MINGGU 1–4 KEHAMILAN YAO RUYU (1 April–28 April 1980)
“Aku Tak Tahu Hidup Sedang Bertumbuh di Dalamku. Tapi Tubuhku Sudah Merasakannya.”
---
Minggu 1 (1–7 April)
> Hanya sehari setelah pembuahan
Tubuh belum menunjukkan gejala, tapi:
Perut bawah mulai terasa berat
Puting mulai sensitif
Ruyu masih dipaksa **melayani seks oral dan anal, karena “lubang utama” harus dijaga”
> Jin Rui:
“Benihku sudah ditanam. Tapi belum tentu tumbuh.
Kita akan terus menabur sampai ladangmu terbukti subur.”
---
Minggu 2 (8–14 April)
Ruyu mulai merasa mual pagi hari.
Tidak muntah, tapi pusing.
Tidak bisa berdiri terlalu cepat.
Jin Rui mencatat semuanya seperti ilmuwan.
> “Catatan hari ke-12: sensitivitas puting meningkat. Suhu 37.6°C.
Perubahan hormonal menunjukkan proses.”
Ruyu mencoba bertanya:
> “Jika aku hamil… apakah aku bisa… beristirahat?”
Jin Rui menjawab:
“Tidak. Istrimu dulu kau suruh tetap melayani meski hamil.
Sekarang… jalankan perintahmu sendiri.”
---
Minggu 3 (15–21 April)
Tubuh semakin lelah.
Payudara mulai menegang.
Perut bawah seperti ditarik dari dalam.
Ruyu tetap memasak, membersihkan rumah, menari setiap sore, dan melayani suami setiap malam.
> “Ibu yang baik tidak boleh malas.
Jika anakmu cacat, semua akan menyalahkanmu.”
Jin Rui membawa cermin ke kamar, menempatkannya menghadap ranjang.
> “Lihat tubuhmu. Lihat betapa cepatnya ia menjadi milikku.
Bahkan benihku tumbuh di dalammu… dan kau tetap membuka kakimu untukku.”
---
Minggu 4 (22–28 April)
Menstruasi tidak datang.
Jin Rui langsung menyuruh Ruyu membawa urine ke klinik kecil.
Hasilnya positif.
> Jin Rui (senyum tipis):
“Tubuhmu menerima. Kau bukan lagi wanita kosong.
Kau sekarang ladang yang ditumbuhi. Dan ladang… tetap harus dibajak.”
Malam itu, meski tubuh Ruyu lemas, Jin Rui tetap memintanya melayani.
> “Hamil bukan alasan untuk menolak kewajiban.”
Ruyu terbaring di ranjang, air mata menetes diam-diam, sementara sperma baru kembali mengisi tubuhnya—di saat anak lain sedang tumbuh dalam rahimnya.
---
Monolog Ruyu – Minggu 1–4
> “Tubuhku menumbuhkan sesuatu. Tapi bukan untukku.”
“Aku lelah. Tapi aku tidak boleh berhenti.”
“Dulu aku berkata: wanita yang lemah saat hamil hanyalah pembenaran.”
“Sekarang aku tahu… betapa kejamnya kata-kataku sendiri.”
=====
MINGGU KE-5 – MINGGU KE-8 (29 April – 26 Mei 1980)
“Aku Hamil. Tapi Aku Tetap Harus Dibuka, Dimasuki, dan Menjilat.”
Tak ada ruang bagi rasa sakit, karena dulu aku berkata: wanita harus siap kapan pun.
---
Kondisi Fisik:
Mual hebat pagi dan sore hari
Payudara mulai membesar, sensitif
Pinggang terasa berat
Perut mulai membulat (minggu ke-8)
Mudah pingsan karena tekanan darah turun
---
Perlakuan Harian dari Jin Rui:
1. Tetap telanjang di rumah – tidak diperbolehkan mengenakan kain apa pun, bahkan saat memasak, bersih-bersih, menyikat kamar mandi.
2. Di luar rumah (untuk pemeriksaan):
Dikenakan gaun longgar, make-up halus, rambut disisir rapi.
Harus menyapa petugas dengan sopan dan menyebut dirinya sebagai "istri dari Tuan Jin."
3. Dipaksa membuka kaki setiap malam, bahkan saat muntah belum berhenti.
Penetrasi vaginal tetap dilakukan—meskipun rahimnya nyeri, dan lendir kehamilan mengalir.
Ketika dia menangis saat dimasuki, Jin Rui mencengkeram rahangnya dan memaksa:
> “Tubuhmu menumbuhkan anakku. Dan tetap harus menyambutku setiap malam.”
4. Oral seks di tengah mual.
Saat ia muntah, Jin Rui hanya menatap dingin dan berkata:
> “Dulu kau bilang wanita harus tahu menahan.”
“Hari ini, aku ingin kau belajar dari kata-katamu sendiri.”
---
Latihan Harian:
Setiap pagi, berdiri di depan cermin, menyentuh perut dan berkata:
> “Saya adalah istri Tuan Jin.
Saya sedang mengandung anaknya.
Tubuh saya adalah milik keluarganya.”
Setiap sore, menulis jurnal kehamilan, dipantau oleh Jin Rui.
Tapi jurnal itu tidak untuk dirinya. Ia harus mengisi bagian:
Hal terbaik yang kulakukan untuk suamiku hari ini
Bagaimana aku menjaga tubuhku agar tetap cantik untuk suamiku
Apa yang harus kuperbaiki agar tidak memalukan sebagai ibu
Jika gagal menyenangkan Jin Rui?
Dia akan dipaksa mengulang seluruh kegiatan harian tanpa jeda.
---
Dialog-Darah dari Jin Rui:
> “Jangan pikir kau spesial karena hamil.
Kau hanya berhasil menerima benih.
Ladang yang subur tidak berhenti dibajak hanya karena mulai menumbuhkan pohon.”
> “Rasa sakit itu biasa.
Lin Qiaoyu merasa sakit, tapi tidak pernah mengeluh.
Kau? Bahkan belum melahirkan, sudah gemetar.”
> “Buka mulutmu.
Aku ingin cairanku masuk ke tenggorokan wanita yang dulu memerintahkan aborsi pada wanita lain.”
---
Monolog Ruyu (Minggu ke-5–8):
> “Tubuhku membentuk kehidupan, tapi tak ada yang memanggilku ibu.”
“Aku tidur di kasur tempat pria yang kubunuh jiwanya dulu,
kini menabur hidup ke dalam tubuhku… dan memaksaku tersenyum.”
> “Aku tidak punya pakaian untuk menutupi rasa malu.
Aku tidak punya hak untuk meminta belas kasihan.”
> “Dulu aku menyuruh wanita tetap melayani meski hamil.
Hari ini aku menangis, dan tubuhku tetap dipegang dan ditindih.”
=====
MINGGU KE-9 SAMPAI KE-12 (27 Mei – 23 Juni 1980)
“Tubuhku Membentuk Anak. Tapi Aku Tak Tahu Apakah Aku Bisa Menjadi Ibunya.”
Wajahku dipoles untuk publik. Tapi di dalam, aku masih hancur.
---
Perubahan Fisik:
Mual mulai berkurang.
Perut mulai menonjol jelas (minggu ke-11–12).
Payudara mengeras dan lebih berat, mulai bocor cairan kolostrum.
Kulit mulai meregang.
Emosi labil, tubuh cepat lelah.
---
Pemeriksaan Klinik:
Pemeriksaan rahasia dengan dokter pribadi.
Detak jantung janin terdengar untuk pertama kali di minggu ke-11.
Tidak ada foto USG—tapi Jin Rui meminta hasil catatan pertumbuhan janin untuk disimpan dalam file kehamilan pribadi.
> Dokter (datar):
“Janin aktif. Ukuran dan detak jantung baik.”
> Jin Rui:
“Bagus. Maka tak ada alasan tubuh ini tidak bisa mengasuhnya.”
---
Perubahan Sosial – Jin Rui Membuka Ruyu ke Dunia
Jin Rui mulai mengajak Ruyu dalam pertemuan bisnis terbatas.
Mengenalkan Ruyu sebagai “istri pribadi” yang dinikahi diam-diam.
Alasan: untuk menjaga jarak dari gosip dan menyelamatkan reputasi Liang Entertainment.
Ruyu dipakaikan gaun bersih, pita lembut di rambut, bedak tipis.
Di depan orang lain, Jin Rui bersikap sopan dan melindungi, bahkan tersenyum.
> Jin Rui (di depan kolega):
“Istriku sedang mengandung, mohon maaf bila dia lebih diam. Tapi dia sangat mendukung langkah perusahaanku.”
> Ruyu (menunduk):
“…Terima kasih, Tuan Jin.”
---
Di Rumah – Tetap Telanjang, Tetap Disentuh
Begitu pintu rumah tertutup,
gaun dicabut.
Ruyu kembali telanjang.
Jin Rui tetap menyentuh tubuhnya—meski perut membesar, meski kolostrum mulai keluar.
> Jin Rui:
“Tubuhmu mengalirkan susu.
Itu artinya kau bisa mulai menyusui.
Maka beri aku hak itu dulu.”
> “Kalau anakmu menangis kelak… pastikan tubuhmu tidak menolaknya.”
Ia memaksa Ruyu berbaring, memiringkan tubuh, dan menghisap kolostrum dari payudaranya sendiri.
Dan Ruyu hanya bisa menggigit bibir.
---
Konflik Batin Ruyu – Tentang Menjadi Ibu
Saat duduk sendiri, memegang perutnya yang mulai menegang…
ia mulai bertanya:
> “Apa aku akan menjadi ibu?”
> “Bukan dari tubuh… tapi dari jiwa.
Bisakah jiwa yang dulunya membunuh, menjadi tempat hidup?”
Ia mulai menyanyikan lagu-lagu pendek, bukan untuk Jin Rui,
tapi untuk suara detak yang ia dengar minggu lalu.
---
Monolog Ruyu – Minggu 9–12 (Revisi Sesuai Koreksi)
> “Aku tak tahu bagaimana mencintai anak ini.
Tapi dia bergerak di dalamku… dan tubuhku merespons.”
> “Di luar, aku berdiri sebagai istri Jin Rui.
Di dalam rumah, aku telanjang seperti pelayan.
Di dalam rahimku… aku belum tahu siapa aku.”
> “Bukan karena aku menolak menjadi ibu.
Tapi karena aku belum tahu bagaimana caranya,
selagi tubuhku masih menanggung semua definisi istri yang dulu kubentuk sendiri.”
=====
MINGGU KE-13 SAMPAI KE-16 (24 Juni – 21 Juli 1980)
“Dulu Aku Menonton dari Kursi. Sekarang Aku Menari dengan Perut Berat dan Kaki Telanjang.”
---
Kondisi Tubuh:
Perut membesar lebih nyata.
Puting menggelap, kolostrum bisa keluar saat disentuh.
Tulang punggung mulai nyeri karena perubahan pusat gravitasi.
Mood lebih stabil, tapi ada tekanan psikologis yang meningkat.
---
Ritual Harian Versi Jin Rui – Istri dan Ibu Sempurna:
Pagi – Pengabdian Terstruktur:
Ruyu bangun sebelum matahari naik.
Memasak lengkap, menyajikan sarapan.
Saat Jin Rui makan, Ruyu duduk bersila di lantai, memainkan alat musik sederhana (pipa atau guzheng), memainkan nada lembut bertema “damai keluarga.”
> Jin Rui (tanpa menoleh):
“Nada yang lembut akan menenangkan janin.
Dan kau akan terlihat seperti wanita.”
---
Siang – Tari Penghinaan, Dibuka oleh Cahaya:
Setiap pukul 11:00, Jin Rui memerintahkan:
Ruyu memakai gaun tipis menerawang tanpa dalaman.
Menari di tengah ruang terbuka, sinar matahari masuk dari kaca besar.
Kamera dipasang dari dua sudut.
> Jin Rui:
“Kau dulu menyuruh wanita melakukan ini.
Hari ini tubuhmu—perutmu, putingmu, pinggulmu—harus menunjukkan kelembutan untuk suami dan anak.”
> “Dan kau akan ditonton… sama seperti kau dulu menonton mereka.”
Setiap tarian direkam.
Tidak ada musik pengiring—hanya suara tapak kaki dan helaan napas.
---
Sore – Kontrol Diri dan Kontrol Emosi:
Ruyu duduk di ruang tengah, menulis jurnal ibu hamil:
“Apa yang membuatku bersyukur hari ini sebagai istri.”
“Apa yang bisa kuberikan lebih baik untuk anakku.”
Jika ada kata-kata negatif dalam tulisannya, Jin Rui menyobek halaman dan melemparnya kembali ke wajah Ruyu.
---
Malam – Seks Sebagai Alat Penghancuran Memori
Setiap malam, Ruyu tetap diminta melayani.
Tidak hanya seks, tapi seks yang direkam.
Jin Rui menyiapkan tripod dan lampu lembut.
Ia menyuruh Ruyu mencium kamera sebelum berlutut.
Terkadang posisi sengaja diatur untuk menunjukkan perut hamilnya dengan payudara penuh, agar ia sendiri melihat tubuhnya “bekerja” dalam penghinaan.
> Jin Rui (saat menekan punggung Ruyu):
“Kau dulu merekam tubuh wanita lain.
Hari ini kamera hanya melihat tubuhmu…
yang kini hidup bukan untuk dirimu, tapi untukku dan anakku.”
---
Monolog Ruyu – Minggu ke-13 sampai ke-16:
> “Aku tidak menari untuk pujian.
Aku menari karena diperintahkan.
Dulu aku duduk dan mencibir wanita yang lelah.
Sekarang aku menahan muntah saat berputar, agar tidak memalukan dalam rekaman.”
> “Tubuhku direkam.
Payudaraku difilmkan.
Wajahku menangis, tapi tetap disuruh tersenyum.”
> “Anak ini tumbuh… bukan dari cinta.
Tapi dari pengulangan rasa bersalah.”
=====
MINGGU KE-17 SAMPAI KE-20 (22 Juli - 18 Agustus 1980)
“Aku Tidak Boleh Terlihat Seperti Ibu. Tapi Aku Harus Menjadi Ibu yang Sempurna.”
Tubuhku membesar. Tapi setiap garis harus dihapus, setiap lembek harus ditekan, setiap lelah harus disembunyikan.
---
Perubahan Fisik:
Perut membuncit, berat, membuat Ruyu harus tidur miring dengan bantal panjang.
Puting membesar dan menghitam. Cairan kolostrum keluar jika disentuh.
Stretch mark mulai terlihat di bawah payudara dan samping pinggul.
Pinggul melebar, punggung nyeri, nafas pendek.
Janin menendang untuk pertama kali—gerakan terasa nyata.
Libido muncul, bukan dari cinta, tapi dari hormon yang memaksa tubuh mencari sentuhan.
---
Rutinitas Harian – Penjagaan Tubuh, Penampilan, dan Pelayanan
Pagi – Ritual Tubuh yang “Harus Cantik”:
Sebelum memasak, Ruyu duduk telanjang di depan cermin tinggi.
Mengoleskan krim anti-stretch mark dari leher sampai bawah perut.
Mengangkat payudaranya dengan kedua tangan dan memeriksa bentuknya.
> Jin Rui (datang dari belakang):
“Kau bilang dulu, payudara ibu harus tetap bulat dan menggoda meski menyusui.
Hari ini, pastikan itu jadi kenyataan.
Atau anakmu akan menolak menyusu.”
Ia juga diharuskan mencukur semua bulu tubuh—karena "wanita lembut tidak berambut kasar".
---
Siang – Menari dalam Kehamilan, Di Bawah Cahaya:
Pukul 10:30, kamera dipasang.
Ruyu memakai gaun transparan satin, tanpa bra, hanya pita di pinggul.
Musik klasik diputar. Ia menari di ruang kaca yang terpapar matahari.
> Jin Rui:
“Wanita yang hamil dan tetap cantik, itu seni.
Wanita yang melar karena hamil, itu kegagalan.”
Kamera merekam dari sudut rendah, memperlihatkan perutnya yang menegang dan payudara yang bergerak berat, namun ekspresi wajahnya harus tetap lembut dan memikat.
---
Sore – Tendangan Janin dan Latihan Pernapasan:
Setelah makan siang, Ruyu harus:
Menulis surat harian kepada janin, menggunakan panggilan “Anakku yang tercinta”.
Membacakan isi surat itu dengan suara lembut ke perutnya.
Ketika janin menendang pertama kali, Ruyu menahan tangis, tapi Jin Rui hanya berkata:
> “Itu bukan rasa bangga.
Itu peringatan: rahimmu harus tetap kuat.
Dan kau tetap harus bisa dibuka malam ini.”
Latihan napas perut dilakukan 10 menit tiap sore. Jin Rui memantau dengan stopwatch.
---
Malam – Seks dan Dokumentasi Total
Seks dilakukan minimal dua kali seminggu:
Selalu direkam.
Posisi dipilih agar perut hamil terlihat, payudara penuh tampak jelas, dan suara napas tercatat.
Jika kolostrum bocor, Jin Rui akan berkata:
> “Anakmu belum lahir. Tapi tubuhmu sudah memberiku hak itu.”
Setelah berhubungan, Ruyu harus memijatkan minyak kelapa di tubuhnya sendiri di depan kamera, sambil menyebutkan:
> “Tubuh ini untuk melayani.
Bukan untuk mengeluh.
Bukan untuk dikasihani.”
---
Monolog Ruyu – Minggu 17–20:
> “Tubuhku bertumbuh… tapi tidak boleh berubah.”
“Perutku menonjol, tapi harus tetap mulus.
Payudaraku bocor, tapi harus tetap montok dan simetris.”
> “Dulu aku berkata: wanita harus tetap cantik meski hamil.
Hari ini aku berdiri telanjang… mengoles krim agar diriku sendiri tak jijik melihat pantulan cermin.”
> “Tapi tubuh ini bukan untukku.
Bukan untuk anakku.
Tubuh ini... untuk dia.
Untuk kamera.
Untuk kenangan yang akan dia lihat sendiri… dan tersenyum, melihatku jatuh.”
=====
MINGGU KE-21 SAMPAI KE-24 (19 Agustus – 15 September 1980)
“Tubuhku Membentuk Susu. Tapi Yang Pertama Menyusu Bukan Anakku.”
---
Perubahan Fisik dan Kandungan:
Janin aktif dan kuat; gerakan terasa jelas dan kadang menyakitkan.
Rahim mengembang hingga mencapai ulu hati.
Payudara membesar signifikan, padat dan berat, kolostrum mulai merembes saat disentuh atau ditekan.
Tidur makin sulit, terutama karena nyeri punggung dan posisi tidur terbatas.
Ruyu merasakan perutnya bergetar saat anak bergerak, tapi tidak bisa menyebutnya “ajaib”—karena yang tumbuh di tubuhnya bukan hasil cinta, melainkan perintah.
---
Latihan & Tuntutan Baru: ASI Eksklusif 2 Tahun
Jin Rui menetapkan:
> “Kau akan memberikan ASI eksklusif selama dua tahun.
Anak ini akan tumbuh cerdas karena cairan tubuhmu.
Dan tubuhmu akan tetap ramping karena disiplin.”
Tidak ada pompa ASI.
Tidak ada pembebasan tanpa sentuhan.
Satu-satunya cara payudara Ruyu lega dari bengkak dan nyeri… adalah melalui tangan atau mulut Jin Rui.
---
Pagi: Penampilan & Pemeriksaan Tubuh
Ruyu duduk telanjang di depan cermin besar.
Mengangkat payudaranya satu per satu.
Memijat bagian bawahnya dengan krim agar tidak kendur.
Mengoleskan krim anti-stretch mark di perut, pinggul, dan bawah payudara.
> Jin Rui (menyentuh pelan):
“Putingmu mulai besar. Tapi bentukmu masih cantik.
Pertahankan.”
> “Kalau anak kita cerdas, itu karena susumu.
Kalau dia bodoh, aku tahu siapa yang harus disalahkan.”
---
Siang: Kontrol Berat Badan
Makanan dikontrol ketat:
Tidak boleh terlalu berminyak.
Tidak boleh tinggi karbohidrat.
Harus mengandung protein dan kalsium tinggi.
> Jin Rui:
“Kau harus makan cukup untuk anak kita…
Tapi tubuhmu tidak boleh menjadi ibu gendut yang menjijikkan.”
---
Sore: Pelepasan Rasa Sakit yang Menghina
Setiap 2–3 hari, payudara Ruyu terasa nyeri hebat dan keras seperti batu.
Tanpa bantuan, ia bisa demam.
Ia tidak diizinkan memerah sendiri.
Harus memohon Jin Rui.
> Ruyu (pelan, menahan rasa malu):
“…Bisakah kau… bantu aku… sekarang sangat sakit…”
> Jin Rui (menatapnya lama):
“Kau tidak tahu, kan, bahwa di sinilah letak kehancuran terdalammu?
Tubuhmu memproduksi cairan yang tidak bisa kau kendalikan.
Dan hanya pria yang kau sakiti dulu… yang bisa melegakanmu.”
Jin Rui menghisap kolostrum langsung dari putingnya.
Kadang memijat keras hingga Ruyu meringis—antara lega dan terluka.
---
Malam: Seks dan Susu
Seks tetap dilakukan rutin.
Posisi diatur agar perut hamil dan payudara penuh terlihat di kamera.
Setelah klimaks, Jin Rui meminta Ruyu menyusui dirinya.
> Jin Rui (mengusap perut Ruyu):
“Kau sudah berhasil membuat satu kehidupan.
Tapi tetap harus melayani kehidupan yang memberimu anak ini.”
> “Ibu yang sempurna tidak menolak suaminya.
Bahkan saat air susunya bocor.”
---
Monolog Ruyu – Minggu 21–24
> “Payudaraku berat. Aku berjalan seperti membawa beban yang terus mengalir.”
> “Dulu aku menilai wanita dari bentuk tubuhnya saat hamil.
Sekarang aku menatap cermin, mencubit sisi perutku…
dan berharap bentukku tetap bisa membuatku ‘layak disentuh’.”
> “Anak ini menendang…
Tapi aku tidak bisa menyambutnya seperti ibu yang penuh cinta.
Aku terlalu sibuk menjaga bentuk tubuhku agar tetap menarik bagi pria yang menanamkannya.”
> “Susu ini tidak lagi milikku.
Bahkan sebelum anak itu lahir… sudah diminum suamiku.”
=====
MINGGU KE-25 SAMPAI KE-28 (16 September – 13 Oktober 1980)
“Aku Dulu Memerintah. Kini Aku Diperintah oleh Rekaman Tubuhku Sendiri.”
---
PERUBAHAN FISIK:
Perut membesar dengan bentuk yang jelas menggantung.
Kulit perut mulai tegang dan muncul garis gelap (linea nigra) dari bawah pusar.
Payudara lebih berat dan kolostrum sering bocor, bahkan saat disentuh ringan.
Punggung dan kaki mulai bengkak.
Ruyu tidak bisa berdiri lama, tapi tetap diminta untuk berpose, melayani, dan bergerak anggun.
---
PEMOTRETAN SEKSI – DI BULAN KE-7
Setiap akhir minggu, Jin Rui menyiapkan:
Pemotretan “istri hamil yang indah.”
Ruyu memakai gaun transparan dengan potongan bawah perut terbuka, atau benar-benar telanjang dengan hiasan bunga di rambut dan pusarnya.
Kamera disiapkan dalam tiga sudut.
Sebelum pemotretan, Jin Rui memutar ulang video seks mereka sebelumnya:
Saat Ruyu masih belum hamil.
Saat ia mulai membentuk payudara.
Saat tubuhnya menggeliat melayani meski perut mulai menonjol.
> Jin Rui (datar tapi tajam):
“Lihat tubuhmu sekarang.
Dulu kau berdiri di depan kamera sebagai raja.
Kini kamera merekam punggungmu yang membungkuk… dan payudaramu yang menetes tanpa perintah.”
> “Tapi jangan salah.
Kau masih harus terlihat cantik.
Bayi ini tidak akan bangga punya ibu yang menjijikkan.”
---
REKAMAN SEKS – MASIH BERLANJUT
Hubungan seks direkam, 2 kali seminggu.
Posisi ditentukan untuk:
Menonjolkan perut besar.
Memperlihatkan air susu yang keluar saat Ruyu bergerak atau mengerang.
Fokus pada wajahnya yang harus tersenyum lembut meski punggungnya sakit.
> Jin Rui kadang memperlihatkan kembali rekaman malam itu langsung setelah selesai,
dan menyuruh Ruyu berkomentar sebagai ‘wanita’ tentang dirinya sendiri.
---
TUNTUTAN PERSIAPAN BAYI – SESUAI STANDAR LIANG ZEMIN DAHULU
Jin Rui menyerahkan daftar 10 tugas menjelang kelahiran:
1. Jahit 6 set baju bayi dengan tangan, dari bahan katun lembut.
2. Buat guling dan selimut dari sisa gaun lama Ruyu.
3. Cuci seluruh perlengkapan dengan air bunga mawar dan sabun bayi.
4. Tuliskan 30 pesan cinta kepada calon bayi, satu per malam, untuk dibacakan saat ia menangis.
5. Latihan menyusui dengan menantikan Jin Rui sebagai eksekutor.
6. Rancang satu lagu kelahiran dan rekam dalam 3 versi nada (lembut, sedang, tenang).
7. Buat dekorasi kamar bayi yang tidak terlalu mencolok tapi ‘mencerminkan kasih ibu’
8. Tulis doa 5 baris untuk anak agar tumbuh cerdas dan taat pada ayahnya.
9. Pelajari ulang cara membedong, mengganti popok, dan memandikan bayi.
10. Tetap ramping dan mempesona di depan ayah si bayi.
> Jin Rui:
“Ini semua yang dulu kau tuntut dari istrimu.
Maka kau akan jalani semuanya… dan kau akan sempurna.
Karena jika anak kita menangis atau sakit kelak—semua salah ada padamu.”
---
MONOLOG RUYU – MINGGU 25–28
> “Aku menjahit dengan tangan yang dulu menandatangani kontrak jutaan yuan.
Tapi sekarang, benang yang kugenggam bukan untuk kuasa… tapi untuk bayi yang belum bisa bicara.”
> “Payudaraku bocor saat aku berjalan.
Tubuhku berat, tapi harus tetap menarik bagi pria yang membuatku seperti ini.”
> “Setiap malam aku membuka kakiku untuk difilmkan…
lalu duduk di lantai untuk menyulam pakaian yang akan dipakai oleh hidup yang tumbuh di dalam perutku.”
> “Aku sudah tak tahu siapa yang merekam lebih banyak: kamera itu…
atau tubuhku sendiri yang menyimpan semua ini di otaknya.”
=====
MINGGU KE-29 SAMPAI KE-32 (14 Oktober – 11 November 1980)
“Tubuhku penuh dan berat, tapi aku harus tersenyum saat diminta berlutut.”
---
KONDISI FISIK:
Perut sangat besar, posisi janin mulai turun ke rongga panggul.
Tidur makin sulit.
Payudara sering penuh, keras, dan bocor secara spontan.
Tubuh mudah lelah, emosi tidak stabil.
Kolostrum harus dikeluarkan rutin untuk mencegah nyeri dan infeksi.
---
RITUAL PELEPASAN ASI – KEHANCURAN EGO TERDALAM
Setiap malam:
Ruyu berlutut di depan Jin Rui, tubuh telanjang sepenuhnya.
Jin Rui duduk santai di kursi sambil memeriksa wajah dan tubuhnya.
Kamera hanya fokus pada wajah Ruyu saat ia memohon dan memamerkan tubuhnya.
> Jin Rui (pelan):
“Lihat ke kamera. Tunjukkan bahwa kau menginginkanku.
Karena hanya aku yang bisa melepaskan rasa sakit itu dari dadamu.”
Setelah mendapat “izin”, Ruyu harus duduk di pangkuan Jin Rui, dan membiarkannya menghisap perlahan hingga cairan keluar.
Momen ini diselingi dengan inspeksi menyeluruh:
Wajah (kerutan, kantung mata), kulit perut (stretch mark), bentuk dan berat payudara, warna puting, pinggul dan paha.
Jin Rui mencatat di jurnalnya.
> “Kau mulai berat.
Pastikan tidak melewati batas,
karena aku tetap ingin menyentuhmu bahkan setelah anak ini lahir.”
---
LATIHAN PERSALINAN – DALAM PRIVASI PENUH
Karena tidak ada yang boleh tahu keberadaan Ruyu, Jin Rui tidak mengundang bidan atau instruktur ke rumah.
Sebagai gantinya, ia membawa Ruyu ke fasilitas privat miliknya sendiri, seperti studio foto yang disulap menjadi ruang latihan.
Setelah selesai, Ruyu harus:
Telanjang kembali begitu mereka sampai rumah.
Melayani Jin Rui, karena "istri yang belajar menjadi ibu tetap harus menjaga suaminya pulang dari kerja.”
> Jin Rui menyuruhnya berlatih mengejan di ranjang, dan setelahnya, posisi itu digunakan untuk seks.
---
LATIHAN PSIKOLOGIS & STIMULASI JANIN
Jin Rui memerintahkan perekaman suara harian:
Cerita pendek, nyanyian, pujian kepada suami,
dan pengakuan:
> "Aku akan menjadi ibu yang baik.
Aku akan menyusui, menjaga, dan mencintai anak ini…
karena tubuhku memang hanya untuk itu.”
Ruyu dipaksa memutar rekaman itu tiap malam ke perutnya.
---
PERSIAPAN PENDIDIKAN DINI ANAK – SESUAI STANDAR LIANG ZEMIN SENDIRI
Jin Rui menyuruh Ruyu menulis:
Rencana stimulasi otak 0–24 bulan (musik, gerakan, warna, emosi).
Jadwal aktivitas per hari dan minggu.
Catatan bahwa semua keberhasilan anak akan menjadi milik ayah, semua kegagalan akan ditanggung ibu.
> “Kau dulu menuntut istrimu jadi guru pertama anak kalian.
Sekarang kau akan menjadi wanita yang duduk, menyuapi, dan mengulang kata-kata satu suku kata…
sampai anak kita bisa berbicara.”
-------
MONOLOG RUYU – Minggu 29–32:
> “Dadaku penuh, tapi aku harus menatap lensa dan tersenyum saat pria itu mendekatkan wajahnya ke putingku.”
> “Setiap malam, aku telanjang.
Bukan untuk menggoda, tapi untuk bisa mengeluarkan rasa sakit… dengan mulut suami yang dulu kubenci.”
> “Aku mengejan untuk latihan… dan mengejan untuk menyambut pria yang mengatakan aku tetap harus bisa disentuh bahkan saat hamil besar.”
> “Anak ini bergerak dalam tubuhku.
Tapi yang pertama melihat wajahku tersenyum saat tubuhku kesakitan…
bukan anakku, tapi ayahnya.”
=====
MINGGU KE-33 SAMPAI KE-36 (12 November - 9 Desember 1980)
"Tubuhku sakit, jalanku berat, tapi aku tetap harus tersenyum saat dibawa tampil. Aku bukan manusia. Aku properti suami."
---
PERKEMBANGAN KEHAMILAN:
Janin sangat aktif, kepala mulai masuk ke rongga panggul.
Perut tegang dan keras, kontraksi palsu (Braxton Hicks) mulai muncul.
Nafas makin pendek, sulit tidur, nyeri tulang belakang semakin parah.
Kaki bengkak, tangan kebas, dan gerakan terbatas.
Leher rahim mulai melunak secara bertahap.
Payudara penuh, bocor lebih sering.
---
PENGATURAN RUTIN – DUNIA DALAM DAN DUNIA LUAR
1. KONTROL KE RUMAH SAKIT:
Dilakukan di fasilitas khusus yang tertutup, bagian dari jaringan medis yang dikendalikan Jin Rui.
Ruyu dipakaikan gaun longgar formal, make-up rapi, rambut disisir halus.
Dokter sudah dilatih untuk tidak bertanya terlalu dalam.
Jin Rui selalu hadir, menjaga citra suami penuh perhatian.
> Dokter: “Semua stabil, tapi kondisi ibu kelelahan.”
Jin Rui (tersenyum pada dokter, tajam pada Ruyu): “Seorang ibu hebat tidak takut lelah.”
---
2. DI RUMAH – JADWAL KEHIDUPAN SEORANG "ISTRI SEMPURNA"
Pagi –
Masak untuk suami.
Menyapu dan menyeka lantai dengan lutut walau perut besar.
Memijat kaki Jin Rui sambil mendengarkan instruksi hari itu.
Siang –
Latihan napas dan latihan dorongan di kamar.
Menyusui Jin Rui dan dilepaskan ASI-nya sebagai penghilang nyeri.
Menjahit sarung tangan bayi dan handuk kecil.
Sore –
Menyusun menu mingguan bayi.
Menyalin ulang puisi-puisi kasih ibu yang sudah ia salin selama dua bulan terakhir.
Menulis ulang 20 janji keibuan untuk dibacakan saat bayi lahir.
Malam –
Seks ringan jika Jin Rui pulang.
Pelepasan ASI, kamera aktif, wajah Ruyu harus tampak manis dan "bersyukur."
---
3. SAAT KELUAR RUMAH – "TROPHY WIFE UNTUK KAMERA ORANG LAIN"
Jin Rui membawanya ke:
Galeri seni, restoran pribadi, pertemuan kolega dekat.
Tugas Ruyu:
Tersenyum tenang.
Menunduk sopan.
Bicara secukupnya, tidak lebih dari 5 kalimat.
Menyebut Jin Rui sebagai “pilar kekuatan hidupku.”
> Kolega: “Rasanya luar biasa melihat istri hamil dan tetap elegan.”
Jin Rui (tersenyum): “Dia istimewa. Dia tahu tugasnya.”
---
4. GEJOLAK MENTAL LIANG ZEMIN – INGIN KABUR, TAPI SUDAH “TERPROGRAM”
Setiap kali keluar rumah, Ruyu berjalan pelan di belakang Jin Rui.
Dia melihat orang-orang, lampu jalan, kantor polisi…
> “Aku bisa minta tolong. Aku bisa kabur.
Mulutku tinggal berkata: ‘Tolong saya.’
Tapi kenapa…
lidahku kaku?
Kakiku mengikuti langkahnya seperti diriku tak punya kehendak?”
Ia sadar:
Semua yang ia tanamkan dulu pada istri-istrinya… kini menjadi perintah internal dalam dirinya sendiri.
> “Aku dulu berkata: Istri tidak boleh mempermalukan suaminya di depan umum.
Hari ini aku hamil besar, punggungku nyeri… tapi aku tetap berdiri diam di sampingnya saat dia bicara tentang proyek.”
> “Aku dulu berkata: Wanita harus kuat, sabar, penuh kasih.
Hari ini aku merintih dalam hati…
dan tidak bisa menangis.”
---
MONOLOG RUYU – Minggu 33–36
> “Aku bangun pagi dengan air ketuban yang hampir pecah.
Tapi tetap harus memasak, karena 'ibu sejati selalu memberi makan keluarga dulu.'”
> “Aku melayani suami di atas ranjang,
dengan perut yang membuatku hampir pingsan.
Tapi aku tersenyum, karena aku tak tahu bagaimana caranya berhenti.”
> “Setiap langkahku berat.
Tapi aku tidak tahu jalan pulang.
Karena 'rumah' bagiku kini bukan tempat tinggal…
melainkan peran yang kupaksakan pada wanita lain selama ini.”
=====
MINGGU KE-37–39 (10–30 Desember 1980)
"Tubuh Pria Ini Dirancang untuk Dominasi. Tapi Sekarang Ia Membawa Anak dan Tetap Harus Melayani Seperti Boneka Hidup."
---
PERKEMBANGAN FISIK & PENDERITAAN:
Perut sangat besar. Berat, gatal, tegang, dan penuh tekanan.
Serviks mulai menipis, kontraksi palsu (Braxton Hicks) sangat sering dan menyakitkan.
Kaki dan tangan bengkak. Duduk dan berdiri sama-sama menyiksa.
Tulang panggul nyeri luar biasa—bahkan untuk ke toilet, Ruyu harus menggigit bibir menahan sakit.
ASI terus mengalir, bocor tanpa kendali.
Tidur tidak bisa nyenyak, sering menangis diam-diam di kamar mandi.
Tapi tubuh tetap harus dirawat, berat badan tetap dijaga, karena Jin Rui ingin istrinya tetap indah di matanya.
> “Tubuh ini bukan dirancang untuk ini.
Ini tubuh pria.
Daging, tulang, dan rahim yang dipaksa tumbuh di tempat yang tak seharusnya…”
---
KONTROL RUTIN KE DOKTER:
Ruyu dibawa ke dokter dua kali seminggu, tapi tetap disamarkan.
Penampilan sempurna: gaun hamil elegan, wajah dirias lembut, tidak boleh terlihat letih.
Jin Rui selalu hadir—tapi hanya untuk menjaga citra.
Di ruang tunggu, Ruyu melihat wanita-wanita hamil lain,
dan ingin menangis… bukan karena sakit,
tapi karena mereka masih bisa tertawa, duduk tanpa tekanan sosial, dan punya kebebasan bicara.
---
PERSIAPAN KELAHIRAN – RUANG BERSALIN KHUSUS DI RUMAH
Jin Rui mengubah salah satu ruangan di dekat kamar utama menjadi ruang bersalin pribadi:
Dilengkapi tempat tidur, peralatan medis, lampu, tisu steril, baskom logam.
Di sudut, ada kamera tersembunyi.
Ruangan ini akan jadi tempat melahirkan dan sekaligus kamar bayi setelahnya.
Jin Rui menyuruh Ruyu menyapu, membersihkan, dan menyusun perlengkapan bayi sendiri walau nyeri luar biasa.
---
MOMEN CERMIN – KEMBALI KE EGO YANG HANCUR
Setiap malam, sebelum tidur, Ruyu diperintah berdiri telanjang di depan cermin besar.
Kamera menyala.
Cermin memantulkan:
Perut besar yang berguncang dengan gerakan bayi.
Payudara bocor.
Pinggul dan paha yang dulu berotot kini melebar dan lembek.
Tubuh pria yang dulu dipuja kini berubah menjadi wadah, ladang.
> “Aku menghina tubuh wanita.
Sekarang aku membawa kehidupan… dan tidak bisa mengangkat kaki sendiri untuk mencuci.”
---
SEKS – MASIH BERLANJUT, DAN SELALU DIREKAM
Sekalipun Jin Rui sibuk dengan acara akhir tahun dan manajemen entertainment,
setiap kali pulang, ia tetap menuntut pelayanan seksual.
Posisi selalu disesuaikan dengan tubuh hamil.
Fokus:
Wajah Ruyu saat berusaha menahan nyeri.
Perut besar yang berguncang.
Payudara penuh yang bocor.
Sebelum berhubungan, Jin Rui memutar kembali video-video sebelumnya:
Dari awal kehamilan,
Video Ruyu berdandan, menyusui, melayani di kamar mandi.
Dan video saat Ruyu meminta Jin Rui menghisap ASI-nya karena nyeri tak tertahankan.
> Jin Rui (sambil membuka baju):
“Kau dulu superior.
Kau pria dari keluarga berkuasa.
Tapi malam ini, sebelum kau menjadi ibu…
kau akan tetap jadi istriku. Dan itu berarti: kau tetap harus melayani.”
---
PELEPASAN ASI – MASIH HARUS MEMOHON
Ruyu tidak lagi bisa menunda pelepasan ASI.
Setiap malam ia berlutut, memohon agar Jin Rui menghisapnya.
Tapi sekarang kamera fokus hanya ke wajah:
Mata sembab.
Bibir digigit.
Suara serak.
> “Tolong… sakit… aku… hanya kau yang bisa…”
> Jin Rui akan diam, lalu menepuk pipinya ringan:
“Ingat saat kau menyuruh istrimu dulu tetap tersenyum saat sakit?
Lakukan itu sekarang.
Lalu duduk di ranjang dan angkat payudaramu.”
---
MONOLOG RUYU – MINGGU 37–39
> “Tubuh ini adalah monumen dosa.
Dan aku… adalah wanita yang lahir dari tubuh pria yang jatuh.”
> “Aku dulu bicara soal ketegasan, kejantanan, kekuatan.
Sekarang aku mengejan dalam latihan napas,
sambil berlutut di hadapan pria yang dulu tak berharga menurutku.”
> “Bayi ini akan lahir.
Bukan dari cinta. Tapi dari balas dendam yang sempurna.”
> “Dan yang paling menyakitkan?
Adalah mengetahui… bahwa bagian dari diriku sudah tidak ingin lari lagi.”
=====
MINGGU KE-40 (31 Desember 1980 – 1 Januari 1981)
“Yang Dulu Aku Anggap Cengeng Ternyata Lebih Kuat Dariku.”
---
31 DESEMBER – PAGI: TROPHY WIFE DALAM BAYANGAN MAUT
Ruyu bangun pagi hari dengan tulang panggul seperti digerinda dari dalam.
Tapi pagi itu, Jin Rui bersuara datar namun tegas:
> “Malam ini kita tampil.
Kau akan berdiri di sampingku saat aku memberi pidato tahun baru.”
Gaun satin biru pucat disiapkan. Riasan mata, lipstik merah lembut. Rambut dikibaskan ke belakang.
Ruyu berdiri telanjang di depan cermin, melihat tubuh yang tak lagi milik Liang Zemin.
Perut menggelantung penuh beban.
Pinggul membesar, puting hitam, urat-urat kaki timbul.
Tapi ia tetap harus berdiri, tersenyum, dan mengucapkan: “Aku siap.”
> “Dulu aku menyuruh wanita hamil berdandan rapi meski nyeri.
Hari ini aku menahan muntah saat maskara kuoleskan sendiri.
Dan tidak ada yang menawari kursi atau kompromi…”
---
31 DESEMBER – SIANG: KEANGKUHAN MULAI RETAK
Sambil bersiap, Ruyu mencoba mengenakan sepatu rendah.
Tangan gemetar.
Air susu merembes dari kedua payudara, membasahi kain dalam.
Jin Rui masuk ke kamar dan berkata sambil melirik jam:
> “Jam 7 malam kita harus berangkat.
Tolong jaga penampilan.
Kita keluarga yang sempurna.”
Ruyu mengangguk. Tapi detik itu juga… perutnya menegang keras.
Cairan hangat meleleh di antara pahanya.
Pecah ketuban.
---
31 DESEMBER – SORE: KETAKUTAN YANG TAK PERNAH IA BAYANGKAN
Ketuban merembes deras. Gaun basah.
Ruyu memegangi perutnya dan menjatuhkan diri di lantai marmer.
Suara rintihannya terpantul di dinding.
Panik. Getar. Ketakutan.
> “Dulu aku hanya menunggu di luar ruang bersalin sambil menyesap kopi.
Hari ini… aku tersungkur di lantai,
dan tubuhku sendiri yang mengantar diriku ke ambang maut.”
Jin Rui datang, segera mengangkatnya. Wajahnya tetap tenang.
Ruyu menggigil sambil berkata lirih:
> “Aku… takut…”
---
31 DESEMBER – MALAM: PROSES BUKAAN DEMI BUKAAN
Dibaringkan di ranjang bersalin pribadi. Kamera menyala diam-diam.
Jubah steril disematkan. Rambut diikat. Wajah dibersihkan.
Semua untuk penampilan "tenang dan terhormat."
Jam 20.00: Pembukaan 2.
Rasa sakit mulai terasa menyayat, tapi masih ditahan.
Jam 22.30: Pembukaan 4.
Teriakan mulai keluar.
Ruyu berusaha menahan, karena kameranya menyala.
> “Aku menyuruh istriku dulu untuk diam,
karena teriakan itu memalukan.
Sekarang aku menjerit… dan aku hanya bisa menggigit selimut agar suaraku tidak keluar terlalu kencang.”
Jam 23.30: Pembukaan 7.
Sakitnya luar biasa. Punggung seperti patah.
Ia muntah dua kali.
Jin Rui berdiri di sisi tempat tidur, mencengkeram tangannya kuat.
---
1 JANUARI – 00:03: PUNCAK KEMATIAN DAN KELAHIRAN
Dunia menghitung mundur.
Di luar: kembang api meledak.
Di dalam: Ruyu mengejan sekuat yang ia bisa.
> “Aku pernah menyebut istri pertamaku lemah karena menjerit dan menangis.
Hari ini… aku berdoa agar aku tidak mati di tengah jalan.”
Dengan darah, sobekan, dan suara lenguhan yang direkam tanpa ampun,
seorang bayi keluar dari tubuh pria yang dulu berdiri di podium dengan jas kebanggaan.
---
01.01.1981 – ANAK PEREMPUAN ITU LAHIR
00:03 pagi.
3,6 kg. Panjang 49 cm.
Jin Rui memotong tali pusar.
Kamera merekam saat Ruyu menyusui dengan tangan gemetar dan mata berkaca.
> Jin Rui (kepada kamera):
“Kita memulai tahun baru dengan kehidupan.
Kita… keluarga bahagia.”
Ruyu hanya tersenyum lemah.
Darah masih menetes di paha.
Rambutnya lepek.
Tapi wajahnya harus tetap lembut.
---
MONOLOG RUYU – KELAHIRAN ANAKNYA
> “Dulu aku punya segala yang bisa dibanggakan.
Nama. Keturunan. Wajah. Kekuasaan.”
> “Hari ini aku punya sobekan di antara kakiku…
dan seorang bayi di dada yang kurasakan gerakannya dari dalam,
selama sembilan bulan aku bertahan… sebagai ladang.”
> “Tapi aku bukan wanita kuat.
Aku pria yang dulu menghina wanita kuat.”
> “Dan sekarang aku adalah mereka.
Dan tak ada tempat untuk kembali.”
Komentar
Posting Komentar