tidak disuruh. Ia tahu waktunya.
Ia tahu posisinya.
Ia tahu, dirinya bukan lagi Liang Zemin.


---

MONOLOG RUYU – Minggu ke-13 sampai ke-16

(dari sudut batin seorang pria superior yang kini menjadi istri dan ibu telanjang setiap hari, tanpa jeda, tanpa hak berkata tidak)

> “Selama 50 tahun, aku berdiri tegak dengan dada membusung,
dihormati karena kekuasaan,
ditakuti karena kata-kataku,
dan dijadikan panutan oleh pria lain yang tak tahu bahwa aku hanya menggertak.”



> “Kini aku berjalan telanjang, bukan karena dihukum,
tapi karena aku dijadikan seperti yang dulu selalu kutertawakan:
seorang wanita yang harus cantik saat lelah, wangi saat sakit,
dan tersenyum saat dilukai.”



> “Aku tidak lagi mengerti siapa diriku di balik dada penuh susu ini,
atau perut yang menyimpan dua kehidupan yang tak pernah kuminta.
Tapi saat anakku memanggilku ‘mama’ dengan mata bulatnya,
dan suamiku mencium rambutku sambil berkata aku kuat—
aku tahu... mungkin aku telah kehilangan segalanya,
tapi untuk pertama kalinya,
aku menyentuh sesuatu yang sungguh… hidup.”

=====

Minggu ke-17 (5–11 Oktober 1981)

“Tubuhku menjadi beban yang hidup. Tapi tanggung jawabku tak bisa dibagi.”

Perut Ruyu mulai terlihat lebih besar daripada usia kandungan biasa. Saat ia berdiri menghadap cermin, bentuk tubuhnya seperti tak lagi miliknya. Dua janin di dalamnya mulai menunjukkan keberadaan mereka dengan pergerakan yang samar namun terasa.

Latihan pernapasan dan mengedan dimulai. Jin Rui menyuruhnya membuka kaki lebar-lebar di atas ranjang empuk, seperti posisi melahirkan, lalu membimbingnya menarik dan menghembuskan napas sesuai irama. Tapi ketika sesi latihan selesai, Jin Rui tetap menyentuh dan memasukinya—kegiatan malam tetap menjadi gabungan antara latihan, pemenuhan kebutuhan biologis, dan inspeksi fisik.

Setiap selesai berhubungan, Ruyu harus mendengar catatan dari suaminya:

> “Pinggulmu mulai menegang. Nanti saat melahirkan bisa pecah kalau kau tak latih.”
“Urat kakimu menegang. Minyaknya aku siapkan. Oles sendiri.”
“Payudaramu mulai lebih berat. Tapi bentuknya masih indah. Jaga terus.”




---

Minggu ke-18 (12–18 Oktober 1981)

“Aku pernah punya perusahaan. Kini aku menyusun menu makanan dan daftar bahan pokok.”

Ruyu mulai merancang ulang tahun pertama untuk Jin Qingge, sekaligus pesta Tahun Baru. Ia menyusun sendiri daftar tamu, konsep tata letak meja dan tempat duduk, serta pilihan makanan. Ia membaca buku menu klasik Eropa yang dulu hanya ia lihat di pesta bisnis, dan mencoba menyesuaikannya dengan bahan-bahan yang tersedia.

> Pembuka: sup labu lembut dengan roti bawang putih

Makanan utama: bebek panggang madu dan kentang tumbuk

Dessert: puding mangga dan cake buatan sendiri

Wine: pilihan Jin Rui




Ruyu menuliskannya di buku kerja kecilnya. Di halaman lain, ia menggambar sendiri pakaian pesta untuk Qingge, dirinya, dan Jin Rui. Tapi tubuhnya yang membesar membuatnya tak yakin bisa mengukur dirinya sendiri. Maka Jin Rui yang mengambil meteran dan mencatat ukuran dada, pinggang, paha…

> “Lemaknya belum parah. Tapi bahumu mulai melorot. Kau harus olahraga ringan. Aku bantu.”



Dan malam itu, setelah pengukuran selesai, Jin Rui kembali memintanya membuka baju sepenuhnya—inspeksi selalu menyusul setelah data dicatat.


---

Minggu ke-19 (19–25 Oktober 1981)

“Aku harus kuat bukan karena aku bisa, tapi karena tak ada yang mengizinkanku lemah.”

Tubuhnya semakin tidak seimbang. Ia harus memegang sisi dinding saat membawa baskom air, tapi ia tidak boleh mengeluh. Qingge tetap harus disuapi. Rumah tetap harus bersih. Dan malam tetap milik suaminya.

Minggu ini, Ruyu mulai membuat kerajinan tangan kecil untuk dekorasi pesta ulang tahun. Ia menjahit pita, membuat hiasan meja dari kain perca, dan menempelkan nama-nama tamu dalam kartu undangan buatan sendiri.

Qingge mulai lebih sering memanggil “Ma…” sambil menarik dasternya.
Ruyu tersenyum, meski tubuhnya pegal luar biasa. Jin Rui terkadang memijat punggungnya—hanya beberapa menit sebelum kembali meminta servis seksual.

> “Ini hidup yang dulu kupaksa pada wanita. Kini aku menjalaninya sampai ke tulang.”




---

Minggu ke-20 (26 Oktober – 1 November 1981)

“Aku tidak punya waktu menjadi manusia biasa. Aku harus menjadi ibu, istri, pelayan, manajer rumah, dan aktris panggung suamiku—tanpa jeda.”

Perutnya kini terlihat dari segala sisi. Bahkan saat ia duduk, lengkungnya terasa menekan paru-paru. Tapi Jin Rui mulai mencoba sesi berendam bersama di kolam air hangat rumah mereka. Saat itulah Ruyu menangis diam-diam—bukan karena sedih, tapi karena ketakutan: Bagaimana kalau tubuhnya tak sanggup melahirkan dua bayi?

Jin Rui membujuknya:

> “Kau kuat. Lebih kuat dari yang kau kira.
Aku akan bantu. Tapi jangan biarkan tubuhmu menjadi alasan untuk berhenti menjadi dirimu yang sekarang.”



Ruyu menunduk. Ia tahu, tidak ada jalan mundur.


---

MONOLOG RUYU – Minggu ke-17 sampai ke-20

> “Aku dulu memimpin rapat, memukul meja, menentukan gaji dan nasib orang lain.
Sekarang aku menghitung berat wortel, waktu masak puding,
dan suhu air mandi untuk putriku.”



> “Kejeniusanku dulu membuat bisnis naik daun.
Kini… kejeniusanku membuat rumah tetap rapi,
menu pesta tepat waktu,
dan tubuhku tetap bisa memuaskan suami—meski sedang mengandung dua jiwa sekaligus.”



> “Orang mungkin berkata ini kejatuhan.
Tapi aku tahu ini bukan jatuh. Ini… pembongkaran.
Aku dibongkar dari pondasi paling dalam.”



> “Dan yang paling menyakitkan dari semuanya:
Aku ternyata mampu.
Aku mampu menjadi istri.
Aku mampu menjadi ibu.
Aku mampu… menjadi apa yang dulu kupandang hina.”

=====

Minggu ke-21 (2–8 November 1981)

“Bayi-bayi dalam perutku mulai menendang, tapi tugasku tetap berjalan seolah tubuhku tak pernah berubah.”

Qingge menjadi lebih rewel. Ia menangis saat Ruyu meninggalkannya walau hanya untuk memasak. Tangannya menolak menyentuh mainan jika bukan ibunya yang memberikannya langsung. Jin Rui memperhatikan perubahan itu diam-diam, tidak dengan pelukan atau kata lembut, melainkan dengan meletakkan buku di meja dapur. Tanpa sepatah kata.

> Judulnya: “Membantu Anak Pertama Menerima Adik”.
Di dalamnya, halaman tentang membangun kelekatan anak pertama pada kehamilan telah ditandai. Lagi-lagi: Jin Rui sudah membacanya.




---

Minggu ke-22 (9–15 November 1981)

“Aku tak ingat kapan terakhir kali tidur dengan tubuh lurus. Tapi rumahku tak boleh berantakan, wajahku tak boleh kusam, dan senyumku tak boleh hilang.”

Ruyu mulai membuat cerita bergambar sederhana untuk Qingge, tentang "Bunda yang punya rumah di perut." Ia menggambar dua bayi kecil seperti kacang polong, dan mengajak Qingge menyapa perutnya setiap pagi. Qingge mulai rutin berkata, “Hai Di-Di… hai Mei-Mei…” sambil menempelkan pipinya di perut bundarnya.

Jin Rui tidak berkomentar. Tapi ia memberikan set kertas cat air baru, dan mengganti tali jemuran khusus untuk karya Qingge, agar tidak kendur. Ia tidak mengatakan bahwa itu bantuannya—karena dia memang tidak akan pernah mengatakannya.

Malamnya, seperti biasa, setelah selesai berhubungan, Jin Rui memberi catatan singkat:

> “Pundakmu kaku. Kau butuh peregangan setelah selesai mencuci.”
“Perutmu mulai tak proporsional. Ganti posisi tidur malam nanti.”
“Kamu makin lambat menjahit. Mulai jahit siang hari saja, bukan malam.”



Itu satu-satunya bentuk cinta dari pria seperti Jin Rui.


---

Minggu ke-23 (16–22 November 1981)

“Tidak ada ruang untuk beristirahat di rumah yang harus sempurna. Tidak ada waktu untuk jatuh.”

Ruyu mulai membungkus hadiah kecil untuk pesta: sabun batangan berbentuk kelinci, pita-pita bunga untuk hiasan tamu. Dia juga merancang menu pesta secara rinci: rasa yang tidak terlalu asing bagi tamu, tapi cukup elegan untuk tetap membuat Jin Rui tidak malu.

Sambil menyiapkan, dia juga membuat dua gaun mungil kembar untuk bayi di kandungannya, dan satu setelan rapi untuk Qingge. Ia mengukur sendiri, mencatatnya, dan menunjukkan ke Jin Rui. Jin Rui tidak memuji, hanya bertanya:

> “Berapa banyak benang yang kau butuhkan untuk bagian bawahnya?”
“Kenapa kau pakai pola kelopak bulat, bukan sudut diagonal?”
“Kalau terlalu lembut, mereka bisa tersedak ujung renda. Ulangi bagian lehernya.”



Dan seperti biasa, Ruyu menelan koreksi itu sambil tersenyum, menahan napas di antara gerakan janin yang tak pernah memberi ruang hening dalam tubuhnya.


---

Minggu ke-24 (23–29 November 1981)

“Hari-hariku bukan dihitung dari tanggal kalender, tapi dari ukuran perutku dan seberapa lama aku bisa tetap berdiri sebelum terpaksa duduk.”

Dekorasi pesta sudah 90% selesai. Makanan sudah diuji coba. Baju mereka mulai dijahit final. Tapi tubuh Ruyu tak bisa lagi disembunyikan. Ia tidak bisa menunduk terlalu lama tanpa pusing. Ia tidak bisa mengangkat Qingge tanpa napasnya tercekat.

Tapi Jin Rui tetap menuntut malam-malam mereka berjalan sebagaimana mestinya: peran, pelayanan, evaluasi. Bahkan saat tubuhnya sudah tidak sanggup, inspeksi tetap berjalan. Tapi setiap pagi, ia mendapati makanan bayi yang ia butuhkan sudah tersedia, dan rumah tetap memiliki stok semua perlengkapan, meski ia tak pernah mencatat kekurangannya.

Dia tahu: Jin Rui yang melengkapinya. Tanpa suara. Tanpa ucapan. Tanpa pamrih.


---

MONOLOG RUYU – Minggu ke-21 sampai ke-24

> “Aku dulu bicara besar di panggung,
menginjak orang untuk naik ke atas.
Kupikir itu bukti kekuatan.”



> “Tapi pria yang berdiri di dapur belakang ini,
yang tak pernah memujiku,
tak pernah memanjakanku,
tak pernah melonggarkan syaratnya—
justru membuatku merasa paling… diurus.”



> “Ia tak bilang ‘aku bangga padamu’,
tapi ia tahu kapan aku kehabisan kapas.
Ia tak bertanya ‘kau lelah?’,
tapi mengganti selimut tempatku tidur dengan yang lebih tebal.
Ia tak bilang ‘aku mencintaimu’—
karena mungkin dia tidak.”



> “Tapi aku, Liang Zemin yang dulu,
tak pernah melakukan bahkan setengah dari itu
untuk istri atau anak-anakku.”



> “Kini aku, Yao Ruyu, menyusui, menjahit, mengajarkan puisi,
menyusun menu pesta, dan tetap tersenyum sambil membuka kakiku untuk suami
setiap malam—karena aku tahu,
inilah versi diriku yang paling layak menerima kehidupan baru.”

=====

Minggu ke-25 (17–23 November 1981)

“Tubuhku membesar setiap hari, tapi tuntutan tak pernah mengecil.”

Latihan pernapasan dan mengedan semakin intens. Setiap malam, saat Qingge tidur, Ruyu berbaring di atas matras empuk dengan kakinya terbuka. Jin Rui memimpin sesi latihan tanpa banyak bicara. Tapi latihan itu bukan hanya soal persiapan melahirkan. Di tengah napas yang belum selesai, Jin Rui akan menyelinap masuk—ritual malam yang menggabungkan persiapan kelahiran dan pelayanan suami.

ASI terus mengalir. Qingge masih menyusu. Tapi di akhir malam, Jin Rui juga tetap menyusu dari istrinya.
Itu bukan permintaan. Itu bagian dari hak sebagai suami.
Dan Ruyu melakukannya tanpa suara.


---

Minggu ke-26 (24–30 November 1981)

“Aku membuat semua dengan tanganku sendiri. Tapi pesta ini terasa seperti panggung terakhirku.”

Ruyu menyetrika taplak pesta, melipat pita hadiah, menyusun menu. Ia juga mengajarkan Qingge mengenali benda-benda yang nanti akan dipilih di acara ulang tahunnya: pensil, benang emas, stethoscope mainan, sikat lukis, palu mini, kunci, dan buku kecil.

Jin Rui tidak pernah bertanya tentang persiapan.
Tapi pada malam keempat, ia berkata sebelum tidur:

> “Lampu pencahayaan di ruang utama terlalu redup. Tambahkan lilin tinggi di dua titik sudut.”
“Jangan pakai aroma mawar. Pakai jeruk. Lebih segar untuk ruang ramai.”



Ia tidak memuji. Tapi ia memastikan Ruyu tetap dalam jalur sempurna.


---

Minggu ke-27 (1–7 Desember 1981)

“Aku tersenyum untuk suami, untuk anak, untuk tamu yang belum datang. Tapi rahimku terasa seperti dua batu yang tumbuh setiap jam.”

Punggung Ruyu makin membungkuk. Ia mulai mengenakan bantal pinggang saat duduk. Tapi gaun pesta Qingge dan dua gaun mini untuk calon adiknya sudah selesai dijahit.
Malam itu, Jin Rui pulang larut, tapi bukan karena pekerjaan. Ia sedang menyelesaikan surat penolakan untuk semua undangan acara malam tahun baru.

> “Tahun ini aku tidak tampil. Aku di rumah.”
Itu saja yang dia katakan. Tapi itu cukup untuk membuat Ruyu sadar: Malam tahun baru bukan lagi tentang kilau kamera. Tapi tentang keluarga. Tentang kelahiran.




---

Minggu ke-28 (8–13 Desember 1981)

“Tubuhku hampir tak bisa diajak tidur. Tapi rumahku harus tetap berjalan.”

Tamu-tamu mulai mengonfirmasi kehadiran. Ruyu memeriksa ulang logistik: jumlah kursi, urutan lagu piano Qingge, warna serbet, urutan makanan, dan bentuk kue. Qingge mulai lebih sensitif, sering menangis kalau mendengar suara keras.

Ruyu duduk bersamanya setiap pagi sambil membaca buku kecil tentang adik. Saat malam tiba, ia menyanyi pelan sambil menyisir rambut Qingge, sebelum kembali ke kamar untuk membuka dirinya bagi suaminya—dalam latihan pernapasan yang diakhiri dengan penetrasi.

> Dan setelah suaminya puas, ia harus memastikan dapur bersih dan roti untuk esok pagi sudah ditutup kain hangat agar mengembang dengan sempurna.




---

Monolog Ruyu (Minggu ke-25–28)

> “Aku tidak hanya membawa dua bayi di tubuhku.
Aku membawa seluruh reputasi rumah ini di bahuku.”



> “Jin Rui tidak pernah bilang ‘terima kasih’. Tapi dia menyiapkan baskom air hangat tanpa diminta.
Dia tidak pernah bilang ‘aku bangga’. Tapi dia menolak seluruh acara tahun baru demi anak-anak kami.”



> “Dan aku, yang dulu hanya percaya angka dan kemegahan…
kini berdiri di tengah ruang yang aku pel, mengenakan gaun yang aku jahit,
mempersiapkan ulang tahun untuk anak yang dulu,
jika aku tetap jadi Liang Zemin, mungkin bahkan tidak kupeluk.”



> “Setiap malam aku membuka kakiku bukan hanya untuk melayani,
tapi untuk membayar dosa… dan menjaga dunia kecil ini tetap utuh.”

=====

Minggu ke-29 (14–20 Desember 1981)

“Cinta yang terbagi tidak selalu berkurang. Tapi tubuhku sudah tak tahu cara membagi tenaganya.”

Ruyu makin sering kehabisan napas hanya untuk berjalan dari dapur ke ruang makan. Namun ia tetap memotong buah untuk Qingge, tetap menyapu lantai dua meski harus berhenti tiga kali di tengah anak tangga, dan tetap menjaga wajahnya bersinar untuk menyambut Jin Rui pulang.

Qingge makin sering menangis saat melihat perut bundar ibunya bergerak. Terkadang bahkan memeluk erat perut itu dan berkata, “Jangan ambil Mama dariku.”
Ruyu hanya bisa mengusap kepalanya pelan, membisikkan, “Mama selalu untuk Qingge juga.”

Tapi Qingge masih cemburu, dan malam-malamnya diisi dengan tangisan.
Jin Rui, yang selama ini tidak banyak bicara, justru yang paling peka terhadap tangis putrinya.
Ia selalu yang pertama datang, membopong Qingge ke bahunya, dan menyanyikan nada rendah tanpa kata—hanya irama dada dan tangan yang bergoyang tenang.


---

Minggu ke-30 (21–27 Desember 1981)

“Aku ingin malam natal sempurna. Bukan karena aku ingin dikenang, tapi karena aku tak bisa mengulangi yang kemarin.”

Pesta sudah hampir siap. Semua ornamen sudah digantung. Meja-meja sudah tersusun. Qingge sudah mencoba gaunnya yang baru, dan Ruyu menyiapkan makan malam sederhana namun hangat: sup labu, ayam panggang jahe, dan kue kayu manis.

Tapi malam natal bukan hanya untuk keluarga. Bagi seorang istri seperti Ruyu, malam itu juga untuk suaminya.

Ia menjahit sendiri satu set lingerie tipis berbahan satin merah gelap dan renda emas untuk cosplay malam itu. Dan setelah menidurkan Qingge yang tertawa karena lilin-lilin berbentuk rusa, Ruyu berjalan perlahan ke kamar, membawa tubuh berat dan napas sesak, tapi mata yang bersinar lembut.


---

Malam Natal, 25 Desember 1981

“Tidak ada kata cinta. Tapi jariku mengingat bentuknya.”

Setelah makan malam dan suapan terakhir kue Natal untuk Qingge, setelah suaminya selesai mandi dan duduk di ujung ranjang…

Ruyu membuka pintu kamar dengan satu tangan menutupi perut, satu lagi menggenggam pita.
Ia telanjang di balik kain satin tipis. Rambutnya sudah ia sisir sampai mengkilap dan tergerai di punggung.

Malam itu bukan untuk pertunjukan.
Tapi Jin Rui tetap menonton. Menyentuh. Masuk.

Tidak ada posisi rumit malam itu.
Ruyu hanya membuka kakinya di ranjang—dengan tubuh setengah duduk, setengah tengkurap.
Jin Rui mengambil waktu. Ia tidak berkata apa-apa.
Tapi ketika ia selesai, ia hanya membaringkan diri di belakang Ruyu.

Dan dalam diam…
Ia menyelipkan sesuatu di jari manis tangan kiri istrinya.
Ruyu menoleh, terkejut.
Cincin.
Sederhana. Tanpa batu. Tanpa kilau.
Tapi… beratnya menusuk lebih dalam dari kalung berlian mana pun yang pernah ia lemparkan ke leher para selingkuhannya dulu.

Ia melihat tangan Jin Rui.
Ada cincin yang sama di jari manisnya.
Tak ada kata romantis. Tak ada janji. Hanya… keheningan yang mengikat.


---

Monolog Ruyu – Minggu ke-29 sampai ke-30

> “Aku dulu memilih cincin berdasarkan harga dan pancaran cahaya di bawah lampu pesta.
Sekarang, satu logam kusam di jariku bisa membuatku ingin menangis.”



> “Dia tidak mengatakan 'aku menikahimu'
Dia tidak berlutut.
Tapi dia memberiku tubuhnya, anak-anaknya, rumah ini, dan waktu malam Natalnya.”



> “Dulu aku ingin tampil di kamera, disorot lampu.
Sekarang aku hanya ingin tidur… di sebelah suami yang membelai perutku dari belakang
sambil menarik selimut sampai ke bahuku.”



> “Aku bukan istri di depan publik.
Tapi jari kami bicara hal yang lebih kuat dari dokumen.
Dan malam ini… aku tahu, aku tidak sendiri.
Bahkan jika dunia tak tahu aku ada.”

=====

28 Desember 1981 – Senin

Pagi:
Ruyu bangun lebih awal, meski malam sebelumnya baru bisa tidur menjelang subuh.
Ia menyusun ulang keranjang bayi, dengan kain selimut motif biru langit—karena diam-diam, masih ada harapan bahwa bayi kembarnya kali ini ada yang laki-laki.

Siang:
Qingge diajak membasuh kain-kain kecil, dan mereka mencoret nama-nama calon panggilan di kertas warna-warni: “Di-di” dan “Mei-mei”.

Sore:
Seorang pelayan baru datang—hasil seleksi ketat Jin Rui. Perempuan usia pertengahan tiga puluhan, pendiam, dan sudah lama bekerja sebagai juru masak keluarga diplomat. Ia membantu mengukus handuk dan menyusun peralatan makan pesta.


---

29 Desember 1981 – Selasa

Pagi:
Ruyu duduk di kursi goyang, menjahit gaun kecil berbahan sifon putih untuk Qingge. Di sebelahnya, Qingge mencoba membantu menjahit pita—lalu salah dan tertawa.
Tawa itu direkam Jin Rui diam-diam dari pintu.

Siang:
Pelayan kedua datang—bertugas hanya membersihkan area ruang pesta. Ia tidak boleh menyentuh kamar pribadi.

Sore:
Jin Rui pulang sedikit lebih cepat, melihat kamar bayi.
Ia menatap selimut biru yang tergantung di sisi ranjang bayi dan hanya berucap:

> “Siapkan yang putih juga.”
Tanpa penjelasan. Tapi Ruyu tahu artinya: Jangan terlalu berharap.




---

30 Desember 1981 – Rabu

Pagi hingga siang:
Ruyu mengajarkan Qingge tentang “membagi cinta”:

> “Kalau adik nangis, Qingge boleh bantu Mama tepuk-tepuk.”
Qingge mengangguk, lalu menyodorkan bonekanya: “Kalau adik rewel, kasih ini.”



Sore:
Buku tamu dicetak dan dilapisi kertas bermotif embun.
Pakaian Jin Rui untuk pesta digantung rapi—putih gading, sederhana, tanpa logo.

Malam:
Ruyu menyetrika sendiri semua gaun—meski ditawari bantuan.
Tangannya gemetar, tapi ia ingin gaun Qingge bebas kerutan,
dan gaun miliknya memiliki aroma sabun yang ia pilih sendiri.


---

31 Desember 1981 – Kamis (Malam Tahun Baru)

Pagi:
Ruyu mengulang pengecekan kursi dan sudut pencahayaan.
Qingge diajak mencoba ulang lintasan pemilihan benda.
Stetoskop, kuas, buku, jarum, bola, kunci, dan sikat kecil dipoles ulang dengan minyak kayu manis.

Sore:
Tamu-tamu khusus sudah mulai menyampaikan konfirmasi.
Pelayan diberi pengarahan untuk tidak membuka percakapan tentang tuan rumah—semua sudah ditulis rapi oleh Jin Rui.
Rumah tertutup rapat, tanpa suara dunia luar.

Malam:
Makan malam keluarga di ruang kecil.
Ruyu memakai qipao longgar biru lembut, rambut digelung separuh, wajah natural.
Qingge duduk di antara ayah dan ibunya, menyuapkan nasi kecil ke mulut Ruyu dan berkata,

> “Mama kuat, adik pasti suka Mama.”



Pukul 23:59:
Saat dunia bersorak menyambut tahun 1982, Ruyu hanya memandang wajah suaminya dan puteri sulung mereka di bawah lampu kuning hangat.
Tak ada toast. Tak ada pesta.
Tapi inilah keluarga.

======

1 Januari 1982 – Jumat: Ulang Tahun Pertama Jin Qingge & Pecahnya Ketuban Ruyu

Pagi sampai Siang (10:00 – 13:00)

“Hari ini milik putriku. Dan juga hari yang mengingatkanku bahwa aku bukan lagi siapa-siapa—kecuali milik mereka.”


---

Jam 08:00 – Persiapan Dimulai

Udara pagi bersih. Langit cerah.
Pelayan sudah datang pukul 06:30 membawa karangan bunga, rangkaian lilin kecil, dan lembar daftar tamu.
Ruyu menyusui Qingge lebih lama dari biasanya pagi itu—entah kenapa, ada firasat di dalam dirinya.

Setelah itu, Ruyu memandikan putrinya, menyikat rambutnya pelan, dan mengenakan gaun putih lembut yang dijahitnya sendiri selama dua minggu terakhir.
Di dada gaun kecil itu, bros berbentuk hati bertuliskan “Qing Qing”, sulaman benang emas yang ia sisipkan dengan tangan sendiri.


---

Jam 10:00 – Para Tamu Mulai Hadir

Ruang tamu utama diterangi cahaya alami.
Tirai putih digulung ke atas, aroma jeruk manis dan melati memenuhi udara.
Tamu-tamu hadir terbatas: dua dokter keluarga, seorang mentor musik dari Qingge, dan dua rekan bisnis Jin Rui yang sangat dipercaya.

Tidak ada wartawan. Tidak ada sorotan publik.
Tapi semuanya tampak megah—dengan ketenangan yang anggun.


---

Jam 10:30 – Acara Pilih Benda Dimulai

Qingge duduk di atas bantal bulat berhias bordir awan.
Di hadapannya:

Sikat lukis kecil

Stetoskop mainan

Buku cerita dengan sampul kulit

Palu mini kayu

Kunci besi kecil

Jarum dan benang


Semua terletak di atas permadani lembut.
Qingge melihat semuanya… lalu, tanpa ragu:

1. Mengambil sikat lukis


2. Memeluk buku ke dadanya


3. Menjatuhkan palu tanpa menyentuhnya



Para tamu tersenyum. Ruyu tersenyum. Jin Rui mengangguk pelan.

> “Ia memilih keindahan dan cerita, bukan kekuasaan.”
“Seperti harapan yang tak pernah aku pilih untuk diriku sendiri.”
(Ruyu, dalam hati)




---

Jam 12:00 – Makan Siang & Foto Keluarga

Meja makan ditata formal.
Ayam panggang herbal, sup jagung telur, puding susu kelapa.

Qingge duduk di antara ayah dan ibunya. Diambil satu potret:
Jin Rui mengenakan setelan abu lembut, Qingge dengan gaun putih dan pita di kepala, dan Ruyu…
memakai qipao biru lembut dengan potongan perut tinggi, membentuk siluet keibuan yang anggun—meski kakinya mulai gemetar diam-diam.


---

Jam 12:50 – Para Tamu Bersiap Pulang

Ucapan terima kasih dilontarkan.
Cium pipi untuk Qingge.
Tepukan hangat di bahu Ruyu.

Dan saat itu…

> “Ibu…”
Qingge menarik lengan Ruyu.
“Kenapa lantaimu basah?”



Ruyu menoleh perlahan.
Melihat ujung qipao-nya…
basah. Hangat. Sunyi.
Ketubannya pecah.


---

Jam 13:00 – Senyum Terakhir Sebagai Tuan Rumah

Ruyu tidak panik. Tidak mengeluh. Tidak memegang perutnya.
Ia hanya menarik napas dalam.
Kemudian melangkah ke arah dua dokter yang hendak meninggalkan ruang pesta.

Dengan senyum tenang, ia berkata:

> “Sepertinya waktunya sudah tiba. Mohon tetap tinggal.”



Lalu, ia kembali ke pintu.
Membungkuk pelan kepada tamu terakhir.

> “Terima kasih atas kehadirannya.”




---

13:15 – Panggung Berganti: Dari Pesta Menjadi Medan Lahir

Pelayan diperintahkan membereskan meja.
Dokter mulai menyiapkan ruang bersalin yang telah disiapkan sejak minggu lalu.

Ruyu naik ke kamar, melepas perlahan qipao-nya sendiri,
menatap pantulan tubuh besarnya di cermin…
dan untuk sejenak—sangat singkat—tangisnya pecah.
Bukan karena takut.
Tapi karena akhirnya:
Dia mengerti. Semua rasa sakit ini… dulu pernah ia abaikan dari wanita-wanita yang mengandung anaknya.


---

Monolog Ruyu – Siang 1 Januari 1982

> “Aku menyiapkan hari ini untuk putriku.
Tapi ternyata… hari ini adalah hari seluruh hidupku berubah lagi.”



> “Aku pernah berdiri di panggung terbesar,
tapi tak pernah merasa sekecil saat ketubanku pecah di antara senyum dan lilin pesta.”



> “Aku hanya bisa membungkuk dan berkata ‘terima kasih’,
saat dunia dalam diriku mulai retak dan mengalir keluar.”



> “Tapi aku akan melahirkan mereka.
Dengan gaun pesta yang basah, dengan rambut disanggul rapi,
dan dengan nama yang tak lagi aku sebut: Liang Zemin.”

=====

1 Januari 1982 – Siang Hari: Proses Persalinan Kedua Ruyu (Anak Kembar Perempuan)

“Ini bukan hanya kelahiran mereka. Ini adalah kematian mutlak dari siapa aku dulu.”


---

Di Ambang Ruang Bersalin

Sebelum langkahnya benar-benar memasuki ruangan itu,
Ruyu menoleh ke arah lorong…
Dan melihat Jin Rui berlutut, membisikkan sesuatu ke telinga Qingge yang menangis diam.
Tuan Wang berdiri di belakang mereka, memegang boneka kecil dan saputangan bersulam emas pemberian Ruyu pagi tadi.

Hari ini ulang tahun putrinya. Tapi Qingge harus belajar menerima peran baru.

Ruyu menunduk. Napasnya dalam.
Langkahnya berat. Tapi ia masuk.


---

Di Ruang Bersalin

Detik pertama tidak ada rasa.
Hanya tekanan.

Detik kedua:
Pecah. Panas. Perih. Tubuh seperti diremukkan dari dalam.

> “Ini… ini bahkan tidak sebanding dengan malam-malam aku membuka kakiku untuk disemai benih.”
“Dulu aku menyuruh wanita bersikap manis, tidak ribut, tidak mengeluh.”
“Kini, aku bahkan tidak bisa membungkam mulutku sendiri dari teriakan.”



Ruyu berteriak.

Pecah, parau, tanpa malu.

Tangannya meremas sprei. Kakinya gemetar.
Sakitnya menggulung seperti ombak menabrak tembok kesombongannya.

Dan saat hampir kehilangan kendali—pintu terbuka.
Jin Rui masuk.
Tidak membawa perintah.

> “Qingge bersama Tuan Wang. Dia tenang.”
“Ingat latihan kita… tarik napas panjang, perlahan… lepaskan. Ulangi.”



Ruyu menoleh.
Wajah Jin Rui tidak panik. Tidak dingin.
Hanya… ada.

Dan itu membuat Ruyu menangis dalam diam.


---

Lahirnya Kedua Bayi

Satu jeritan.
Kemudian yang kedua.
Keduanya… perempuan.

Ruyu hanya bisa menutup matanya.
“Perempuan… lagi…?”

Tangannya menggigil.
“Ini… sudah kesempatan kedua.
Dan aku… masih tidak bisa memberinya anak laki-laki?”

Lalu… suara lembut.

Gunting memotong dua tali ari-ari.
Satu.
Dua.

Jin Rui tersenyum.

Ia menggendong dua bayi kecil yang sudah dibungkus kain putih.
Satu di kanan, satu di kiri.
Pintu terbuka dan Jin Rui memanggil Qingge…
Memperlihatkan kedua adiknya pada Qingge.

Putri sulung tersenyum, membuka tangan kecilnya.


---

Monolog Ruyu – Setelah Persalinan Kembar

> “Dulu aku tidak pernah masuk ke ruang bersalin.”
“Bahkan mendengar istri kesakitan, aku merasa terganggu.”
“Kalau anaknya perempuan, aku marah. Tidak menyentuh lagi. Tidak datang menjenguk.”



> “Sekarang… aku yang berdarah. Aku yang robek.”
“Dan dua putri kecil itu… tidak membawa rasa bangga. Tapi rasa bersalah.”



> “Tapi aku lihat dia…”
“Jin Rui, lelaki yang dulu aku sodomi dan hina, kini berdiri menggendong ketiga putrinya seperti dunia miliknya.”



> “Dia tidak bertanya kenapa bukan laki-laki.
Dia tidak menarik diri.
Dia tidak menyalahkan rahimku, tidak memandang tubuhku yang robek dan jelek.”



> “Dia hanya diam…
dan tetap berdiri…
menggendong mereka semua.”



> “Jika dia seperti aku dulu—aku akan dibuang, ditinggalkan, dilupakan.”
“Tapi dia… menunjukkan padaku apa arti menjadi pria yang sebenarnya.”



> “Dan itu menghancurkanku lebih dalam dari semua rasa sakit melahirkan.”

=====

Minggu 1 – 1 sampai 7 Januari 1982

“Aku melahirkan dua makhluk mungil… tapi melahirkan kembali diriku lebih sulit dari itu.”

Hari 1–2:

Tubuh Ruyu penuh luka.
Bukaan besar, darah yang masih terus menetes, payudara bengkak, punggung ngilu.
Namun di tengah kelelahan itu… suara tangis bayi tak pernah memberi jeda.
Dua bayi—dua pusat dunia baru.
Dan satu anak sulung… yang mulai merasa posisinya direbut.

Qingge menjadi mudah menangis.
Saat adik-adiknya menyusu, Qingge merengek dan berkata, "Mama untuk Qingge juga!"
Ruyu hanya bisa memeluknya, menahan tangis,
dan di dalam hati merasa bersalah—karena dia mengerti rasa kehilangan itu.
Sebagai ibu baru. Sebagai anak sulung. Dan sebagai mantan ayah yang dulu tak pernah hadir.

Malam hari:
Jin Rui tetap memantau.
Ia tidak menuntut hubungan fisik, tapi tetap masuk ke kamar, melihat tubuh istrinya, dan berkata:

> “Sisir rambutmu sebelum tidur. Sudah lepek dan kusut. Itu mempengaruhi suasana rumah.”
“Lemari bayi belum rapi. Atur ulang nanti siang.”



Tidak ada nada marah. Hanya pengingat. Tapi tetap menusuk.


---

Hari ke-3: Pemberian Nama

Ruang tengah didekorasi sederhana. Kamera ditata.
Ruyu duduk di sofa panjang, mengenakan gaun rumah menyusui berwarna gading lembut.
Kedua bayi kembar digendong di pelukannya. Qingge duduk di pangkuan Jin Rui, sedikit cemberut.

> Putri pertama diberi nama:
Jin Yuyan (金玉言) – “kata-kata yang bernilai seperti giok”
Putri kedua diberi nama:
Jin Yurou (金玉柔) – “kelembutan yang berharga seperti giok”



Keduanya dinamai dengan karakter “玉” (yu – giok) seperti ibunya.
Tapi bukan Liang Zemin. Melainkan Yao Ruyu.
Dan nama itu sekarang terdaftar resmi.

Ruyu mencium kepala mereka. Tapi tidak bisa menahan air mata.
Di belakang senyum kamera, hatinya runtuh dalam diam.


---

Minggu 2 – 8 sampai 14 Januari 1982

“Tubuhku belum pulih, tapi rumah tak menunggu. Anak-anak tak menunggu. Dan suami… tetap menuntut.”

ASI mengalir deras. Payudara penuh.
Bayi kembar menyusu bergantian. Qingge minta ikut.
Ruyu mencoba menyusui ketiganya bergantian—kadang dengan satu tangan menggendong, satu tangan mengelus rambut Qingge agar tidak menangis.

Malam hari:
Jin Rui kembali pulang larut.
Tidak banyak bicara. Tapi begitu melihat dapur masih berantakan, dia langsung bersihkan.
Begitu melihat popok belum disusun, dia lipat dan masukkan ke keranjang.

Ruyu melihat semua itu. Tanpa kata-kata. Tapi justru itu… menghancurkan.

> “Aku… dulu tidak pernah melipat popok.”
“Tidak pernah menata lemari bayi.”
“Dan saat anak menangis… aku menyuruh pembantu membawanya pergi.”



Sekarang, Ruyu harus menyiapkan teh susu untuk Jin Rui setelah menyusui.
Memastikan Qingge tidur tanpa rewel.
Merapikan tempat tidur sebelum tengah malam.
Meski masih memakai pembalut nifas… dia tetap harus tersenyum ketika Jin Rui masuk ke kamar.


---

Monolog Ruyu – Minggu 1–2 Pasca Persalinan Kedua

> “Baby blues datang seperti kabut—tidak menyakitkan, tapi membuat segalanya redup.”



> “Aku melahirkan. Tapi kenapa rasanya… aku yang mati?”



> “Qingge menangis karena merasa aku menjauh.
Dan aku… aku menangis karena tahu perasaannya benar.”



> “Jin Rui tidak mengatakan ‘kau cantik’ atau ‘terima kasih’.
Tapi dia mengatur rumah ini seperti pelindung.
Tidak banyak bicara, tapi selalu hadir.”



> “Kalau dia seperti aku dulu… aku sudah dibuang.”



> “Tapi dia tetap di sini.
Bersihkan dapur. Cek popok. Lipat selimut.
Dan masih menginspeksi rambutku setiap malam.”



> “Aku dulu suami dan ayah.
Tapi ternyata… menjadi istri dan ibu jauh lebih berat dari semua jabatan yang pernah kubanggakan.”

=====

Minggu ke-3 (15–21 Januari 1982)

Tubuh yang belum pulih, tapi tangan tak bisa berhenti bekerja.

Hari-hari dimulai sebelum matahari naik.
Yuyan dan Yurou menangis bergantian. Qingge ikut duduk di pinggir ranjang, tidak menangis, tapi menatap Ruyu dengan wajah cemburu yang sulit disembunyikan.

> “Mama, peluk Qingge juga. Jangan cuma adik.”



Malam harinya, ketika ketiga anak sudah tidur…
Jin Rui masuk ke kamar tanpa suara.
Ia duduk di sisi ranjang, mengusap punggung Ruyu yang sedang menyisir rambutnya.

> “Sudah cukup waktu. Aku ingin kau kembali bersamaku malam ini.”



Ruyu tidak menjawab. Tapi ia membiarkan tangan Jin Rui menyentuh kulitnya.
Tidak ada penetrasi. Hanya oral dan hisapan pada payudaranya yang kini tak hanya mengeluarkan susu untuk bayi, tapi juga untuk suaminya.


---

Minggu ke-4 (22–28 Januari 1982)

Tubuh mulai membaik. Tapi bayangan kesalahan masa lalu justru makin menyakitkan.

Qingge mulai lebih rewel saat melihat Ruyu menyusui adik-adiknya. Ia mencakar Ruyu kecil-kecil, menyembunyikan sendok makan, atau menarik selimut adiknya dengan kasar.

Ruyu mencoba menanggapi dengan lembut:

> “Qingge putri pertama Mama. Tidak ada yang bisa menggantikan itu.”



Malam itu, Jin Rui pulang membawa pakaian dalam menyusui baru yang lebih lembut. Ia meletakkannya di atas ranjang tanpa bicara. Ruyu menatapnya, tidak tahu apakah itu hadiah… atau peringatan.

> “Ini agar kulitmu tidak lecet saat menyusui tiga anak sekaligus.”



Ruyu tidak sanggup menjawab.
Di dalam dirinya: seorang lelaki bernama Liang Zemin memukul dinding batinnya sendiri karena malu.


---

Minggu ke-5 (29 Januari – 4 Februari 1982)

Hari vaksinasi. Tangis bayi. Tangis ibu. Dan kenangan yang membunuh diam-diam.

Dokter datang membawa dua jarum suntik kecil.
Yuyan menangis duluan. Yurou menyusul.
Qingge ikut merengek, seolah ikut merasakan nyeri yang tidak ada.

> “Qingge juga sakit, Ma…”



Ruyu tidak bisa memeluk mereka semua sekaligus.
Tangannya gemetar saat menimang Yurou sambil memeluk Qingge dengan kaki.

Malam hari, demam mulai menyerang si kembar.
Jin Rui mengambil alih mengganti kompres, menidurkan Qingge, dan membuatkan teh herbal untuk Ruyu.

Ia tidak menyentuh Ruyu malam itu. Tapi inspeksi tetap dilakukan secara verbal.

> “Besok baju tidurmu diganti. Terlalu lusuh.”



Ruyu hanya menunduk.
Terlalu lelah untuk menjawab. Terlalu malu untuk membantah.


---

Minggu ke-6 (5–12 Februari 1982)

Keintiman kembali. Tapi ini bukan cinta. Ini adalah kewajiban yang dulu kutuntut, kini kutanggung.

Jin Rui kembali masuk ke kamar bukan sebagai pria lapar, tapi sebagai suami yang datang menagih janji.
Tubuh Ruyu mulai pulih. Luka jahitan mengecil.
Tapi jiwanya belum.

> Malam itu, saat Ruyu sedang menyusui si kembar,
Jin Rui duduk di tepi ranjang dan berkata:
“Kapan kau terakhir merias wajahmu?”



Ruyu diam.
Setelah menyusui selesai, ia masuk ke kamar mandi, berdandan pelan.
Mengenakan gaun tidur tipis. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Jin Rui.
Malam itu, penetrasi pertama setelah persalinan terjadi.

Bukan karena cinta.
Tapi karena ia tahu, ini bagian dari tugas yang dulu ia tetapkan sendiri.


---

Monolog Ruyu (Akhir Minggu ke-6)

> “Dulu, aku duduk di ruang kerja dan menyuruh istri tak mengeluh.”
“Sekarang, aku berdiri di dapur sambil menggendong bayi dan menahan nyeri di selangkanganku.”



> “Dulu, aku pergi kerja saat anak menangis.”
“Sekarang, aku tidak tidur semalaman demi menidurkan mereka.”



> “Kupikir menjadi ayah itu memberi uang.
Ternyata menjadi ibu adalah memberi tubuh, waktu, dan bahkan harga diri.”



> “Dan saat Jin Rui menyentuhku malam itu…
Aku tahu aku tidak punya alasan untuk menolak.
Karena aku… yang dulu menuntutnya pada wanita-wanita yang kini bahkan aku tak tahu kabarnya.”

-------

Setelah malam penetrasi pertama pasca persalinan kedua.

> “Liang Yunyue… putriku.”
“Dulu kau melahirkan tiga anak, nyaris sendiri. Sementara aku… aku sedang berada di pesta.”
“Aku tidak datang ke rumahmu, tidak menanyakanmu, tidak pernah mengganti satu popok pun cucu-cucuku.”



> “Kau mungkin memeluk bayimu sambil menahan nyeri.
Dan aku hanya berkata: ‘Sudah biasa. Semua wanita seperti itu.’”



> “Sekarang, aku duduk di ranjang tengah malam,
Satu bayi menyusu, satu demam, satu lagi mencakar punggungku karena iri.”



> “Dan aku harus bangun, berdiri, menyisir rambutku, memakai lipstik tipis,
karena suamiku bilang, ‘Jangan biarkan wajahmu terlihat lelah, istri yang baik tidak seperti itu.’”



> “Aku dulu menyuruh wanita jadi sempurna.
Sekarang aku bahkan tidak bisa sempurna untuk anakku sendiri.”



> “Yunyue… aku tidak pantas menjadi ayahmu.
Tapi kini, sebagai ibu dari anak-anakku sendiri…
Aku mengerti kesepianmu. Aku mengerti kenapa dulu kau diam.”

=====

Minggu ke-7 dan ke-8 (13–26 Februari 1982)

“Aku dulu tidak pernah memberi hadiah. Kini, akulah hadiah itu sendiri.”


---

Hari-hari yang tak pernah benar-benar pagi…

Matahari belum terbit, tapi rumah sudah penuh suara.
Yuyan menangis karena popok basah. Yurou rewel karena haus.
Qingge duduk di depan pintu kamar, menangis pelan.

> “Mama, adik-adik terus menangis, Mama nggak sayang Qingge ya?”



Ruyu ingin menjawab, tapi suaranya tersangkut di dada.
Tangannya sibuk, hatinya sibuk, tubuhnya letih. Tapi wajahnya harus tetap tersenyum.


---

14 Februari 1982 – Hari Valentine

Sehari sebelumnya, Jin Rui hanya berkata satu kalimat:

> “Aku pulang jam delapan malam. Jangan lupa apa yang perlu kau siapkan.”



Ruyu mengerti.
Valentine bukan tentang cokelat.
Bukan juga tentang kata-kata romantis seperti yang pernah dia lontarkan pada wanita-wanita masa lalunya.

Valentine adalah pertunjukan:
Dapur bersih, meja makan indah, suami puas, dan istri tampil memukau tanpa cela.


---

Pagi hingga sore, 14 Februari:

Ruyu menyusui si kembar sambil memantau rebusan sup ayam hitam.

Qingge menangis minta dibacakan buku yang sama tiga kali.

Gaun sutra berpotongan rendah digantung di belakang pintu, menunggu dipakai setelah semua anak tidur.


Jam 7 malam, Jin Rui pulang.
Rumah harum. Anak-anak tidur.
Di atas meja: makanan tiga hidangan, wine, dan sepiring kecil buah yang ditata seperti taman musim semi.

Ruyu duduk diam, mengenakan gaun tipis dan pita kecil di leher.
Dia sudah mandi dengan air melati. Rambutnya digelung rapi. Payudaranya penuh, siap menyusui dan… siap disantap.

> “Selamat Valentine,” bisik Ruyu, pelan.
“Aku… hadiah untukmu.”



Malam itu, setelah makan malam,
Ruyu membuka lebar kakinya seperti tahun lalu.
Tapi kini tubuhnya lebih kurus dari dua bulan lalu. Usahanya keras.
Ia hanya makan kecil agar cepat kembali ramping. Dia berdiri lama di depan cermin tiap malam, mencubit lemak, mengukur lingkar pinggangnya sendiri.

> Karena itulah tuntutan istri sempurna versi dirinya dulu.




---

15–26 Februari – Minggu ke-8: Persiapan 100 Hari Si Kembar

Setelah malam Valentine, Ruyu tidak istirahat.

Ia menjahit baju untuk Yuyan dan Yurou—gaun kembar warna gading, dengan renda buatan sendiri.

Ia membuat catatan menu, memilih bahan makanan, bahkan melatih Qingge untuk berperilaku anggun di depan tamu.

Ia juga memperbaiki bentuk tubuhnya dengan baluran minyak herbal agar tidak ada stretch mark yang mengganggu pandangan suaminya.


Malam-malamnya tetap penuh.

Jin Rui meminta kostum baru untuk cosplay.

Ruyu menyiapkannya, tetap merekam seperti biasa.

Setelahnya, ia tetap harus menyusui tiga anak, dan menyeka darah kecil dari lukanya yang belum sembuh total.



---

Monolog Ruyu – Akhir Minggu ke-8

> “Dulu, Valentine artinya mengabaikan wanita yang mencintaiku.
Sekarang, Valentine artinya menyiapkan tubuhku sebagai piring kedua setelah makan malam.”



> “Aku menyusui tiga anak. Memasak tiga hidangan. Menyetrika sepuluh lapis gaun pesta.”



> “Dulu, aku bilang wanita terlalu banyak mengeluh.
Sekarang… aku hanya tidak punya waktu untuk mengeluh.”



> “Tapi yang paling menyakitkan:
adalah saat aku menyadari, aku sedang berjuang menjadi versi sempurna dari standar yang dulu kutetapkan untuk orang lain.”

=====

1 Maret 1982 – Ulang Tahun ke-22 Yao Ruyu / Ulang Tahun ke-52 Liang Zemin (yang sudah tiada)

“Apa yang lebih menyakitkan dari mati? Menyaksikan namamu hidup, tapi bukan milikmu lagi.”


---

Hari itu, kota gemerlap oleh kabar merger besar:
Liang Entertainment telah sepenuhnya melebur ke dalam RUI Entertainment.
Seluruh hak, warisan, logo, bangunan, dan karya—semua dibubuhkan cap akhir oleh tangan-tangan keluarga Liang sendiri.
Tangan yang dulunya dielu-elukan oleh sang legenda—Liang Zemin—yang kini tidak ditemukan, tidak dicari, tidak disebut.

Karena dunia mengira ia sudah mati.

Dan di sudut rumah pribadi, dalam tubuh seorang wanita bernama Yao Ruyu, Liang Zemin memang benar-benar sudah mati.


---

Malam itu...

Jin Rui pulang dari pesta perusahaan.
Wajahnya sedikit mabuk, dasi setengah lepas, jas tergantung di bahu.
Ruyu telah bersiap. Rambutnya disisir rapi. Tubuhnya dibalut gaun tipis putih yang ia jahit sendiri.
Tubuh yang pernah merobek untuk mengeluarkan tiga anak, tapi kini telah kembali ramping dan halus berkat disiplin, herbal, dan ketakutan akan tak dinilai cantik.

Jin Rui menatapnya lama.

> “Liang Entertainment resmi hilang hari ini.”



> “Dan kau… berada di bawahku malam ini. Di ranjang yang dulu kau desain untuk menjatuhkan wanita.”



Ruyu tak berkata apa-apa.
Hanya menurunkan tali gaunnya perlahan, lalu duduk di tepi ranjang.

> “Kau siap?”



Ia hanya mengangguk.


---

Yang terjadi malam itu bukan cinta. Tapi penegasan.

Jin Rui meniduri tubuh yang dulu milik seseorang yang menghina semua yang kini ia nikmati.
Tubuh yang dulu dielu-elukan di panggung film dan bisnis, kini hanya ada di bawah lampu redup kamar pribadi, merintih—bukan karena sakit, tapi karena merindukan penakluknya.

Ruyu membuka kakinya lebar-lebar, bukan karena diperintah.
Tapi karena ia tahu: ia tidak bisa tidak menginginkannya.
Dirinya telah berubah.

> “Sudah dua tahun,” bisik Jin Rui di telinganya sambil menancap lebih dalam.
“Dua tahun sejak aku menanammu pertama kali.”
“Dan lihatlah. Kau malah menjadikannya rumah.”




---

Monolog Ruyu – Tengah Malam, Setelah Jin Rui Tertidur

> “1 Maret.”



> “Hari di mana dunia merayakan kelahiran Liang Zemin…”
“…tapi tahun ini tak ada satu pun lilin untuknya.”



> “Aku… tetap di sini. Tapi bukan dia lagi.”



> “Aku telah melahirkan tiga anak dari pria yang dulu kuanggap bayangan.”
“Dan malam ini, aku minta disentuh oleh tangan itu.
Bukan karena kutukan. Tapi karena tubuhku memanggilnya.”



> “Apakah ini kehancuran? Atau ini kemenangan?”
“Mungkin aku sudah tak bisa membedakannya.”

=====

Minggu ke-10 Pasca Persalinan (2–8 Maret 1982)

“Aku berdiri di bayangan nama yang hilang, tapi rumah ini tetap harus bersinar.”


---

2 Maret 1982 – Hari Setelah Ulang Tahun ke-22 Ruyu

Pagi hari masih menyisakan wangi lilin dan sisa wine malam sebelumnya.
Tapi tak ada waktu untuk berlama-lama di dalam mimpi.
Yuyan terbangun lebih cepat dari biasanya. Yurou menyusul. Qingge sudah berdiri di pintu kamar membawa bukunya.

Ruyu memeluk ketiganya bergantian, sambil menghitung:

> “Satu untuk mimpi, satu untuk luka, dan satu untuk pengampunan.”



Saat sarapan, Jin Rui duduk sambil membaca laporan keuangan. Sesekali menengok ke arah anak-anak, tapi tetap tak banyak bicara.

> “Hari ini kita mulai persiapan untuk 100 hari mereka.”



Ruyu mengangguk. Tidak ada pertanyaan, karena dia tahu: semua harus sempurna.


---

3–5 Maret:

Pagi-pagi, rumah mulai berbau kunyit dan cuka.
Ruyu membersihkan dapur, memilih kain untuk dekorasi, dan mencatat menu bersama satu pelayan yang diizinkan datang hanya siang hari.

Qingge tetap menuntut waktu pribadi.
Saat si kembar tidur, Ruyu mengajak putrinya menata pita kecil di album foto bayi dan menyanyikan lagu pendek tentang adik.

Di malam hari, Jin Rui masuk ke ruang rahasia membawa dua skenario pendek.
Ruyu menggulung rambutnya dan berdiri di depan kamera.

> “Hari ini aku jadi istri perwira militer. Besok jadi hantu putih dari kisah rakyat Shanxi.”



Setelah rekaman selesai, mereka tetap lanjut—tanpa naskah.
Tubuh Ruyu yang sudah ramping kembali jadi panggung dan pelampiasan.


---

6–8 Maret:

Hari-hari dipenuhi evaluasi kecil:

Jin Rui menyoroti warna taplak makan siang terlalu kusam.

Lemari sepatu yang tidak disusun sesuai urutan.

Surat undangan yang perlu disusun ulang dengan tinta tangan, bukan cetakan.


> “Kalau kau mengundang ke rumah, pastikan mereka melihatmu sebagai wanita yang menjaga warisan pria yang menidurimu.”



Kata-kata itu kasar. Tapi Ruyu mengangguk.
Ia tak punya ruang untuk kecewa. Karena ia tahu itu adalah standar yang dulu ia patok sendiri.


---

Malam 8 Maret:

Ruyu berdiri di depan cermin besar di kamar tidur.
Tubuhnya tidak lagi seperti dulu.
Bukan karena ia lebih ramping. Tapi karena ia kini tahu untuk apa tubuh itu diciptakan.

Ia menatap pantulan wajahnya.
Di sebelahnya, Jin Rui menidurkan Yuyan di dada. Yurou masih menyusu. Qingge tertidur di pangkuan Ruyu.

Rumah sunyi. Tapi batinnya bising.


---

Monolog Ruyu – Akhir Minggu ke-10

> “Aku pernah berkata wanita itu rumit dan cengeng.”
“Sekarang aku tahu, wanita itu rumit karena hidup tak pernah memberi mereka waktu untuk sederhana.”



> “Aku tidak tahu apakah ini penebusan. Tapi kalau memang dosa bisa dicuci dengan susu dan darah… mungkin aku sedang mencucinya perlahan, setiap hari, di rumah ini.”

=====

Minggu ke-11 Pasca Persalinan (9–15 Maret 1982)

“Rumah ini panggung. Setiap hari aku tampil, dan anak-anak adalah satu-satunya penonton yang tidak boleh kecewa.”


---

9 Maret 1982 – Selasa

Pagi ini, Ruyu bangun sebelum siapa pun.
Ia menyentuh perutnya sendiri, yang sekarang rata tapi tetap terasa kosong.
Tiga anak di rumah. Tapi ada suara dalam dirinya yang tetap sepi.

Dapur masih gelap saat ia mulai menyiapkan bubur tiga tekstur:
Untuk Qingge yang sedang GTM,
Untuk Yuyan yang mulai belajar rasa,
Untuk Yurou yang masih menyusu penuh.

Saat Jin Rui turun ke ruang makan, aroma rebusan kacang dan ayam herbal mengisi ruangan.

> “Hari ini mulai simulasi tamu,” katanya.
“Kita perkirakan 14 orang.”



Ruyu mencatat jumlah cangkir, serbet, dan tempat duduk.
Pelayan harian mulai datang jam 10 pagi. Tapi semua kendali tetap di tangan Ruyu.


---

10–12 Maret – Rabu sampai Jumat

Qingge semakin sering tantrum.
Meskipun ia sudah hafal nama kedua adiknya, sudah bisa menyebut mereka dengan suara manja…
Namun saat Ruyu menggendong Yuyan lebih lama, Qingge menumpahkan wadah makanannya dengan sengaja.

Ruyu memeluknya tanpa marah.
Ia menyuapi Qingge sambil menyusui Yurou dari sisi lain.
Dua payudara, tiga anak. Tapi Ruyu tetap harus bisa.

Malam hari, Jin Rui membawa dua undangan bersegel merah.

> “Dua investor lama Liang Entertainment akan hadir. Jangan sampai rumah terlihat seperti tempat tinggal wanita tak terawat.”



Ruyu membersihkan sudut rak buku hingga jam 1 dini hari.
Tangannya kasar. Tapi wajahnya harus tetap lembut.


---

13–15 Maret – Sabtu sampai Senin

Ruyu mulai menyusun rangkaian bunga segar untuk meja makan tamu.
Dia merendam bunga sedap malam dalam air mawar, menjemurnya agar aromanya tahan lama.

Di sela itu, ia membuat gaun untuk Yuyan dan Yurou—warna kuning lembut dan putih pucat.
Qingge dibujuk memilih sendiri warna gaunnya:
Ia memilih merah muda cerah.

“Supaya Ayah lihat Qingge paling manis,” katanya sambil tersenyum kecil.

Ruyu diam. Tapi hatinya terasa ditusuk.

Malam hari, Jin Rui minta ditemani ke ruang rahasia.
Tidak untuk rekaman malam itu. Hanya membaca naskah.

> “Karakterku kehilangan istri dan anak. Lalu jatuh cinta lagi.”
“Aneh, ya?” katanya.
“Mungkin dulu aku tidak akan bisa memerankannya. Sekarang… mungkin aku bisa.”



Ruyu tahu:
Aktor sejati hanya bisa memerankan luka yang pernah dia rasa.


---

Monolog Ruyu – Akhir Minggu ke-11

> “Dulu aku tidak peduli siapa yang menata rumah. Asal makananku siap.”
“Sekarang aku harus tahu posisi sendok paling kiri, warna taplak agar cocok dengan warna kulit tamu.”



> *“Dulu aku meminta wanita tetap langsing setelah melahirkan.”
“Sekarang aku menahan lapar agar bisa memakai gaun sutra itu di depan suamiku.”



> “Tapi yang paling sulit:
bukan membagi tubuhku untuk tiga anak.
Tapi membagi wajahku—untuk tetap tersenyum, meski tak satu pun bagian diriku lagi adalah aku yang dulu.”

=====

Minggu ke-12 (16–22 Maret 1982)

“Panggung dipoles, tak ada peran yang boleh meleset.”


---

16 Maret 1982 – Selasa

Pagi masih tenang, tapi jadwal sudah padat.
Ruyu menata ulang ruang tamu sambil menggendong Yurou. Yuyan sedang disusui, dan Qingge berdiri di samping, membawakan kain pel.
Tak ada pelayan pagi ini, jadi semuanya harus diselesaikan dengan tangan sendiri.

Di ruang makan, Jin Rui menuliskan nama-nama yang akan diundang untuk 100 hari si kembar. Ia tidak meminta pendapat—ia hanya menyebut satu per satu dan Ruyu mencatat.
Tak ada satu pun dari masa lalu Liang Zemin. Semuanya dari jaringan sosial dan bisnis Jin Rui.

> “Ini bukan pesta keluarga.”
“Ini presentasi rumah tangga yang sudah kutata.”



Ruyu mengangguk. Ia tidak merasa dipertanyakan—ia tahu, ini adalah ujian diam-diam.


---

Daftar 14 Tamu yang Disetujui:

1. Direktur Zhao (kolaborator film Jin Rui)


2. Guru Chen (mentor teater)


3. Nyonya Zhu (pemasok kostum)


4. Tuan & Nyonya Yu (sponsor galeri seni)


5. Wang Heng (asisten pribadi)


6. Dr. Qin & istri (dokter keluarga)


7. Madam Xu (sekretaris RUI Ent.)


8. Tuan Gao (editor film)


9. Madam Lu (penata estetika interior)


10. Shi Han (guru seni anak)


11. Tuan Lu (kepala distribusi)


12. Nyonya He (istri ketua yayasan)


13. Tuan Jiang (konsultan musik anak)


14. Tuan & Nyonya Feng (lansia dermawan yayasan seni)




---

17–19 Maret – Rabu sampai Jumat

Ruyu menguji posisi meja makan berdasarkan peta duduk dari Jin Rui.
Ia berlatih membungkuk, berjalan pelan membawa nampan, mempersiapkan tisu beraroma bunga sedap malam.

Qingge diajarkan menyambut tamu dengan kalimat pendek, "Selamat datang di rumah kami," sambil menangkupkan tangan kecilnya.

Saat malam tiba dan si kembar tertidur, Jin Rui memintanya ke ruang rahasia. Tapi malam ini bukan untuk rekaman panas.
Mereka membaca naskah drama berdua.
Jin Rui mendekat, tapi tidak menyentuh. Hanya memerhatikan, seolah sedang menilai akting Ruyu sebagai ibu rumah tangga.

> “Kau lebih ekspresif sekarang. Lebih… nyata.”




---

20–22 Maret – Sabtu sampai Senin

Pelayan harian datang selama 6 jam membantu membersihkan tirai, taplak, cermin, dan ruang luar.
Namun semua instruksi tetap dari Ruyu.
Jin Rui hanya menyentuh hal-hal yang perlu diperbaiki:
lampu gantung terlalu rendah, satu bingkai foto tidak simetris.

> “Pesta ini bukan hanya tentang si kembar.”
“Ini tentang reputasi istri dan rumah yang kutata. Jangan beri alasan mereka meremehkan.”



Malam terakhir minggu ini, Ruyu berdiri di depan cermin.
Gaun tipis sutra gading digantungkan. Rambut panjangnya sudah dioles minyak bunga kamboja.


---

Monolog Ruyu – Akhir Minggu ke-12

> “Dulu aku bilang, wanita hanya harus bersolek dan tersenyum.”
“Sekarang aku berdiri di balik meja, di antara bayi, handuk, dan tinta undangan.”



> “Yang paling sulit dari peran ini bukan menata rumah…”
“…tapi menata luka yang tak boleh kelihatan.”




---

Minggu ke-13 (23–29 Maret 1982)

“Semua mata akan menilai rumah ini. Tapi yang mereka nilai sebenarnya adalah aku.”


---

23–25 Maret – Selasa sampai Kamis

Ruyu menyelesaikan bordir inisial Y & Y untuk gaun si kembar.
Ia juga menjahit pita merah muda kecil untuk Qingge, dan melatihnya menyebut nama adik-adiknya dengan suara manis.

> “Qingge, siapa nama adikmu?”
“Yuyan dan Yurou!”



Pelayan harian membantu menata hadiah tamu dan menyusun menu makanan bersama Ruyu:
menu tradisional sederhana namun elegan, dengan sentuhan barat dari saran Madam Xu.


---

26–28 Maret – Jumat sampai Minggu

Jin Rui memeriksa seluruh rumah: dari gagang pintu, bunga meja, nada suara Ruyu saat berbicara dengan pelayan, hingga cara Qingge duduk.

> “Kau belajar cepat. Tapi jangan sampai malam itu kau lupa: ini bukan panggung akting. Ini rumah. Dan orang akan menilai pria dari caramu menjadi istrinya.”



Malam itu, setelah anak-anak tidur, mereka ke ruang rahasia.
Ruyu mengenakan qipao tipis merah tua—gaun uji kostum pesta.
Jin Rui menatap, lalu membukanya perlahan tanpa berkata apa-apa.


---

29 Maret – Senin

Pagi terakhir sebelum minggu pesta dimulai.
Ruyu bangun lebih awal. Di wajahnya tak ada ekspresi.
Tapi tangannya bergerak dengan efisien—seperti seorang sutradara di balik layar.

Panggung sudah siap.
Bayi sudah tumbuh.
Ibu rumah tangga telah belajar menjadi bintang yang tak membutuhkan sorotan.


---

Monolog Ruyu – Akhir Minggu ke-13

> “Aku pernah jadi orang paling dikenal se-China.”
“Sekarang aku cuma wanita yang disapa ‘Ibu’ oleh tiga anak kecil dan dipanggil tanpa nama oleh 14 tamu yang tak tahu siapa aku.”



> “Dulu aku punya kursi kehormatan di meja gala film.”
“Sekarang aku memastikan garpu di kanan, sendok di kiri.”



> “Aku tahu apa yang akan terjadi pada hari itu.
Bukan tentang Yuyan dan Yurou.
Tapi tentang apakah aku layak menjadi ibu dari rumah ini.”

=====

30 Maret – 9 April 1982: Persiapan 100 Hari

“Aku dulunya mengabaikan hal-hal kecil. Tapi suamiku sekarang memeluk hal-hal yang bahkan tak pernah kupikirkan.”


---

30 Maret – Selasa

Ruyu menyisir rambut panjangnya di depan cermin, perlahan.
Kini rambut itu menjuntai lewat punggungnya, mulai menyentuh pinggang.

Malam harinya saat makan malam, ia memberanikan diri bertanya:

> “Bolehkah aku ke salon? Hanya ingin merapikan, sedikit dipendekkan—sebahu saja.”



Jin Rui menoleh pelan, memandangi rambut itu sebentar.
Lalu menjawab, tanpa tegas tapi tak bisa ditawar:

> “Biarkan tumbuh.”
“Aku menyukai rambut panjangmu. Seperti air yang mengalir di tubuhmu.”



Ruyu menunduk.

> “Baik. Karena rambut ini milik suamiku, bukan milikku.”



Dalam batinnya, ia bergumam:
Lin Qiaoyu… kau tumbuh bersama dia, rambutmu dulu pendek. Tapi rambutku kini dibiarkan panjang… bahkan disentuh setiap malam.


---

1–3 April

Saat Ruyu mencuci rambutnya sendiri, ia merasakan ujung-ujungnya mulai kasar dan bercabang.
Ia menyiapkan gunting kecil. Tapi sebelum ia memotong…

Jin Rui mendekat.
Tanpa berkata banyak, ia mengambil gunting itu dari tangan Ruyu, lalu duduk.

> “Tundukkan sedikit. Aku yang rapikan.”



Dengan sabar, Jin Rui menggunting hanya bagian-bagian kecil yang rusak.
Setelah selesai, ia menyisir kembali rambut istrinya.

> “Kau adalah gambaran dari apa yang dulu tak pernah kupunya.”



Ruyu diam. Tapi di dalam hatinya bergetar.
Liang Zemin tidak pernah tahu bentuk rambut istrinya. Bahkan tidak pernah tahu warna dasarnya.
Tapi Jin Rui tahu kapan rambutnya bercabang.


---

4–6 April

Qingge menjadi lebih manja.
Ia mulai rewel saat Yurou menangis terlalu lama. Ia mengamuk jika Yuyan digendong lebih dahulu.
Di tengah ini, Ruyu tetap menyuapi ketiganya.
Satu tangan menyuap, satu tangan menyusui.

Pelayan harian mulai datang pagi-siang, membantu bersih-bersih dan menerima kiriman bunga dari Madam Lu.

Ruyu memperhatikan satu detail penting:
Setiap kali Jin Rui di rumah, ia yang menggantikan mengurus Qingge.
Membacakan cerita, menemaninya mencoret di dinding papan, atau menyanyikan nada pendek yang biasa mereka nyanyikan bersama.

> “Dia tidak perlu menjanjikan jadi ayah yang baik. Tapi dia melakukannya.”
“Aku dulu hanya tahu bagaimana menjadi pria hebat. Tapi tak pernah tahu bagaimana menjadi ayah.”




---

7–8 April

Seluruh menu pesta sudah dikonfirmasi.
Taplak meja disetrika ulang. Vas bunga diletakkan ulang agar tak mengganggu cahaya siang.

Ruyu melihat rambut panjangnya di cermin—disisir lembut oleh tangannya sendiri.
Ia tahu rambut itu bukan hanya miliknya lagi.
Rambut itu telah menjadi bagian dari narasi baru:
dari seorang pria yang tidak pernah menyentuh rambut wanita—menjadi pria yang merapikannya sendiri.


---

9 April – Jumat Malam

Semua sudah rapi.
Ruyu duduk di pinggir tempat tidur sambil menyusui si kembar, Qingge bersandar di pahanya.

Jin Rui datang diam-diam dari balik pintu.
Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengelus kepala ketiganya.

Saat Ruyu bangun tengah malam untuk memastikan semua dekorasi terakhir selesai, ia sempat berhenti di depan cermin panjang itu—
rambutnya terurai, gaun tidurnya tipis dan mengalir.

> “Aku dulu berjalan lewat cermin dan hanya melihat kebesaran diriku.”
“Sekarang aku melihat kelembutan. Tapi juga kekuatan.”




---

Monolog Penutup – 30 Maret s/d 9 April

> “Aku pernah berpikir aku bisa mengendalikan dunia dengan mulut dan kekuasaan.”
“Tapi dunia yang paling sulit kutaklukkan adalah ruang tidur dengan tiga bayi dan seorang pria yang merapikan rambutku dalam diam.”



> “Aku dulu tidak pernah tahu bentuk mata anak-anakku. Sekarang aku tahu, mata Yuyan berkedip lebih pelan dari Yurou.”



> “Dulu aku menciptakan wanita ideal. Sekarang aku menjadi wanita yang tak pernah kubayangkan bisa kucintai jika aku masih jadi aku yang dulu.”

=====


10 April 1982 – Pesta 100 Hari Yuyan & Yurou

“Hari ini, dunia melihat keluarga Jin Rui. Tapi aku tahu—aku yang menjaganya agar tidak runtuh.”


---

05:30 – Fajar

Ruyu bangun lebih dulu, menyapu napas dingin yang keluar dari mulutnya dengan teh jahe hangat.
Ia membuka jendela kamar anak-anak, memeriksa suhu, merapikan selimut si kembar, lalu mencium dahi Qingge yang masih tidur pulas.

Ia mengecek kembali bordiran di baju Qingge:
Nama kecilnya—Qingqing—disulam halus di dada sebelah kiri.
Bukan "jie jie", karena Ruyu tahu: anak pertamanya bukan simbol kakak, tapi tetaplah anak kecil.


---

07:00 – Persiapan Dimulai

Pelayan harian datang dan langsung mengikuti skema yang disusun Ruyu hari sebelumnya.
Tirai dibuka penuh. Meja disusun simetris. Vas bunga disesuaikan dengan aliran cahaya pagi.
Jin Rui tidak terlihat. Tapi semua tahu: meskipun tidak hadir, semua harus tetap sempurna.


---

08:30 – Gaun, Rambut, dan Kesiapan

Ruyu mengenakan gaun panjang berwarna rosé, sederhana tapi menyatu dengan kulitnya yang kini lebih lembut karena perawatan intens.
Rambut panjangnya dibiarkan tergerai setengah, ujungnya menyentuh tulang belikat.
Ia tak pernah memotong rambut sejak Jin Rui berkata, “biarkan tumbuh.”

Waktu hening sebentar. Ia berdiri di depan cermin besar.
Menatap dirinya sendiri.

> “Dulu aku berdiri dengan dada bidang, jakun menonjol, dan pandangan menghina siapa pun yang memanggilku ‘ayah’. Sekarang… aku berdiri telanjang tiap malam, siap dibuka, ditelusuri, dimasuki oleh pria yang dulu kutendang keluar dari panggung.”




---

10:00 – Para Tamu Hadir

14 tamu datang tepat waktu. Rumah hening namun teratur.
Ruyu menuntun mereka satu per satu, menawarkan teh, makanan ringan, dan senyum sopan.

Tak ada musik keras. Hanya suara detak jam dan sesekali gumaman bayi.
Yuyan dan Yurou tidur damai, satu selimut hangat, satu selimut dingin—karena suhu tubuh mereka berbeda.

Jin Rui datang dari ruang kerja, berpakaian rapi.
Dia menatap istrinya sebentar, lalu langsung memeriksa kondisi ruangan—bukan untuk memuji. Tapi untuk memastikan Ruyu layak menjaga nama keluarganya.


---

12:30 – Akhir Acara

Semua berjalan tanpa cela.
Tidak ada hidangan dingin. Tidak ada cangkir retak. Tidak ada noda di meja.
Jin Rui mengantar tamu terakhir keluar tanpa kata.

Di depan pintu, ia hanya berkata:

> “Rumah ini tampak seperti rumah. Tetap jaga begitu.”



Itu bukan pujian. Itu perintah.


---

15:00 – Rumah Sunyi

Qingge tidur kelelahan di pelukan Ruyu. Si kembar sudah menyusu dan kembali tertidur.
Ruyu kembali berdiri di depan cermin, kali ini tanpa make-up.

Ia mengangkat gaunnya pelan, memperhatikan perutnya yang mulai kembali rata.
Menatap payudaranya yang kini penuh susu.
Rambut panjangnya menutupi leher yang dulunya kaku saat memberi perintah.

> “Aku dulu pria yang membentuk wanita. Sekarang aku wanita yang dibentuk pria—dari dalam, setiap malam, lewat cairan yang kutelan dan kuterima selama berbulan-bulan.”




---

22:00 – Malam

Anak-anak tidur. Rumah hening.

Ruyu datang ke kamar dengan gaun tipis yang mudah dibuka.
Ia menyeduh teh hangat dan menaruhnya di meja sisi ranjang.
Jin Rui duduk membaca skrip film.

Ia menoleh sekali, lalu berkata singkat:

> “Susu.”



Ruyu paham. Ia membuka bagian atas gaunnya perlahan, duduk di pangkuan suaminya, dan membiarkan Jin Rui menyusu dari tubuhnya.

Tak ada kata.
Tapi setelah selesai, Jin Rui berdiri dan membawa Ruyu ke tempat tidur, menyibak selimut, lalu membukanya.


---

Monolog Ruyu – Malam Setelah 100 Hari

> “Dua tahun lalu, aku adalah pria berusia 50 tahun, berdiri di puncak dunia entertainment, menghamili lalu meninggalkan.”
“Hari ini, aku adalah istri yang berdiri di belakang pintu, menunduk dan tersenyum, agar suamiku dipuji oleh tamu-tamunya.”



> “Tubuhku bukan milikku. Tubuhku adalah rumah. Rumah bagi anak-anaknya. Tempat tidurnya. Tangannya. Dan benihnya.”



> “Aku dulu mengatur semua orang. Tapi sekarang, aku diawasi setiap hari—harus cantik, harus wangi, harus hangat, harus terbuka.”



> “Aku adalah Liang Zemin yang berubah karena sperma. Karena setiap tetes itu adalah hukuman. Dan kutukan. Dan sekarang... kebutuhan.”

=====

15 Juni 1982 – Ulang Tahun Ke-30 Jin Rui

“Dulu aku merayakan diriku. Kini aku merayakan dia.”

Pagi hari di rumah itu dibuka oleh aroma mentega dan tepung panggang. Di meja kayu kecil di dapur, Ruyu duduk bersama tiga putrinya—Qingqing yang paling besar mengangkat jarinya bangga setelah meletakkan potongan stroberi terakhir di atas kue ulang tahun buatan tangan mereka.

Ruyu tersenyum. Senyum tenang, bukan bahagia.
Ia menatap sekeliling: lantai sudah bersih, ruang tamu rapi, dua bayi tidur tenang. Jin Rui masih terlelap. Mungkin karena lembur, mungkin karena alasan lain yang tidak perlu dipertanyakan seorang istri.

Ketika suaminya bangun, ia disambut dengan nyanyian kecil dari putri mereka, dan ciuman cepat di pipi dari Ruyu.
Tak ada kejutan besar. Hanya rumah yang tenang, istri yang tertib, dan anak-anak yang bersih dan harum.


---

Sore

Jin Rui pergi untuk menghadiri pesta yang disiapkan oleh perusahaan dan penggemarnya.
Seperti biasa, Ruyu tidak ikut.
Karena yang dikenalkan ke publik bukanlah dirinya. Bukan anak-anaknya. Mereka adalah dunia tersembunyi Jin Rui—miliknya sendiri, sepenuhnya.

Ruyu mengerti. Dan ia diam.


---

Malam

Saat jam dinding berdetak mendekati pukul sepuluh malam, Ruyu sudah menunggu di kamar.
Tubuhnya bersih. Rambutnya panjang menyentuh pinggang, sesuai permintaan Jin Rui.
Ia mengenakan kain lembut yang mudah dilonggarkan. Dirinya—satu-satunya hadiah yang bisa ia berikan.

Namun malam itu... ada sedikit ketakutan.
Ruyu memegang sebuah kotak kecil di tangannya—sebuah kondom.
Sesuatu yang ia tahu tidak akan diterima. Tapi ia tetap mencobanya.

> “Aku hanya... khawatir,” katanya pelan ketika Jin Rui membuka pintu. “Kondisi masih padat. Yuyan dan Yurou... masih kecil. Qingqing juga belum sepenuhnya menerima...”



Jin Rui menatapnya lama. Matanya tajam, bibirnya tak tersenyum.
Perlahan, dia mengambil kotak itu dari tangan Ruyu, menatapnya sebentar, lalu melemparnya ke pojok ruangan.

> “Tidak.”
“Tidak ada penghalang antara aku dan ladangku.”
“Tubuhmu ada karena benihku. Jangan lupakan itu.”



Ruyu menunduk.

> “Kau adalah ladang yang kusiapkan untuk generasiku.
Kau adalah ibu. Dan kau adalah istriku.
Dan seorang istri tidak menawar, tidak menunda, tidak menolak.”



Jin Rui mendekat, menelusuri wajah Ruyu dengan punggung jarinya.

> “Kau dulu pria yang memperkosa martabat istrimu.
Sekarang kau berdiri sebagai wanita yang merawat martabat rumah ini.
Kau bukan dihukum. Kau diubah.”




---

Setelah Jin Rui tertidur

Ruyu tidak langsung tidur. Ia bangkit perlahan, mengenakan jubah tipis, duduk di meja rias, dan menatap wajahnya di cermin.

> “Dulu aku adalah legenda layar kaca. Pria yang disanjung, ditakuti, dan dituruti.”
“Hari ini aku duduk di meja rias, menatap payudara yang kuberi ke anakku dan suamiku, dan perut yang kutarik dengan ikat kain agar tetap rata.”



> “Jin Rui tidak mengajarkanku cinta. Tapi ia memberiku warisan:
Anak. Rumah. Nama. Dan kenyataan.”



> “Dan aku... Liang Zemin yang dulu, kini telah menjadi Ruyu—
seorang istri yang tidak dikenal dunia,
tapi menjadi dunia bagi pria yang dulu aku injak.”

=====

Malam setelah makan malam keluarga kecil —di antara rutinitas dan kegelisahan

Ruyu membuka pintu kamar dengan tenang. Langkahnya ringan di atas lantai kayu yang sudah ia pel setiap sore. Rambutnya masih basah, diikat longgar dengan pita lembut. Gaun tipis selutut yang dikenakannya tak lebih dari formalitas. Ia tahu—dalam waktu tak lama, ia akan kembali telanjang, seperti biasa.

Jin Rui duduk di ranjang. Buku tentang strategi investasi terbuka di tangannya, tapi matanya sudah memindai Ruyu sejak pertama kali pintu dibuka.

> "Sudah tidur anak-anak?"



Ruyu mengangguk.

> "Qingqing tadi ingin kau bacakan ulang cerita. Tapi sudah terlalu larut."



Jin Rui tidak menjawab. Ia hanya menutup bukunya perlahan, lalu menepuk sisi ranjang.

Seperti biasa.

Ruyu mendekat.

Lututnya gemetar sedikit, tapi ia menahannya.

Kakinya naik ke atas ranjang. Tangan suaminya sudah menyusup ke bawah kain tipis yang ia kenakan. Napasnya menjadi berat bukan karena gairah. Tapi karena... ketakutan.


---

Monolog Ruyu – dalam diamnya tubuh yang menurut

> “Aku bukan tidak menginginkannya. Aku mencintai mereka. Ketiganya. Saat tangan kecil mereka menggenggam jariku, hatiku pecah berkali-kali. Tapi... tubuhku belum selesai memulihkan luka yang terakhir. Luka yang harus kutahan diam-diam, karena aku istri yang tak boleh lelah. Karena aku ibu yang harus terlihat mampu.”



> “Aku membuka kakiku malam ini, seperti biasa. Tapi tubuhku menegang. Aku takut.”



> “Aku takut saat aliran hangat itu masuk dan menandai bahwa aku—mungkin, sekali lagi—akan menjadi ladang.”



> “Aku takut, bukan karena tidak mencintai kemungkinan bayi baru. Tapi karena aku belum sempat cukup mencintai anak-anak yang sudah ada. Aku takut... menjadi ibu yang gagal. Aku takut kehilangan bagian diriku sendiri yang tersisa.”



> “Jin Rui bilang aku ladang. Tapi ladang pun butuh waktu untuk dipulihkan sebelum ditaburi lagi.”




---

Setelah Jin Rui tertidur dengan tenang di sisi ranjang, Ruyu duduk di kursi dekat jendela. Angin malam berhembus pelan, tapi tidak membawa kedamaian.

Ia menyentuh perutnya yang masih halus karena krim perawatan harian yang ia gunakan dengan disiplin. Tapi bukan itu yang ingin ia jaga malam ini. Ia ingin menjaga dinding perasaannya yang mulai retak.

Dan di dalam dada itu—yang sudah menyusui tiga anak, dan menahan berat dua janin dalam waktu bersamaan—ada sebuah pertanyaan sunyi:

> “Berapa lama lagi aku harus jadi sempurna di mata semua orang, tapi tidak pernah utuh dalam mataku sendiri?”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Behind The Scene - Joo Won & Uee

cr : yongseohaejusaeyo@youtube Kalau ndak salah mereka membicarakan tentang first kiss mereka di ep 36. Kalau menurut Joo Won sich seperti ciuman anak SMP, yang ndak bergerak sama sekali, benar-benar kaku. Hehehehehe, mendengar ini aku merasa lucu banget. Jadi secara tidak langsung, dia mau kiss yang passionate sama Uee yah? Hehehehehehe.. Ini ada gambaran dari soulsrebels.wordpress.com : NAR says normally TH shows overflowing charisma but in front of J, TH changes into an innocent/docile person. And recently he found the courage to confess he likes J. but J’s answer to this confession was vague – “yes. Go” to TH who never once dated, this was a harder problem (to solve) than a math problem. From that day on, he officially started stalking/following J around and showed up wherever she went. That was Hwang TH’s way/method of loving. NAR asks Uee: how did you feel (about him following you around)? Uee laughs and says: I am sick and tired of it. Joowon is standing behind her so camera...

Back In Time - Lynn [OST K.Drama The Moon That Embraces The Sun]

Sebelumnya sudah pernah share OST ini ( di sini ). Nah sekarang aku akan share liriknya beserta translate yah.. Lirik : 구름에 빛은 흐려지고 gureume bicheun heuryeojigo 창가에 요란히 내리는 changgae yoranhi naerineun 빗물소리 만큼 시린 기억들이 bitmulsori mankeum sirin gieokdeuri 내 마음 붙잡고 있는데 nae maeum butjapgo inneunde 갈수록 짙어져간 galsurok jiteojyeogan 그리움에 잠겨 geuriume jamgyeo 시간을 거슬러 갈순 없나요 siganeul geoseulleo galsun eomnayo 그 때처럼만 그대 날 안아주면 geu ttaecheoreomman geudae nal anajumyeon 괜찮을텐데 이젠 gwaenchanheultende ijen 젖어든 빗길을 따라가 jeojeodeun bitgireul ttaraga 함께한 추억을 돌아봐 hamkkehan chueogeul dorabwa 흐려진 빗물에 떠오른 그대가 heuryeojin bitmure tteooreun geudaega 내 눈물 속에서 차올라와 nae nunmul sogeseo chaollawa 갈수록 짙어져간 galsurok jiteojyeogan 그리움에 잠겨 geuriume jamgyeo 시간을 거슬러 갈순 없나요 siganeul geoseulleo galsun eomnayo 그 때처럼만 그대 날 안아주면 geu ttaecheoreomman geudae nal anajumyeon 괜찮을텐데 이젠 gwaenchanheultende ijen 흩어져가, 나와 있어주던 그 시간도 그 모습도 heuteojyeoga, nawa isseojudeon geu sigando geu moseupdo 다시 그 때처럼만 그대를 안아서 dasi geu t...

Old Thai Lakorn aka Old Thai Drama

Tiba-tiba teringat dulu masa SD atau SMP pernah gemar nonton drama Thailand yang ditayangkan di anTV atau TPI (yang sekarang dikenal dengan MNCTv). Nah dulu seingatku ada cerita ttg cowok yang punya istri banyak, ternyata salah satu istrinya meninggal. Terus istri yang meninggal itu ternyata punya saudara perempuan kembar yang menyamar untuk menyelidiki kematian kakaknya. Ternyata karena wajahnya yang memang 100% mirip dengan wajah kakaknya yg meninggal, dia mudah masuk ke rumah itu sebagai istri cowok itu. Setiap kali cowok itu minta dilayani, cewek itu ada ajah taktik untuk mengelak, akhirnya dia melakukan hubungan suami istri. Cewek itu kira aman ternyata ndak, cewek itu hamil pada saat semua rahasianya kebongkar. Seingatku akhirnya happy ending . Masalahnya aku tak tahu judul drama ini. Pengen banget nonton lagi. Ada yang masih ingat? Terus masih ingat lagi drama anTV. Benar-benar lupa judulnya dan nama pemainnya. Tapi ceritanya tentang cewek yang kabur terus ndak sengaja ketemu co...